Ketahuilah bahwa qira`ah di dalam shalat adalah wajib berdasarkan ijma’, di-dukung oleh dalil-dalil yang jelas dan menurut madzhab kami dan madzhab jumhur adalah bahwa membaca al-Fatihah adalah wajib, tidak sah menggantikannya dengan selainnya bagi yang mampu. Berdasarkan hadits shahih bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallambersabda,

لاَ تُجْزِئُ صَلاَةٌ لاَ يُقْرَأُ فِيْهَا بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ.

“Tidak sah shalat yang di dalamnya tidak dibaca surat al-Fatihah.”

(Takhrij hadits Shahih Diriwayatkan oleh Ahmad 2/457 dan 478; Ibnu Khuzaimah no. 90; at-Thahawi 1/216; Ibnu Hibban no. 1789 dan 1794: dari beberapa jalan, dari Syu’bah, dari al-Ala’ bin Abdurrahman, dari bapaknya, dari Abu Hurairah dengan hadits tersebut.
Ini adalah sanad hasan rawi-rawinya adalah rawi-rawi Muslim, terdapat pembicaraan pada diri al-Ala’ meski begitu haditsnya tidak turun dari derajat hasan. Akan tetapi asal hadits ini di Muslim dari beberapa jalan yang lain dan riwayat senada. Jadi ia shahih, ia dishahihkan oleh ad-Daruquthni, an-Nawawi dan al-Albani.)
Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah, Abu Hatim bin Hibban dalam Shahih keduanya dengan sanad shahih dan keduanya menshahihkannya.
Dalam ash-Shahihain dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

لاَ صَلاَةَ إِلاَّ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ.

“Tidak sah shalat kecuali dengan surat al-Fatihah.”

(Takhrij haditsDiriwayatkan oleh al-Bukhari, Kitab al-Adzan, Bab Wujub al-Qira`ah Li al-Imam Wa al-Ma`mum, 2/236, no. 756; Muslim, Kitab ash-Shalah, Bab Wujub Qira`ati al-Fatihah Fi Kulli ar-Rak’ah, 1/295, no. 394: dari hadits Ubadah bin ash-Shamit, dengannya)

Dan wajib membaca, “Bismillahir Rahmanir Rahim,” karena ia adalah satu ayat tersendiri di awal al-Fatihah.
Wajib membaca al-Fatihah dengan seluruh tasydidnya (Di sebagian naskah, “Wajib membaca seluruh al-Fatihah dengan tasydid-tasydidnya.”) ia berjumlah empat belas tasydid: tiga pada basmalah, sisanya ada pada ayat-ayat sesudahnya. Jika dia meninggal-kan satu tasydid saja maka batallah bacaannya (Membaca al-Fatihah dengan baik dan bagus sangat dituntut, tetapi tanpa harus berlebih-lebihan seperti yang dilakukan oleh banyak orang-orang yang shalat, lebih-lebih di antara mereka adalah orang-orang yang mengikuti madzhab Syafi’i. Anda bisa melihatnya ngotot, berlebih-lebihan dan mati-matian dalam menggerakkan kedua bibirnya dan mengulangi kalimat dan ayat berkali-kali dengan cara menghilangkan kekhusyu’an dan kenikmatan bermunajat kepada Allah. Apabila anda bertanya kepadanya, “Mengapa harus berlebih-lebihan seperti ini?” Dia akan menjawab, “Untuk merealisasikan al-Fatihah supaya aku tidak menggugurkan satu huruf pun darinya karena jika aku tidak melakukan maka batallah bacaanku. Demi Allah bacaan Rasulullahshallallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah demikian, aku siap mengorbankan bapak dan ibuku untuknya.”)

Wajib membacanya secara tertib dan berurutan, jika tidak tertib atau tidak berurutan maka tidak sah bacaannya namun dapat dimaklumi bila diam hanya sekedar menarik nafas.

Seandainya makmum melakukan sujud tilawah bersama imam atau dia mendengar aminnya imam lalu dia mengikutinya membaca amin atau dia memohon rahmat atau memohon perlindungan dari neraka karena imam membaca ayat yang mengandung hal itu, sementara makmum tengah membaca al-Fatihah, maka bacaannya tidak dianggap terputus menurut salah satu pendapat yang lebih shahih di kalangan sahabat-sahabat kami, karena ia memiliki udzur ( Masalah membaca al-Fatihah bagi makmum adalah masalah yang diperselisihkan oleh para ulama sejak masa-masa awal Islam. Pendapat yang membuat jiwa mantap adalah bahwa makmum wajib membaca dalam shalat di mana bacaan imam adalah pelan (sirr) bukan dalam shalat di mana bacaan imam adalah keras (jahr). Apabila ada kesempatan bagi anda dalam shalat jahriyah karena imam diam dalam waktu yang lama misalnya, maka bacalah. Apa pun, yang jelas aku menasihati orang-orang yang mewajibkan diri mereka membaca di belakang imam baik dalam shalat dengan bacaan pelan maupun dalam shalat dengan bacaan keras agar mereka mengikuti bacaan imam ketika membaca al-Fatihah supaya mereka tidak terputus dan tidak mengganggu imam, dan tidak sebaliknya, lebih-lebih banyak kalangan dari para imam tidak diam setelah membaca al-Fatihah, hal itu karena diam yang lama setelah al-Fatihah bukanlah sesuatu yang shahih dari Nabi shallallallahu ‘alaihi wasallam)

Pasal: Jika dia melakukan kesalahan (bahasa atau i’rab) dalam membaca al-Fatihah dan kesalahannya itu merusak makna maka batallah shalatnya. Jika tidak, maka bacaannya sah.(Begitu cepat penulis menyelisihi sikap berlebih-lebihan yang dia tunjukkan sebelumnya. Ucapannya yang di sini inilah yang benar insya Allah berdasarkan hadits Jabir yang shahih, bahwa Nabi shallallallahu ‘alaihi wasallamkeluar menemui para sahabat yang sedang membaca al-Qur`an di antara mereka ada yang asli Arab, ada pula yang non Arab. Nabi bersabda,اِقْرَؤُوْافَكُلٌّ حَسَنٌ “Bacalah, semuanya baik.” Akan tetapi hendaknya seseorang tidak melalaikan dan meremehkan perkara besar ini. Mengambil sikap tengah adalah sesuatu yang terpuji wahai saudara-saudaraku) Kesalahan yang merusak makna adalah seperti membacaأَنْعَمْتُ–أَنْعَمْتِdengan ta’ dibaca dhammah atau kasrah atau dia membaca إِيَّاكِ نَعْبُدُdengan kaf dibaca kasrah. Dan yang tidak merusak seperti membaca رَبُّ اْلعَالَمِيْنَ-رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ dengan ba’ dibaca dhammah atau fathah atau membacaنَسْتَعِيْنَ–نَسْتَعِيْنِdengan nun kedua dibaca fathah atau kasrah. Seandai-nya dia membaca وَلاَالضَّالِّيْنَ bukan dengan dhad tetapi dengan zha’(وَلاَالظَّالِّيْنَ), maka shalat-nya batal menurut salah satu pendapat yang rajih dari dua pendapat, kecuali apabila dia tidak mampu mengucapkan dhad setelah dia belajar maka dia dimaklumi.

Pasal: Jika seseorang tidak mampu membaca al-Fatihah dengan baik, maka dia membaca selainnya yang seukuran dengan al-Fatihah. Jika dia tidak mampu membaca apa pun dari al-Qur`an maka dia membaca dzikir-dzikir seperti tasbih, tahlil dan lain-lain sepanjang ayat-ayat al-Fatihah. Jika dia tidak mampu membaca dzikir-dzikir sementara waktu belajar sangat sempit (Ini adalah perkiraan berdasarkan khayalan. Apa benar dia tidak mampu dalam hitungan satu menit untuk belajar kalimat subhanallah misalnya?) maka dia berdiri selama waktu yang dipakai untuk mem-baca kemudian ruku’, shalatnya sah apabila dia tidak melalaikan belajar. Apabila dia lalai, maka dia wajib mengulang. (Apabila dia melalaikan belajar maka dia berdosa dan dia tidak wajib mengulang satu pun shalatnya yang telah berlalu kecuali shalatnya yang terakhir apabila waktunya masih memungkinkan. Lihat apa yang telah saya katakan di hal 144) Apa pun perkiraannya, kalau memungkinkan baginya untuk belajar maka dia wajib belajar al-Fatihah. Kalau dia mampu membaca al-Fatihah dengan selain Bahasa Arab, dan tidak mampu dengan Bahasa Arab, maka dia tetap tidak boleh membacanya dengan selain Bahasa Arab; dia dihukumi tidak mampu, maka dia harus menggantinya sebagaimana yang telah kami sebutkan

Pasal: Setelah al-Fatihah, dia membaca surat atau sebagian dari surat dan hal itu adalah sunnah, seandainya dia meninggalkannya, shalatnya tetap sah tanpa perlu sujud sahwi, baik shalatnya adalah fardhu maupun nafilah (sunnah). Tidak dianjurkan membaca surat dalam shalat jenazah berdasarkan salah satu dari dua pendapat yang lebih shahih karena ia didasarkan kepada keringanan. (Justru sebaliknya, ia dianjurkan. Terdapat atsar yang shahih dari Ibnu Abbas).Kemudian dia boleh memilih: membaca surat atau sebagian dari surat. Membaca surat yang pendek adalah lebih baik daripada membaca kadar yang sama dari surat yang panjang. Dianjurkan membaca surat sesuai dengan urutannya dalam mushaf, di mana pada rakaat kedua dia membaca surat setelah surat yang dibaca pada rakaat pertama, jika dia tidak melakukannya, maka shalatnya tetap sah. Sunnahnya adalah membaca surat setelah al-Fatihah, jika dia mem-baliknya maka dia tidak dianggap membaca surat (Apabila dia melakukan itu dengan sengaja maka dia berdosa karena dia menyelisihi perintah Nabi agar shalat seperti shalatnya. Jika lupa maka dia membaca al-Fatihah setelah membaca surat. Pada prinsipnya dia tetap mendapatkan pahala pada keduanya, tidak ada dalil bahwa bacaan suratnya tidak dianggap ada)

Ketahuilah bahwa anjuran membaca surat yang kami jelaskan adalah untuk imam, munfarid (shalat sendirian), dan makmum dalam shalat di mana imam membaca dengan pelan (sirr). Adapun shalat di mana imam membaca dengan keras (jahr), maka makmum hanya membaca al-Fatihah saja, tidak lebih, apabila dia mendengar bacaan imam, tetapi apabila dia tidak mendengarnya atau dia mendengar suara samar yang tidak jelas sehingga tidak dipahami maka dia dianjurkan membaca surat menurut pendapat yang benar sebatas tidak mengganggu orang lain.(Yang dalam kurung adalah ta’liq /komentar dari Syaikh Amir bin Ali Yasin )
(Ensiklopedia Dzikir Dan Do’shllallahu ‘alaihi wasallam, Imam Nawawi, pustaka Sahifa,oleh Abu Yusuf sujono)