Syarat diterimanya ibadah

Ibadah harus benar agar diterima dan ia benar jika memenuhi dua syarat:
1- Ikhlas karena Allah semata.
2- Mengikuti tuntunan Rasulullah saw.

Syarat pertama berarti bahwa pelaku ibadah tidak melakukan dan melaksanakan ibadah kecuali dengan dorongan berharap dan meraih pahala, ridha dan balasan dari Allah semata, bukan selainnya. Dia tidak berharap nama baik, pujian manusia, harta dunia, kedudukan mulia di mata manusia dan yang sepertinya. Jika dorongannya adalah perkara-perkara ini maka syarat ikhlas dalam beribadah tidak terwujud, berarti ibadahnya tidak benar.

Syarat pertama ini merupakan tuntutan dan konsekuensi dari syahadat la ilaaha illalllah, karena syahadat ini mengharuskan keikhlasan dalam beribadah hanya untuk Allah semata dan menjauhi syirik dalam beribadah kepadaNya.

Syarat kedua berarti bahwa pelaku ibadah tidak melakukan dan tidak melaksanakan ibadah kecuali dengan dasar pijakan dari peletak syariat, tidak mengada-ada dan tidak membuat-buat ibadah yang tidak berdasar kepada ajaran peletak syariat, karena jika demikian maka ibadah yang dia kerjakan tidak benar. Inilah makna kaidah yang berkata, “Ibadah adalah tauqifiyah.â€‌ (Baca makalah sebelumnya, poin: Prinsip dasar ibadah).

Syarat kedua ini merupakan tuntutan dan konsekuensi dari syahadat Muhammad Rasulullah, karena syahadat ini menuntut kewajiban taat kepada Rasulullah saw, selaku penyampai syariat dari Allah, mengikuti syariatnya dan menjauhi bid’ah yang diada-adakan.

Dengan dua syarat ini sekaligus sebuah ibadah berhak dikatakan benar, satu saja tidak memadahi. Ikhlas saja tanpa mengikuti tidak benar. Mengikuti saja tanpa ikhlas juga tidak benar. Yang benar adalah ikhlas dan mengikuti sekaligus. Ini sekaligus bantahan dan pelurusan kepada sebagian orang yang berkata, “Yang penting ikhlas, yang penting maksudnya baik, yang penting tidak menjahati orang.â€‌ Dan sebagainya. Kita katakan kepadanya, ikhlas semata belum cukup, tidak berarti setelah Anda ikhlas, Anda bisa melakukan sesuka Anda, karena agama ini memiliki peletak dan pengatur dan Anda hanyalah pelaksana maka serahkanlah agama ini kepada pemilik dan pengaturnya, Anda tinggal melaksanakannya. Beres bukan?

Dua syarat ini ditetapkan oleh beberapa dalil, di antaranya:

Firman Allah, “(Tidak demikian) akan tetapi barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.â€‌ (Al-Baqarah: 112).

“Menyerahkan diri kepada Allah.â€‌ Artinya memurnikan ibadah hanya kepada Allah semata. Inilah ikhlas. “Berbuat kebajikan.â€‌ Artinya mengikuti peletak syariat dalam beribadah. Inilah mutaba’ah.

Firman Allah, “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (Al-Kahfi: 110).

“Mengharap perjumpaan dengan Tuhannya.â€‌ Dan Tuhannya membalasnya atas perbuatan baiknya. “Hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih.â€‌ Dengan mengikuti tuntutan Rasulullah. “Dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” Tidak mempersekutukan berarti mengikhlaskan.

Sabda Nabi saw,

أ…أ¶أ¤أ¸أ³أ£أ³أ‡ أ‡أ،أƒأ³أڑأ؛أ£أ³أ‡أ،أµ أˆأ¶أ‡أ،أ¤أ¸أ¶أ­أ¸أ³أ‰أ¶ – أ¦أ³أ‌أ¶أ­ أ‘أ¶أ¦أ³أ‡أ­أ³أ‰أ² : أˆأ¶أ‡أ،أ¤أ¸أ¶أ­أ¸أ³أ‡أٹأ¶ – أ¦أ³أ…أ¶أ¤أ¸أ³أ£أ³أ‡ أ،أ¶أںأµأ،أ¸أ¶ أ‡أ£أ؛أ‘أ¶أ†أ² أ£أ³أ‡أ¤أ³أ¦أ³أ¬ .

“Sesungguhnya amal-amal itu dengan niat –dalam sebuah riwayat, dengan niat-niat- dan sesungguhnya masing-masing orang mendapatkan apa yang dia niatkan.â€‌ (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Hadits ini menetapkan bahwa niat merupakan dasar dari amal perbuatan, apa yang diniatkan oleh seseorang itulah yang dia dapatkan, jika niatnya lurus, (baca, ikhlas) karena Allah maka dia akan mendapatkan apa yang Allah janjikan dan inilah yang benar, jika niatnya lain maka apa yang diniatkan itulah yang dia dapatkan.

Sabda Nabi saw ,

أ£أ³أ¤أ؛ أڑأ³أ£أ¶أ،أ³ أڑأ³أ£أ³أ،أ‡أ° أ،أ³أ­أ؛أ“أ³ أڑأ³أ،أ³أ­أ؛أ¥أ¶ أƒأ³أ£أ؛أ‘أµأ¤أ³أ‡ أ‌أ³أ¥أµأ¦أ³ أ‘أ³أڈأ¸أ±

“Barangsiapa melakukan suatu amalan tanpa dasar perintah kami maka ia tertolak.â€‌ (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Hadits ini menetapkan bahwa beramal harus berdasar kepada perintah peletak syariat, karena jika tidak maka ia tertolak atas pelakunya. Inilah mutaba’ah.

Kapan amal perbuatan dianggap mengikuti tuntunan peletak syariat?

Jika ia sesuai dengannya dalam enam perkara: Dasar, bilangan, ukuran, tatacara, waktu dan tempat.

Sesuai dengan tuntunan syariat dalam dasar ibadah, yakni ibadah tersebut mempunyai dasar dari peletak syariat, bukan ibadah yang diada-adakan.

Sesuai dengan tuntutan syariat dalam bilangan, yakni jika bilangan suatu ibadah sudah dipatok oleh peletak syariat maka patokan ini wajib diikuti tidak dikurangi dan tidak dilebihi. Mengurangi atau melebihi berarti menentang peletak syariat. Misalnya jumlah rakaat shalat, jumlah hari puasa wajib, jumlah thawaf di Ka’bah dan sebagainya.

Sesuai dengan tuntutan syariat dalam ukuran, yakni jika ukuran suatu ibadah sudah dipatok oleh peletak syariat maka patokan ini wajib diikuti tidak dikurangi dan tidak dilebihi. Misalnya ukuran zakat wajib, ukuran kaffarat, fidyah dan sebagainya.

Sesuai dengan tuntutan syariat dalam tatacara, yakni jika tatacara suatu ibadah sudah dipatok oleh peletak syariat maka patokan ini wajib diikuti tidak dirubah dan tidak diganti, tidak boleh diacak atau dijungkirbalik. Misalnya tatacara wudhu, tatacara shalat, tatacara berdzikir setelah shalat dan sebagainya.

Sesuai dengan tuntutan syariat dalam waktu dan tempat, yakni jika waktu dan tempat suatu ibadah sudah dipatok oleh peletak syariat maka patokan ini wajib diikuti tidak diganti dengan waktu dan tempat yang lain. Misalnya shalat, waktunya sudah dibatasi, tidak sah sebelum dan sesudahnya, tempatnya sudah ditentukan yaitu masjid, maka keliru kalau shalat di kuburan. Wallahu a’lam.