Oleh: Izzudin Karimi, Lc.

KHUTBAH PERTAMA :

إِنَّ الْحَمْدَ لله نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بلله مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ الله فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إله إلا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
يَاأَيُّهاَ الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا الله حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ الله كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا الله وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا . يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَن يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

أَمَّا بَعْدُ: فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ الله وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه و سلم وَشَرَّ الْأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ، وَكُلَّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ. اللهم صَل عَلَى مُحَمدٍ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلمْ.

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
Firman Allah Subhanahu Wata’ala :

إِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاعْبُدُونِ

“Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku.” (Al-Anbiya`: 92).

Umat Islam adalah umat yang satu dan bersatu. Satu dalam akidah dan ibadah dan bersatu di atas akidah dan ibadah yang lurus dengan berpegang kepada tali Allah dan petunjuk Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam. Satu, ibarat bangunan kokoh, sebagian memperkuat sebagian yang lain. Satu, sehingga dalam kasih sayang dan belas kasih, ibarat satu tubuh, di mana jika salah satu anggotanya sakit, maka yang lain akan merasakannya. Satu, maka seorang dari umat ini belum dianggap meraih derajat iman yang sempurna sebelum dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya. Satu, oleh karena sebagian dari umat tidak menganiaya sebagian yang lain, tidak membohonginya, tidak mengkhianatinya, tidak menyerahkannya pada musuh, tidak menghinanya, tidak saling memunggungi, tidak saling iri dengki dan tidak bahu membahu dalam kejahatan dan kemungkaran, karena mereka adalah hamba-hamba Allah Subhanahu Wata’ala yang bersaudara.

Kaum Muslimin Rahimakumullah

Umat Islam adalah umat yang satu dan bersatu. Kesatuan dan persatuan ini harus dijaga, dipertahankan, dirawat dan dipupuk sebaik dan semaksimal mungkin, dan majelis adalah salah satu sa-rana dan jembatan untuk itu. Oleh karena itu, Allah q mensyariat-kan kepada umat untuk mendatangi majelis-majelis dalam beberapa waktu dan keadaan seperti shalat lima waktu, shalat Jum’at, shalat Id, haji, majelis-majelis dzikir dan ilmu, hal itu karena berkumpul dan bermajelis memupuk hubungan baik dan cinta kasih, menying-kirkan kebencian dan terputusnya hubungan baik di antara mereka, membuat setan yang membenci ijtima’ mereka di atas kebaikan dan berusaha merusak hubungan baik di antara mereka menjadi kecele, menumbuhkan sikap berlomba-lomba dalam kebaikan, sebagian meneladani yang lain, sebagian mengajar kepada yang lain, sebagian belajar dari yang lain, begitu pula teraihnya pahala agung dengan majelis yang tidak diraih dalam keadaan menyendiri.

Kaum Muslimin Rahimakumullah

Jika hikmah yang diharapkan dari berkumpul dan bermajelis adalah demikian, maka tidak semua majelis layak diadakan dan dihadiri. Majelis-majelis dunia murni yang berisi permainan sia-sia, pembicaraan tidak berguna (ngalor-ngidul), haruslah dihindari, lebih-lebih majelis yang membuat orang yang menghadirinya lalai dari Allah dan ayat-ayatNya, majelis ini tidak patut dan tidak layak untuk dihadiri oleh seorang Muslim. Sebaliknya majelis yang patut dihadiri dan sudah selayaknya jika seorang Muslim menjadi salah satu anggotanya adalah majelis-majelis ibadah, seperti yang telah khatib singgung di awal khutbah ini, termasuk pula majelis dzikir, yakni majelis ilmu tentang kitab Allah dan Sunnah Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam.
Atha` bin Abu Rabah Rahimahullah, salah seorang murid Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhuma berkata, “Majelis dzikir adalah majelis-majelis (yang mempela-jari) halal dan haram, bagaimana kamu membeli, menjual, bagai-mana kamu shalat, puasa, haji, menikah, mentalak dan lain-lain.” Dalam konteks ini Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوْتِ الله يَتْلُوْنَ كِتَابَ الله، وَيَتَدَارَسُوْنَهُ بَيْنَهُمْ، إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ، وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ، وَحَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ، وَذَكَرَهُمُ الله فِيْمَنْ عِنْدَهُ.

“Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah, mereka membaca kitab Allah, dan mempelajarinya di antara mereka, kecuali ketenangan turun kepada mereka, rahmat menaungi mereka, malai-kat mengelilingi mereka dan Allah menyebut-nyebut mereka kepada para malaikat di sisiNya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah. Mukh-tashar Shahih Muslim, no. 1888).
Dari Mu’awiyah Radhiallahu ‘anhu, dia berkata :

إِنَّ رَسُوْلَ الله صلى الله عليه وسام خَرَجَ عَلَى حَلَقَةٍ مِنْ أَصْحَابِهِ فَقَالَ: مَا أَجْلَسَكُمْ؟ قَالُوْا: جَلَسْنَا نَذْكُرُ الله، وَنَحْمَدُهُ عَلَى مَا هَدَانَا لِلْإِسْلَامِ، وَمَنَّ بِهِ عَلَيْنَا قَالَ: وَالله، مَا أَجْلَسَكُمْ إِلَّا ذَاكَ؟ قَالُوْا: وَالله، مَاأَجْلَسَنَا إِلَّا ذَاكَ. قَالَ: أَمَّا إِنِّيْ لَمْ أَسْتَحْلِفْكُمْ تُهْمَةً لَكُمْ، وَلَكِنَّهُ أَتَانِيْ جِبْرِيْلٌ فَأَخْبَرَنِيْ أَنَّ الله يُبَاهِي بِكُمُ الْمَلَائِكَةَ.

“Sesungguhnya Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam keluar menemui kumpulan sahabat-sahabatnya, beliau bertanya, ‘Apa yang membuat kalian duduk?’ Mereka menjawab, ‘Kami duduk berdzikir kepada Allah dan memu-jiNya atas nikmat petunjukNya kepada kami kepada Islam.’ Beliau bertanya, ‘Demi Allah, hanya itu yang membuat kalian duduk (ber-kumplul begini)?’ Mereka menjawab, ‘Demi Allah, hanya itu yang membuat kami duduk (berkumpul ini).’ Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Ketahuilah, sesungguhnya aku tidak meminta kalian bersumpah karena aku menuduh kalian, akan tetapi Jibril ‘Alahissalam mendatangiku dan mengabarkan kepadaku bahwa Allah ‘Azzawajalla membanggakan kalian di depan para malaikat.’ (HR. Muslim, Mukhtashar Shahih Muslim, no. 1889).

Kaum Muslimin Rahimakumullah

Majelis yang benar-benar mulia, majelis yang dinaungi rahmat, dihadiri malaikat, dipayungi ketenangan dan dibanggakan oleh Allah di hadapan malaikat, adalah majelis yang harus diusahakan dan dihadiri.

Kaum Muslimin Rahimakumullah

Karena majelisnya merupakan ijtima’ alal khair (berkumpul di atas kebaikan) sasarannya pun merupakan kebaikan dan sepa-tutnya ia dihadiri, maka demi melengkapi kebaikan tersebut, sudah sepatutnya yang hadir memperhatikan adab-adab berikut:

[1]. Hendaknya hadir dalam keadaan bersih. Bersih badan dan pakaian, hal ini merujuk kepada disyariatkannya mandi, berpakaian bagus dan memakai minyak wangi untuk shalat Jum’at yang meru-pakan salah satu majelis kebaikan. Dari sini benarlah apa yang di-katakan oleh sebagian ulama, “Semua kesempatan yang disyariat-kan berkumpul, disyariatkan pula mandi dan bersih diri.” Hadir dengan badan dan pakaian kotor, aromanya hanya akan meng-ganggu saudara-saudara yang lain yang menghadirinya termasuk para malaikat yang juga ikut hadir di dalamnya. Dari sinilah, maka Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengizinkan orang yang makan bawang merah dan bawang putih (mentah) untuk menghadiri masjid, beliau men-jelaskan alasannya, yaitu para malaikat terganggu dengan baunya sebagaimana Bani Adam juga terganggu. Saat ini bawang jarang di-makan, kecuali dalam keadaan telah dimasak dan itu mematikan aromanya, justru saat ini muncul yang lebih busuk aromanya dan sangat berbahaya akibatnya, yakni rokok. Maka sangat tidak patut bagi seorang Muslim hadir di majelis kebaikan dan menjepit rokok di kedua jarinya, karena di samping merugikan dan mengganggu juga membuat malaikat enggan menghadiri majelis tersebut, karena mereka juga terganggu dengan bau busuknya. Celakanya hal se-perti ini tidak jarang terjadi. Khatib sering menjumpai di beberapa majelis pengajian, bahkan pengajian tersebut diadakan di masjid, di sebagian lembaga pendidikan yang bernafas agama, lebih celaka lagi, justru pelopornya adalah si pemberi pengajian atau si pendi-dik itu sendiri. Kita berlindung kepada Allah dari ilmu yang tidak berguna.

Kaum Muslimin Rahimakumullah

[2]. Karena salah satu hikmah ijtima’ di sebuah majelis adalah memupuk hubungan baik di antara sesama Muslim, maka hendak-nya yang hadir mengucapkan salam dan berjabat tangan. Salam, kata Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam, menumbuhkan rasa cinta kasih dan berjabat tangan merupakan bukti perdamaian dan sebab ampunan.
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “

إِذَا انْتَهَى أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَجْلِسِ فَلْيُسَلِّمْ، فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَقُوْمَ فَلْيُسَلِّمْ.

“Apabila salah seorang di antara kalian sampai di suatu majelis, maka hendaknya dia memberi salam. Dan jika hendak berdiri, maka hen-daknya memberi salam.” (HR. Abu Dawud, no. 5208 dan at-Tir-midzi, no. 2711, at-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan.” Sanadnya dihasankan oleh Syu’aib al-Arna`uth dalam Tahqiq Riyadh ash-Shalihin, bab 139, hadits no. 1/86).

Dari al-Bara` Radhiallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِـيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلَّا غُفِـرَلَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا.

“Tidaklah dua orang Muslim bertemu, lalu keduanya berjabat tangan, kecuali keduanya diampuni sebelum keduanya berpisah.” (HR. Abu Dawud, no. 5214 dan at-Tirmidzi, no. 2732; dihasankan oleh al-Arnauth dalam Tahqiq Riyadh ash-Shalihin, bab 143, hadits no. 3/887).

Kaum Muslimin Rahimakumullah

[3]. Karena salah satu hikmah berkumpul (ijtima’) di sebuah majelis adalah memupuk hubungan baik, maka hendaknya orang yang hadir tidak melakukan yang justru merusak hikmah tersebut. Hendaknya dia duduk di tempat yang didapatkannya, tidak mere-but tempat duduk orang lain dengan menyuruhnya berdiri untuk pindah dan tidak memisahkan di antara dua orang, kecuali dengan persetujuan mereka, karena semua itu mengganggu dan menya-kiti, sehingga dapat membuat hubungan menjadi buruk.
Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘anhuma, dari Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda :

لَا يُقِـيْمُ الرَّجُلُ الرَّجُلَ مِنْ مَقْعَدِهِ ثُمَّ يَجْلِسُ فِيْهِ، وَلٰكِنْ تَفَسَّحُوْا وَتَوَسَّعُوْا. (وَفِي رِوَايَةٍ) قُلْتُ: فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ؟ قَالَ: فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ وَغَيْرِهَا. وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ إِذَا قَامَ لَهُ رَجُلٌ عَنْ مَجْلِسِهِ لَمْ يَجْلِسْ فِيْهِ.

“Janganlah seseorang menyuruh orang lain berdiri dari tempat du-duknya, lalu dia duduk di tempat duduknya tersebut, akan tetapi berlapang-lapanglah dan perluaslah.” (Dalam riwayat lain), aku bertanya, “Pada hari Jum’at?” Dia menjawab, “Pada hari Jum’at dan lainnya.” Dan Ibnu Umar apabila ada orang yang berdiri untuk-nya, maka dia tidak mau duduk di tempat duduk orang tersebut.” (HR. Muttafaq ‘alaihi, Mukhtashar Shahih al-Bukhari, no. 1970, dan Mukhtashar Shahih Muslim, no. 1428).
Dari Salman al-Farisi Radhiallahu ‘anhu, ia berkata, Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

…ثُمَّ يَخْرُجُ فَلَا يُفَرِّقُ بَيْنَ اثْنَيْنِ.

“…kemudian dia berangkat dan tidak memisahkan di antara dua orang.” (HR. al-Bukhari. Mukhtashar Shahih al-Bukhari, no. 468)

Kaum Muslimin Rahimakumullah

Agar hal ini terhindari, maka hendaknya para hadirin di majelis tersebut memperluas dan melapangkannya. Hal ini sejalan dengan sabda Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits Ibnu Umar Radhiallahu ‘anhuma di atas dan sebelum itu sebuah Firman Allah Subhanahu Wata’ala berbunyi :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انشُزُوا فَانشُزُوا يَرْفَعِ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرُُ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu, ‘Ber-lapang-lapanglah dalam majelis,’ maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, ‘Berdirilah kamu,’ maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Mujadilah: 11).

[4]. Hendaknya majelis tidak bebas dari menyebut nama Allah dan Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam. Hal itu karena sasaran majelis adalah kebaikan dan sesuatu yang lepas dari Allah dan RasulNya bukan merupa-kan kebaikan, justru ia merupakan kekurangan, karena tiada kebaik-an yang dipetik darinya. Tidak dibayangkan majelis ibadah tanpa Allah dan rasulNya. Oleh karena itu, Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

مَا مِنْ قَوْمٍ يَقُوْمُوْنَ مِنْ مَجْلِسٍ لَا يَذْكُرُوْنَ الله عزّ وجلّ فِيْهِ، إِلَّا قَامُوْا عَنْ مِثْلِ جِيْفَةِ حِمَارٍ، وَكَانَ لَهُمْ حَسْرَةٌ.

“Tidak ada suatu kaum yang berdiri dari suatu majelis di mana mereka tidak menyebut Allah c saat itu, melainkan mereka seperti berdiri dari bangkai keledai dan menjadi kerugian bagi mereka.” (HR. Abu Dawud, no. 4855, sanadnya dishahihkan oleh an-Nawawi di dalam Riyadh ash-Shalihin, no. 11/835; dan al-Ar-na`uth di dalam Tahqiq Riyadh ash-Shalihin nomor yang sama).

أَقُوْلُ قَوْلِيْ هذا وَأَسْتَغْفِرُ ِالله لِيْ وَلَكُمْ وَلِجَمِيْعِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

KHUTBAH KEDUA :

اَلْحَمْدُ لله الَّذِيْ أَرْسَلَ رَسُوْلَهُ بِالْهُدَى وَدِيْنِ الْحَـقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُوْنَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إله إِلاّ ِالله وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ،
قَالَ الله تَعَالَى: يَاأَيُّهاَ الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا الله حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
اللهم صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ. أَمَّا بَعْدُ:

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah

[5]. Membersihkan majelis dari perkara-perkara mungkar dan tidak berguna. Perkara mungkar yang sering terjadi di dalam se-buah majelis adalah memperbincangkan orang lain yang lazim disebut ghibah. Akibatnya sebuah majelis yang semestinya mulia bercampur dengan kemungkaran yang menodainya atau sebuah majelis yang pada dasarnya dibolehkan berubah menjadi ajang menangguk dosa akibat dari lidah yang tidak terkendali. Majelis Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam adalah majelis terbaik, salah satu contoh yang diberi-kan oleh Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam dalam majelisnya adalah melindungi majelis-nya dari dijadikan sebagai majelis membicarakan orang lain. Dalam hadits Itban bin Malik tentang kedatangan Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam di rumah-nya dan berkumpulnya orang-orang di rumahnya karena kedata-ngan Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam, salah seorang dari mereka berkata, “Di mana Malik bin ad-Dukhsyun?” Seseorang menjawab, “Itu orang munafik tidak mencintai Allah dan RasulNya.” Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Jangan berkata begitu, bukankah kamu melihatnya mengucapkan la ilaha illallah demi mendapatkan Wajah Allah.” (HR. al-Bukhari, Mukhtashar Shahih al-Bukhari, no. 262).

Dari sini, kaum Muslimin rahimakumullah, menjadi tanggung jawab orang yang hadir terutama pimpinan majelis menjaga majelis agar tidak melenceng dari sasaran dan targetnya, karena kemung-karan yang menyusup tanpa diperhatikan dan dilarang dan jika dia tidak kuasa melawan kemungkaran tersebut, maka lebih baik meninggalkannya. Firman Allah Subhanahu Wata’ala :

وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي ءَايَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ وَإِمَّا يُنْسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلاَ تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَى مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ

“Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membica-rakan pembicaraan yang lain. Dan jika setan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zhalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).” (Al-An’am: 68).

[6]. Hendaknya hadirin tidak meninggalkan majelis, kecuali jika ia telah selesai, agar manfaat yang dia dapatkan utuh. Di sam-ping itu, tidak memberi kesan bahwa dirinya meremehkan majelis, kecuali jika majelis bercampur dengan kemungkaran dan dia tidak kuasa mengingkarinya, atau dia terdesak oleh urusan lain yang lebih penting setelah sebelumnya meminta izin terlebih dahulu kepada pemilik majelis. Inilah adab yang Allah ajarkan kepada sahabat-sahabat agar mereka mempraktekkannya di majelis Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam. Firman Allah Subhanahu Wata’ala :

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ ءَامَنُوا بِاللهِ وَرَسُولِهِ وَإِذَا كَانُوا مَعَهُ عَلَى أَمْرٍ جَامِعٍ لَّمْ يَذْهَبُوا حَتَّى يَسْتَئْذِنُوهُ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَئْذِنُونَكَ أُوْلَئِكَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَرَسُولِهِ فَإِذَا اسْتَئْذَنُوكَ لِبَعْضِ شَأْنِهِمْ فَأْذَن لِّمَن شِئْتَ مِنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمُ اللهَ إِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Sesungguhnya yang sebenar-benar orang Mukmin ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan RasulNya, dan apabila me-reka berada bersama-sama Rasulullah dalam sesuatu urusan yang memerlukan pertemuan, mereka tidak meninggalkan (Rasulullah) sebelum meminta izin kepadanya. Sesungguhnya orang-orang yang meminta izin kepadamu (Muhammad), mereka itulah orang-orang yang beriman kepada Allah dan RasulNya, maka apabila mereka meminta izin kepadamu karena sesuatu keperluan, berilah izin kepada siapa yang kamu kehendaki di antara mereka, dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nur: 62).

Terakhir, tidak ada orang yang tidak salah, tidak ada majelis yang sempurna, sekuat apa pun orang menjaga majelis, ia tetap tersusupi perkara-perkara dan ucapan-ucapan yang tidak berman-faat. Maka tidak ada yang lebih baik daripada menutup majelis dengan tuntunan Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam yang tertuang dalam sabdanya :

مَنْ جَلَسَ فِي مَجْلِسٍ، فَكَثُرَ فِيْهِ غَلَطُهُ، فَقَالَ قَبْلَ أَنْ يَقُوْمَ مِنْ مَجْلِسِهِ ذلك: سُبْحَانَكَ اللهم وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إله إِلَّا أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ، إِلَّا غُفِرَلَهُ مَاكَانَ فِي مَجْلِسِهِذلك.

“Barangsiapa duduk di suatu majelis, lalu di dalamnya terdapat banyak ucapan yang tidak bermanfaat, lalu dia membaca sebelum berdiri dari majelis tersebut, ‘Mahasuci Engkau ya Allah dan dengan memujiMu aku bersaksi bahwa tiada tuhan yang haq selain Allah. Aku memohon ampun dan bertaubat kepadaMu,’ kecuali diampuni dosa-dosa yang ada di majelisnya tersebut.” (HR. at-Tirmidzi, no. 3442, dia berkata, “Hadits hasan shahih.” Sanadnya dinyatakan shahih oleh al-Arna`uth di dalam Tahqiq Riyadh ash-Shalihin, hadits no. 8/832).

إِنَّ الله وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

اللهم صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. اللهم بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
اللهم اغْـفِـرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْـفِـرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ، رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. اللهم إِنَّا نَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى. اللهم إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيْعِ سَخَطِكَ. وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. وَصَلى الله عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ.

( Dikutip dari buku : Kumpulan Khutbah Jum’at Pilihan Setahun Edisi Kedua, Darul Haq, Jakarta. Diposting oleh Wandy Hazar )