Di dalam rumah tangga terdapat hubungan dan keterkaitan hak dan kewajiban antara suami dengan istri, hak dan kewajiban ini diletakkan secara seimbang dan sejajar di antara suami istri, rumah tangga akan berjalan dan mengalir dengan baik dan lancar jika hak dan kewajiban ini dilaksanakan dan ditunaikan dengan benar dan konsekuen oleh suami dan istri, sebaliknya jika ada pihak dalam rumah tangga yang melalaikan kewajibannya maka secara otomatis ada pihak yang pasti merasa haknya terabaikan, dalam situasi seperti ini rumah tangga sangat riskan terhadap konflik dan perseteruan, penyebabnya adalah ketidakselarasan yang terjadi dalam hak dan kewajiban di antara suami dengan istri.

Dalam praktek di lapangan yang sering menjadi obyek sasaran dengan diabaikannya hak-haknya adalah istri, hal ini disebabkan –salah satunya- oleh kelemahan dari sisi fisik dan kelembutan dari sisi tabiat yang ada pada istri sebagai seorang wanita, sehingga hal ini sering dimanfaatkan oleh sebagian laki-laki yang buruk untuk melakukan KDRT dengan tidak menunaikan sebagian dari hak-haknya atau seluruh hak-haknya.

Agama Islam mewajibkan para suami agar memperlakukan istri dengan sebaik-baiknya, firman Allah Taala, “Dan bergaullah dengan istri-istrimu dengan cara yang patut.” (An-Nisa’: 19). Nabi saw telah mewasiatkan kepada para sahabat agar mereka saling memberi nasihat berbuat baik kepada para wanita, beliau menganggap bahwa sebaik-baik laki-laki adalah laki-laki yang terbaik bagi istrinya.

Sabda Nabi saw,

اسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا، فَإِنَّ المَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعِ، وَإِنَّ أَعْوَجَ مَا فِي الضِّلَعِ أَعْلاَهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهُ، وَإِنْ تَرَكْتَهُ، لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ، فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ.

“Hendaknya kalian saling berwasiat berbuat baik kepada para wanita, seorang wanita itu diciptakan dari tulang rusuk, dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas, jika kamu meluruskannya maka kamu mematahkannya, jika kamu membiarkannya maka ia senantiasa bengkok, maka hendaknya kalian saling berwasiat berbuat baik kepada para wanita.” (Muttfaq Alaihi dari Abu Hurairah).

Jika sebaik-baik suami adalah yang terbaik bagi istrinya, maka sebaliknya, suami di mana istrinya mengadu karena perlakuannya yang buruk bukan termasuk sebaik-baik lelaki. Nabi saw bersabda,

لَقَدْ أَطَافَ بِآلِ بَيْتِ مُحَمَّدٍ نِسَاءٌ كَثِيْر يَشْكُوْنَ أَزْوَاجَهُنَّ لَيْسَ أُولَئِكَ بِخِيَارِكُمْ .

“Keluarga Muhammad telah dikelilingi wanita-wanita dalam jumlah yang besar, mereka mengadukan suami-suami mereka, para suami itu bukanlah orang-orang terbaik dari kalian.” (HR. Abu Dawud dari Iyas bin Abdullah bin Abu Dzubab. An-Nawawi berkata dalam Riyadhus Shalihin, “Sanadnya shahih.”)

Walaupun al-Qur`an telah memerintahkan dan Rasulullah saw telah mewasiatkan berbuat baik kepada istri, akan tetapi tidak jarang kita melihat, mendengar dan membaca tentang para istri yang mendapatkan KDRT para suami dengan tidak mendapatkan hak-haknya sebagaimana mestinya, lebih dari itu para istri tersebut tetap dituntut menunaikan kewajiban-kewajiban para suami.

Di antara bentuk KDRT terhadap istri terjadi dalam masalah Nafkah, di mana suami membiarkan istrinya dengan tidak menafkahinya, sehingga istri yang membutuhkan makan terpaksa mencarinya sendiri, bahkan tidak jarang hasil usaha istri diambil paksa oleh suami. Termasuk KDRT, sekalipun tidak dalam potret yang kasar adalah saat istri menjadi TKW ke luar negeri sementara suami di rumah menikmati jerih payah istri, kondisi yang terbalik dari tuntunan syariat. Siapa sebenarnya yang harus menafkahi?

Islam menetapkan bahwa nafkah merupakan hak istri kewajiban suami, walaupun istri berkecukupan dan mampu menafkahi dirinya sendiri, hal ini tetap tidak menggugurkan haknya dalam nafkah selama istri tidak menggugurkannya dari suaminya. Kewajiban nafkah yang harus dipikul oleh suami ini ditetapkan oleh beberapa dalil dari al-Qur`an dan sunnah, di antaranya adalah :

Firman Allah, “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 233).

Firman Allah, “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.”(Ath-Thalaq: 7).

Sabda Nabi saw dalam hadits Jabir bin Abdullah yang diriwayatkan oleh Muslim,

وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالمَعْرُوْفِ.

“Dan untuk mereka atas kalian rizki dan pakaian dengan cara yang ma’ruf.”

Dari Hakim bin Muawiyah dari bapaknya berkata, Aku berkata, “Ya Rasulullah, apa hak istri salah seorang diantara kami atasnya?” Rasulullah saw menjawab,

أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ، وَتَكْسُوْهَا إِذَا كْتَسَيْتَ، وَلاَ تَضْرُبِ الوَجْهَ، وَلاَ تُقَبِّح.

“Hendaknya kamu memberinya makan apabila kamu makan, memberinya pakaian jika kamu berpakaian, jangan memukul wajah dan jangan berkata kepadanya, ‘Semoga Allah memperburukmu’.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa`i dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh al-Hakim dan Ibnu Hibban).

Hak nafkah untuk keluarga sangat ditekankan dalam Islam, seseorang akan memikul dosa yang tidak ringan jika dia menelantarkan orang yang semestinya dinafkahinya.

وعن عبد الله بن عمرو بن العاص رَضِيَ اللهُ عَنْهُما قال : قال رسول الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلًّمَ : كَفَى بِالمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوْتُ.

Dari Abdullah bin Amru bin al-Ash berkata, Rasulullah saw bersabda, “Cukuplah seseorang itu memikul dosa besar apabila dia menyia-nyiakan orang yang seharusnya dia nafkahi.” (HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh an-Nawawi dalam Riyadh ash-Shalihin no. 6/294).

Muslim meriwayatkan dengan maknanya, Nabi saw bersabda, “Cukuplah seseorang itu memikul dosa besar jika dia menahan nafkah orang yang wajib dia nafkahi.”

Apabila nafkah tidak diberikan sepenuhnya oleh suami kepada istri sehingga istri dan anak-anaknya kekurangan maka istri diizinkan untuk mengambil dari harta suaminya sebatas yang dibutuhkan dengan cara yang ma’ruf tanpa sepengetahuan suami.

Dari Aisyah berkata, Hindun binti Utbah istri Abu Sufyan datang kepada Rasulullah saw, dia berkata, “Ya Rasulullah, Abu Sufyan adalah suami yang pelit, dia tidak memberiku nafkah yang mencukupiku dan anak-anakku kecuali apa yang aku ambil dari hartanya tanpa sepengetahuannya, apakah aku berdosa karena itu?” Nabi saw bersabda,

خُذِي مِنْ مَالِهِ بِالمَعْرُوْفِ مَايَكْفِيْكِ، وَيَكْفِي بَنِيْكِ .

“Ambillah dari hartanya dengan cara yang ma’ruf apa yang mencukupimu dan anak-anakmu.” (Muttafaq alaihi).

Jika suami terbelit kesulitan sehingga dia tidak mampu memberi nafkah kepada istri dan istri tidak rela dengan kondisi tersebut maka istri berhak mengajukan hak fasakh pernikahan dengan alasan kesulitan suami dalam memberi nafkah, dala kamus fuqaha dikenal dengan al-Faskhu bil i’sar.

Dari Said bin al-Musayyib tentang seorang laki-laki yang tidak memiliki apa yang dia nafkahkan kepada istrinya, dia berkata, “Keduanya dipisahkan.” Diriwayatkan oleh Said bin Manshur. Dan dari Sufyan ats-Tsauri dan Abu Zanad darinya berkata, Aku berkata kepada Said, “Sunnah?” Dia menjawab, “Sunnah.” Ibnu Hajar berkata dalam Bulugh al-Maram, “Ini adalah mursal yang kuat.” Wallahu a’lam.