Allah Ta’ala sebagai pencipta manusia, laki-laki dan perempuan, memberikan kekhususan-kekhususan kepada masing-masing, baik dari sisi fisik, emosi maupun psikis, di mana semua itu bukan bersifat parsial, akan tetapi ia tertanam kuat dalam kehidupan fisik, emosi, akal dan jiwa bagi masing-masing. Para pakar besar di bidang ini menyatakan bahwa ia tertanam kuat dalam kehidupan semua sel, karena ia tertanam kuat dalam pembentukan sel pertama di mana dari perkembangan dan peningkatannya terbentuk janin dengan seluruh kreteria-kriterianya yang mendasar.

Laki-laki dibekali dengan kekhususan-kekhususan yang diberikan kepadanya, kekuatan, ketegasan, kelambanan respon dan tanggapan, penggunaan terhadap pemikiran dan pertimbangan sebelum bergerak dan merespon, karena seluruh tugas-tugasnya, dari awal perburuan yang digelutinya di awal perjalanan hidupnya sampai kepada pergulatan yang dilakoninya demi melindungi pasangan dan anak-anaknya dan tugas-tugasnya yang lain dalam hidup ini memerlukan kadar pertimbangan matang sebelum bertindak, penggunaan pemikiran dan kelambanan dalam merespon secara umum… semuanya tertanam secara mendalam dalam jiwanya.

Dengan kekhususan-kekhususan tersebut dia lebih mampu memikul derajat qiwamah dan dia lebih utama di bidangnya, sebagaimana pembebanan nafkah di pundaknya dan ia adalah cabang dari pembagian tugas, menjadikannya lebih pantas atas derajat qiwamah karena penataan terhadap roda kehidupan bagi bangunan ini berikut anggotanya termasuk ke dalam qiwamah ini, dan pengawasan terhadap distribusi harta di dalamnya lebih dekat kepada tabiatnya.

Inilah dua unsur yang ditonjolkan oleh nash al-Qur`ani, pada saat ia menetapkan qiwamah kaum laki-laki atas wanita dalam masyarakat Islami, qiwamah yang memiliki sebab-sebabnya dari sisi pembentukan dan kesiapan, dari sisi pembagian tugas-tugas dan kekhususan-kekhususan, dari sisi keadilan dalam pembagiannya.

Bangunan rumah tangga tidak berjalan tanpa qiwamah dan karena salah satu belahan dari dua belahan jiwa manusia disiapkan untuknya, yaitu suami, sementara belahan yang lain, yaitu istri, tidak disiapkan untuk itu, maka tidak adil jika istri dibebani dan harus memikul beban-beban suami di samping beban-bebannya yang lain. Jika istri disiapkan (baca, dipaksa) untuk memikul beban suami, dilatih di atasnya baik secara teori maupun praktek maka rusaklah kesiapannya dalam memikul tugasnya yang lain, yaitu tugas keibuannya.

Persoalan ini merupakan persoalan yang penting, lebih penting daripada sekedar diserahkan kepada penguasaan hawa nafsu manusia, lebih penting daripada sekedar dibiarkan sehingga mereka mengambil tindakan serampangan padanya. Pada saat ia dibiarkan atau diikutkan kepada hawa nafsu manusia baik di zaman jahiliyah kuno dan jahiliyah modern, maka ia menjadi ancaman serius bagi kemanusiaan dalam keberadaannya itu sendiri. Bisa jadi di antara bukti-bukti riil saat masalah ini diserahkan kepada jahiliyah sehingga ia menjadi hakimnya adalah kerusakan dan ketidakjelasan, kemunduran dan kemerosotan, ancaman kehancuran dan kebinasaan pada setiap kesempatan di mana kaidah ini dicampakkan di balik punggung, akibatnya kendali qiwamah dalam keluarga terlepas, rambu-rambunya campur baur atau menyempal dari kaidah dasarnya yang selaras dengan fitrahnya.

Bisa jadi di antara bukti-bukti tersebut adalah keinginan wanita itu sendiri agar qiwamah ini tegak di atas pijakannya yang fitri dalam keluarga, dia merasa ada yang hilang dan kurang, gelisah dan tidak berbahagia pada saat hidup dengan suami yang tidak memikul tugas qiwamah, mengurangi sifat-sifatnya yang lazim lalu suami tersebut justru menyerahkan qiwamah kepadanya, walaupun sebenarnya dia sendiri tidak luput dari catatan, hatta terkadang ia diserahkan kepada wanita-wanita yang terbenam dan tenggelam dalam kegelapan.

Bisa jadi di antara bukti-bukti ini, bahwa anak-anak yang hidup dalam bangunan keluarga di mana qiwamah di dalamnya tidak berada di tangan bapak, bisa jadi karena bapak lemah kepribadian, bisa pula karena bapak tidak ada karena dia wafat atau karena tidak adanya bapak syar’i, anak-anak tersebut jarang tumbuh dengan lurus, yang sering terjadi mereka menyimpang kepada kelainan tertentu dalam pembentukan mereka dari sisi emosi dan kejiwaan, dalam tindak tanduk perbuatan dan tingkah laku… semua ini adalah sebagian bukti di mana fitrah mengisyaratkan bahwa qiwamah harus dipegang olej laki-laki.

Qiwamah kaum laki-laki mempunyai alasan-alasan dan faktor-faktor penunjangnya juga tuntutan-tuntutan dan dasar-dasarnya, akan tetapi kita harus berkata, qiwamah ini bukan berarti menanggalkan kepribadian istri dalam rumah dan masyarakat insani, tidak pula berarti menyisihkan keberadaan sosialnya.

Qiwamah hanyalah tugas dalam koridor keluarga untuk menakhodai bangunan yang penting ini, melindungi dan menjaganya. Keberadaan pemimpin di dalam sebuah bangunan tidak menggugurkan keberadaan, kepribadian dan hak-hak orang yang berkecimpung di dalamnya dan pegawai yang bekerja di dalamnya sesuai dengan tugasnya. Di lain tempat Islam telah menentukan sifat qiwamah kaum laki-laki dan perkara-perkara yang menunjangnya: kasih sayang dan perlindungan, penjagaan dan pengawasan, beban-beban dalam diri dan hartanya serta adab-adab dalam tingkah laku kepada istri dan keluarganya.

Sekalipun qiwamah di tangan laki-laki, namun rumah tangga tetap dinahkodai oleh suami dan istri sebagai pendampingnya, di sini diperlukan penyatuan komando untuk mengamankan perahu, begitu pula perahu rumah tangga, ia harus memiliki kepemimpinan yang memikul beban dan melindungi tatanan agar tidak terlepas, hal ini tidak mengandung penyimpangan dari kaidah Islam umum dalam dunia kaum laki-laki, lalu siapa dari suami dan istri dari sisi logika patut diserahi kepemimpinan?

Istri yang diliputi dengan perasaan dan emosi sejalan dengan tugas utamanya dalam mengasuh anak dan menghiasi suasana rumah dengan keindahan? Ataukah suami yang dibebani oleh Islam memberi nafkah agar istri bisa berkonsentrasi kepada tugasnya yang besar dan memberikan tenaganya dan kemampuannya di dalamnya? Islam menjadikan qiwamah demi mewujudkan aturannya yang menyeluruh, dalam setiap perbuatan harus ada qiwamah dan kepemimpinan, Islam memilih suami karena dari sisi penciptaannya, dia lebih patut untuk tugas ini. Wallahu a’lam.