Syariat Islam berusaha dengan sungguh-sungguh menata bangunan keluarga, mengatur perkara-perkara di dalamnya, meletakkan keahlian pada tempatnya, menentukan tugas-tugas, menjelaskan aturan main yang berlaku untuk mengendalikan perkara-perkara yang ada di dalam bangunan keluarga ini, menjaganya dari terpaan kepentingan dan perselisihan, membentenginya dari unsur-unsur destruktif dan kehancuran sebisa mungkin.

Sesungguhnya pencipta manusia menjadikan hidup ini berpasang-pasangan sebagai salah satu fitrahnya. Perkaranya sama dengan perkara segala yang ada dalam alam wujud ini. “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.” (Adz-Dzariyat: 49).

Kemudian Allah berkehendak menjadikan hidup berpasangan pada manusia di antara dua belahan bagi jiwa yang satu, “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari jiwa yang satu dan dari padanya Allah menciptakan istrinya.” (An-Nisa`: 1).

Dia menginginkan agar pertemuan ini menjadi ketenangan bagi jiwa, ketenteraman bagi emosi, kedamaian bagi ruh dan kenyamanan bagi jasad, kemudian perlindungan dan pembentengan bagi kemuliaan, kemudian ladang bagi keturunan penerus kehidupan yang shalih disertai peningkatannya yang berlanjut dalam melindungi sebuah rumah yang tenang, tenteram, damai, terlindungi dan terbentengi. “Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya di antaramu rasa kasih dan sayang.” (Ar-Rum: 21)

Demi mewujudkan sasaran-sasaran mulia di atas, diperlukan pemetaan tugas yang jelas di antara kedua belah pihak yang telah menyatu dalam ikrar pernikahan, dibutuhkan pembagiaan wewenang dan tanggung jawab yang seimbang di antara suami istri, sehingga tidak terjadi tumpang tindih, sebagian menjarah wilayah kekuasaan yang lain, yang akhirnya berbuntut kepada perselisihan dan percekcokan yang tidak diharapkan.

Islam memberikan derajat qiwamah kepada suami dengan segala beban tanggung jawa dan kewajiban yang harus di pikul, “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (An-Nisa`: 34).

Nash di atas menentukan bahwa qiwamah dalam bangunan rumah tangga dimiliki oleh laki-laki dan hal itu demi menata bangunan pernikahan dan menjelaskan tugas-tugas managerialnya guna mencegah terjadinya kesimpangsiuran di antara anggota-anggotanya dengan mengembalikan mereka semua kepada hukum Allah bukan hukum hawa nafsu, emosi dan kepentingan personal.

Nash di atas menyatakan bahwa di antara sebab qiwamah ini adalah diberikannya dasar-dasar qiwamah oleh Allah kepada laki-laki berikut derajat dan keistimewaan-keistimewaan penunjangnya, dan salah satu di antaranya adalah pembebanan infak kepada bangunan ini atas laki-laki. Berpijak dari diberikannya qiwamah kepada laki-laki, ia juga menentukan kekhususan-kekhususan qiwamah ini dalam menjaga bangunan rumah tangga dari kehancuran dan melindunginya dari faktor-faktor perusak yang bersifat insidentil serta cara mengantisipasi faktor-faktor tersebut.

Jika bangunan-bangunan lain yang lebih rendah kedudukannya dan yang lebih murah harganya seperti perusahaan keuangan, perniagaan, pabrik-pabrik dan sejenisnya hanya diserahkan pengelolaannya kepada orang-orang yang berkompeten yang memiliki keahlian khusus di bidangnya dengan jam terbang dan pengalaman yang tinggi di atas kemampuan dasar menejerial dan qiwamah yang mereka miliki. Jika perkaranya dalam bangunan yang lebih rendah kedudukannya dan lebih murah harganya adalah demikian maka kaidah dasar ini lebih patut dimasukkan ke dalam bangunan keluarga yang menghasilkan nilai kehidupan termahal, yaitu kehidupan insaniyah dan perangkat penunjangnya.

Islam memperhatikan fitrah dan kesiapan-kesiapan yang ada pada suami istri, dua belahan jiwa yang satu dalam menunaikan tugas-tugas yang dibebankan kepada masing-masing darinya sesuai dengan kesiapan-kesiapan tersebut, sebagaimana Islam memperhatikan dengannya keadilan dalam membagi tugas-tugas atas dua belahan jiwa yang satu. Keadilan dalam kekhususan masing-masing terhadap bentuk tugas yang disiapkan untuknya yang didukung olehi fitrah dan kesiapannya yang khusus lagi independen. Maka dengan mempertimbangkan fitrah dan kesiapan khusus masing-masing ini-lah, Islam menetapkan klasifikasi tugas dan kewajiban yang seiring dan sejalan dengannya sehinga terwujud keharmonisan dan ketenteraman kehidupan rumah tangga yang berimbas kepada masyarakat. Wallahu a’lam.