Dahulu Mushaf ‘Utsmani huruf-hurufnya tidak memakai tanda titik dan harakat. Hal itu karena pembawaan bahasa Arab mereka yang masih murni (selamat), yang tidak membutuhkan harakat dan titik. Ketika bahasa Arab mulai mengalami kerusakan dikarenakan adanya pecampuran dengan bahasa orang-orang ‘Ajam (orang non Arab), maka pihak yang bertanggung jawab dalam masalah itu (pemerintahan saat itu) merasa perlu untuk memperbaiki penulisan Mushaf dengan menambahkan harakat, titik, dan lain-lain yang dapat membantu agar pembaca al-Qur’an bisa membaca dengan benar.

Para Ulama berbeda pendapat tentang awal mula usaha perbaikan ini. Kebanyakan Ulama berpendapat bahwa yang pertama kali melakukan hal itu adalah Abul Aswad ad-Duali rahimahullah, yang dinisbatkan kepada beliau peletakkan kaidah-kaidah dasar bahasa Arab, berdasarkan perintah dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.

Diriwayatkan dalam masalah ini, bahwasanya beliau mendengar salah seorang membaca firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

… أَنَّ اللهَ بَرِىءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُهُ … {3}

”…Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyirikin. …. (QS. At-Taubah: 3)

Namun orang itu membaca dengan mengkasrahkan huruf Laam dalam kata Wa rasuuluhu (dan hal itu mengubah arti al-Qur’an, sehingga artinya dengan bacaan kasrah huruf Laam menjadi ”Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyirikin dan (berlepas diri dari) Rasul-Nya”). Maka kesalahan membaca tersebut membuat Abul Aswad ad-Duali terkejut, dan beliau berkata:”Mahamulia Wajah Allah untuk berlepas diri dari Rasul-Nya.” Lalu beliau pergi menuju Ziyad, gubernur Bashrah dan beliau berkata kepadanya”Aku telah memenuhi apa permintaanmu.” Dahulu Ziyad pernah meminta kepada Abul Aswad untuk membuatkan bagi manusia tanda-tanda (harakat dan titik), yang dengannya mereka bisa mengenal (membaca dengan benar) kitab Allah (al-Qur’an). Namun Abul Aswad terkesan lambat dalam merespon permintaan tersebut hingga akhirnya beliau dikejutkan dengan peristiwa ini. Dari sinilah beliau mulai berusaha keras, dan hasil akhir dari usaha kerasnya adalah dengan membuat tanda untuk Fathah satu titik di atas huruf, untuk Kasrah satu titik di bawah huruf, untuk Dhammah satu titik di antara ujung-ujung huruf, dan untuk Sukun dua titik.

Imam as-Suyuthi rahimahullah menyebutkan dalam al-Itqaan, bahwa Abul Aswad ad-Duali adalah orang pertama yang melakukan hal itu atas perintah ‘Abdul Malik bin Marwan, bukan perintah dari Ziyad. Yang mana kaum Muslimin terbiasa membaca dengan Mushaf ‘Utsmani selama lebih dari empat puluh tahun, hingga ketika kekhalifahan ‘Abdul Malik terjadi banyak kekeliruan dalam membaca al-Qur’an dan hal tersebut menyebar di ‘Iraq. Maka para Penguasa di sana memikirkan untuk membuat titik dan harakat (pada Mushaf).

Dan ada beberapa riwayat lain yang menyandarkan/menisbatkan pekerjaan ini (pembuatan membuat titik dan harakat) kepada orang lain (selain Abul Aswad ad-Duali). Di antaranya al-Hasan al-Bashri rahimahullah, Yahya bin Ya’mar, dan Nahsr bin ‘Ashim al-Laitsi. Dan hanya Abul Aswad-lah yang terkenal dalam maslah ini. Dan mungkin saja orang-orang lain yang disebutkan itu memiliki usaha-usaha yang lain yang mereka kerahkan untuk memperbaiki dan mempermudah Rasm (metode penulisan Mushaf)َ

Proses perbaikan rasm ini dilakukan dengan bertahap, pada awalnya syakal (harakat) berupa titik. Fathah berupa satu titik di atas awal huruf, Dhammah satu titik di atas akhir huruf dan Kasrah satu titik di bawah awal huruf. Kemudian terjadi perubahan penetuan harakat yang diambil dari huruf, dan itulah yang dicetuskan oleh al-Khalil. Maka jadilah fathah garis melintang di atas huruf, kasrah demikian juga namun di bawah huruf, dhammah wawu kecil di atas huruf, dan tanwin dengan tambahan tanda yang serupa. Alif yang dihilangkan dan diganti pada tempatnya dituliskan warna merah. Hamzah yang dihilangkan dituliskan berupa hamzah dengan warna merah tanpa huruf. Pada nun dan tanwin sebelum huruf ba’ diberi tanda iqlab berwarna merah. Nun dan tanwin tidak diberi tanda apa-apa ketika idgham dan ikhfa’. Setiap huruf yang harus dibaca sukun (mati) diberi tanda sukun dan huruf yang diidghamkan tidak diberi tanda tetapi huruf yang sesudahnya diberi tanda syaddah/tasydid/i] kecuali huruf tha’ sebelum ta’, maka sukun tetap dituliskan diatasnya, seperti فرطْت (al-Itqaan: 2/168)

Kemudian pada abad ketiga Hijriyah rasm Mushaf menjadi lebih baik dan lebih bagus orang-orang pun berlomba-lomba untuk memilih bentuk tulisan yang baik dan mencari tanda-tanda baru yang khas. Mereka memberikan tanda seperti busur untuk huruf yang ditasydid. Sedangkan untuk alif washal diberi lekuk di atasnya, bawahnya atau di tengahnya sesuai dengan harakat sebelumnya, apakah ia fathah, kasrah atau dhammah.

Kemudian secara bertahap pula orang-orang mulai meletakkan nama-nama surat dan bilangan ayat, simbol-simbol yang menunjukkan kepala ayat dan tanda waqaf. Tanda untuk waqaf lazim (wajib berhenti) adalah (م), waqaf mamnu’ (dilarang berhenti) adalah (لا), waqaf ja’iz (boleh berhenti dan boleh lanjut) adalah (ج), waqaf ja’iz tetapi washal (lanjut) lebih utama adalah (صلى), waqaf ja’iz tetapi berhenti lebih utama adalah (قلى), waqaf mu’anaqah yang apabila telah waqaf/berhenti pada satu tempat maka tidak dibenarkan berhenti di tempat lain adalah (:. .:), selanjutnya pembuatan tanda juz, tanda hizb, dan penyempurnaan-penyempurnaan lainnya.

Para Ulama pada awalnya tidak menyukai usaha tersebut (pembuatan titik dan harakat dan simbol), karena khawatir akan terjadi penambahan dalam al-Qur’an. Mereka bersandarkan pada ucapan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:”Bersihkan (murnikan) al-Qur’an dan jangan dicampur adukkan dengan apapun.”

Sebagian dari mereka membedakan antara pemberian titik yang boleh dengan pembuatan persepuluhan/al-A’syar, dan pembukaan-pembukaan surat yang tidak diperbolehkan. Al-Halimi rahimahullah berkata:”Dimakruhkan penulisan persepuluhan, perlimaan, nama-nama surat dan jumlahnya dalam Mushaf, berdasarkan perkataan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu “Bersihkan (murnikan) al-Qur’an”. Adapun titik-titik maka itu diperbolehkan, karena titik-titik tersebut tidak memiliki bentuk yang dapat membuat kerancuan sesuatu yang bukan al-Qur’an dianggap al-Qur’an. Akan tetapi titik-titik tersebut hanyalah petunjuk atas keadaan sebuah huruf yang dibaca, sehingga keberadaannya tidak membahyakan (tidak berpengaruh buruk) bagi orang yang membutuhkannya.”

Namun akhirnya hal itu berujung pada bolehnya atau bahkan dianjurkannya membuat titik dan harakat. Ibnu Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan dari al-Hasan dan Ibnu Sirin bahwa keduanya mengatakan:”Tidak ada salahnya memberikan titik pada mushaf.” an-Nawawi rahimahullah mengatakan:”pemberian titik dan pensyakalan(pemberian harokat-ed) itu dianjurkan, karena hal tersebut dapat menjaga Mushaf dari kesalahan dan penyimpangan.”Perhatian untuk menyempurnakan Mushaf, sekarang mencapai puncaknya dalam khat Arab.

(Sumber:مباحث في علوم القرآن, Syaikh Manna al-Qaththaan, maktabah Ma’arif, Riyadh hal. 146-150. Diposting oleh Abu Yusuf Sujono)