Kajian ini meliputi :
1. Sejarah Aqidah Tauhid dan Kapan Mulai Terjadi Penyimpangan.
2. Aqidah Tauhid di dalam Misi Da’wah Para Rasul Secara Umum.
3. Aqidah Tauhid di dalam Misi Da’wah Nabi Muham-mad n Secara Khusus.
4. Sumber dan Referensi Aqidah Menurut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
5. Karakteristik Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.

1. Sejarah Aqidah Tauhid dan Kapan Mulai Terjadi Penyimpangan

Aqidah Tauhid itu adalah ad-Dien al-Hanif (agama yang suci), agama yang lurus, agama fitrah yang telah difitrahkan Allah kepada manusia. Agama Tauhid ini ada bersama dengan adanya manusia itu sendiri, sebagaimana ditegaskan oleh dalil yang pasti (qath’i), yaitu al-Qur’an al-Karim yang merupakan sumber sejarah yang paling otentik dan paling valid. Allah berfirman,

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَتَ اللهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لاَتَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَيَعْلَمُونَ

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah). (Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (Ar-Rum: 30)

Nabi Adam ‘alaihis salam itu telah difitrahi aqidah yang lurus dan Allah telah mengajarkan kepadanya hal-hal yang tidak ia ketahui tentang urusan agama dan dunia. Maka Nabi adam ‘alaihis salam adalah seorang yang bertauhid, mengesakan Allah Subhanahu wa ta’ala. Dengan tauhid yang murni, seraya meyakini bagi Allah apa yang wajib bagi-Nya, seperti kewajiban mengagungkan dan mematuhi-Nya, berharap dan takut kepada-Nya. Allah telah memilihnya dari segenap hamba-hamba-Nya yang tulus. Allah berfirman,

إِنَّ اللهَ اصْطَفَى ءَادَمَ وَنُوحًا وَءَالَ إِبْرَاهِيمَ وَءَالَ عِمْرَانَ عَلَى الْعَالَمِينَ

“Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga Imran melebihi segala umat (di masa mereka masing-masing).” (Ali ‘Imran: 33)

Dengan hal itu, Allah memuliakannya dan memerintahkan para malaikat sujud kepadanya, sebagaimana firman-Nya:

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلاَئِكَةِ اسْجُدُوا لأَدَمَ

“Dan ingatlah, ketika Kami berkata kepada malaikat: Sujudlah kamu kepada Adam”. (al-Baqarah: 34)

Dan Allah Subhanahu wa ta’ala telah mengambil janji dan sumpah setia dari anak-cucu Nabi Adam (manusia) bahwa Allah adalah Rabb (Tuhan) mereka, dan Allah telah mempersaksikannya terhadap diri mereka semenjak awal ciptaan mereka ketika mereka masih berada di dalam tulang sulbi (rusuk) bapak-bapak mereka. Allah berfirman,

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِن بَنِي ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَآ أَن تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ {172} أَوْ تَقُولُوا إِنَّمَا أَشْرَكَ ءَابَآؤُنَا مِن قَبْلُ وَكُنَّا ذُرِّيَةً مِّن بَعْدِهِمْ أَفَتُهْلِكُنًا بِمَا فَعَلَ الْمُبْطِلُونَ

“Dan ingatlah, ketika Tuhanmu mengeluarkan ketu-runan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukan Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”.
“Atau agar kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan mem-binasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu”.
(al-A’raf:172-173)

Semua manusia dilahirkan ke dunia ini dalam keadaan fitrah (bertauhid) dan ia akan tumbuh dalam keadaan seperti itu selagi tidak ada hal-hal yang memalingkan dan menyesatkannya, seperti terdidik atas kekufuran dan kesesatan, membuntut kepada hawa nafsu dan rayuan setan, syubhat orang zhalim dan syahwat serta kecintaan pada dunia. Sebuah hadits qudsi menjelaskan :

وَأَنِّيْ خَلَقْتُ عِبَادِيْ حُنَفَاءَ كُلَّهُمْ، وَإِنَّهُمْ أَتَتْهُمُ الشَّيَاطِيْنُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِيْنِهِمْ وَحَرَّمَتْ عَلَيْهِمْ مَا أَحْلَلْتُ لَهُمْ، وَأَمَرَتْهُمْ أَنْ يُشْرِكُوْا بِيْ مَا لَمْ أُنْزِلْ بِهِ سُلْطَانًا.

“Aku (Allah) telah menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan bertauhid seluruhnya, namun mereka didatangi syetan, lalu menyeret mereka dari agama yang mereka anut. Syetan pun mengharamkan bagi mereka apa yang Aku halalkan bagi mereka dan syetan memerintah mereka agar mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak pernah Aku berikan pembenaran…”[1]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberitakan tentang hal itu, seraya bersabda:

مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ إِلاَّ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يَهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهَ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ.

“Tiadalah seorang bayi yang dilahirkan melainkan dalam keadaan fitrah (bertauhid). Maka kedua ibu-bapak-nyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.” [2]

Terhadap hal ini Allah Subhanahu wa ta’ala mengisyaratkan dengan firman-Nya:

كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ

“Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan”. (al-Baqarah: 213)
Maksudnya: Manusia pada awalnya berada di atas al-haq dan petunjuk sebagai satu ummat yang menganut satu agama, namun kemudian mereka berselisih. Demikianlah kebanyakan ulama salaf menafsirkan ayat di atas. [3]

Kemudian, pada masa Nabi Nuh ‘alaihis salam tersebarlah kesyirikan (penyekutuan terhadap Allah-pen.) di tengah-tengah masyarakatnya. Mereka menyembah berhala. Maka dari itu Allah berfirman tentang Nabi Nuh:

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ إِنِّي لَكُمْ نَذِيرٌ مُّبِينٌ {25} أَن لاَّتَعْبُدُوا إِلاَّاللهَ

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, (dia berkata): “Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang nyata bagi kamu, agar kamu tidak menyembah selain Allah”. (Hud: 25-26)

Dengan demikian sangat jelas sekali bahwa sesungguhnya aqidah yang lurus dan tauhid yang murni itu merupakan dasar di dalam sejarah manusia. Kesyirikan, kesesatan dan penyembahan terhadap berhala itu adalah merupakan hal yang baru datang kemudian, setelah beberapa abad sesudah Nabi Adam ‘alaihis salam* Wallahu a’lam.

2. Aqidah Tauhid di Dalam Misi Dakwah Para Rasul Secara Umum

Jika kita cermati kisah-kisah (da’wah) para rasul yang diceritakan di dalam al-Qur’an dan apa yang terjadi bagi mereka bersama umatnya, kita akan dapatkan bahwasanya mereka semuanya menyeru umatnya pada satu seruan, yaitu menyeru mereka untuk menyembah Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya dan menyeru mereka agar menjauh dari kesyirikan (penyekutuan terhadap Allah) sekalipun syari’at mereka berbeda-beda. [4]

Bahkan, masalah da’wah atau menyeru kepada tauhid dan mengajak untuk menghindari kesyirikan dengan segala sarananya itu adalah merupakan problem pertama yang diberitakan di dalam al-Qur’an antara para utusan Allah dengan umatnya. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman seraya memberitakan apa yang diserukan oleh para rasul:

وَمَآأَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلاَّنُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لآ إِلَهَ إِلآ أَنَا فَاعْبُدُونِ

“Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya Tidak ada tuhan (yang haq) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”. (al-Anbiya’: 25)

Firman Allah:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أَمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ [r/]

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”. (an-Nahl: 36)

Firman-Nya juga:

يُنَزِّلُ الْمَلاَئِكَةَ بِالرُّوحِ مِنْ أَمْرِهِ عَلَى مَن يَشَآءُ مِنْ عِبَادِهِ أَنْ أَنذِرُوا أَنَّهُ لآإِلَهَ إِلآأَنَا فَاتَّقُونِ

“Dia menurunkan para malaikat dengan (membawa) wahyu dengan perintah-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya, yaitu: “Peringatkanlah olehmu sekalian, bahwasanya tidak ada tuhan (yang haq) melainkan Aku, maka hendaklah kamu bertakwa kepada-Ku”. (an-Nahl: 2)

Jadi, seruan dan da’wah yang paling awal yang dilakukan oleh semua Rasul itu adalah da’wah kepada tauhid, yaitu hanya beribadah kepada Allah semata, bertaqwa dan ta’at kepada-Nya serta patuh kepada Rasul-Nya. Selain Allah menjelaskan hal itu secara general (umum) juga Allah memberitakan tentang sebahagian mereka secara rinci, seperti berita tentang Nabi Nuh yang berkata kepada kaumnya, seraya berfirman:

يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَالَكُم مِّنْ إِلاَهٍ غَيْرُهُ

“Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain Dia”. (al-A’raf: 59)

Tentang Nabi Hud di kala berkata kepada kaumnya, seraya berfirman:

يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَالَكُم مِّنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ

“Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain Dia”. (al-A’raf: 65)

Tentang Nabi Shalih ketika ia berkata kepada kaumnya, seraya berfirman:

يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَالَكُم مِّنْ إِلاَهٍ غَيْرُهُ

“Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain Dia”. (al-A’raf: 73)

Begitu pula tentang Nabi Syu’aib yang berkata kepada kaumnya, seraya berfirman:

يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَالَكُم مِّنْ إِلاَهٍ غَيْرُهُ

“Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain Dia”. (al-A’raf: 85)

Tentang Nabi Ibrahim yang berkata kepada kaumnya, seraya berfirman:

اعْبُدُوا اللهَ وَاتَّقُوهُ

“Sembahlah Allah dan bertaqwalah kepada-Nya”. (al-Ankabut:16)

Seruan atau berda’wah kepada tauhid, memperingatkan akan bahaya kesyirikan dan seruan kepada perbaikan aqidah adalah merupakan fundamen asasi di dalam dakwah para rasul, mulai dari utusan Allah yang pertama, yaitu Nabi Nuh ‘alaihis salam sampai nabi terakhir, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Inilah misi utama yang dengannya segala urusan dunia dan agama akan menjadi baik. Maka apabila aqidah manusia benar dan lurus, niscaya mereka tunduk hanya kepada Allah semata, ta’at kepada Rasul-Nya dan istiqamah di dalam menjalankan syari’at-Nya berdasarkan petunjuk dan ilmu yang jelas. Maka dengan begitu segala urusan agama dan dunia mereka menjadi baik dan lurus.

Tetapi bukan berarti bahwa para Rasul Allah itu tidak memperhatikan perbaikan pada sendi-sendi lain yang rusak, dan tidak juga bermakna bahwa mereka tidak mengajak kepada keutamaan-keutamaan yang lain. Mereka juga telah datang dengan mengajarkan ajaran-ajaran dan syari’at dari Allah yang harus dijadikan pedoman oleh umat manusia, ajaran dan syari’at yang dapat memperbaiki segala urusan kehidupan dunia mereka. Mereka juga mengajak kepada yang ma’ruf, menyerukan perdamaian dan keadilan, dan mencegah kemunkaran, perbuatan merusak dan kezhaliman. Mereka memerintahkan kepada setiap kebaikan dan keutamaan dan melarang setiap kejahatan, keburukan dan kekejian, baik secara rinci maupun global.

Namun, keutamaan yang paling agung adalah tauhid, mengesakan Allah Subhanahu wa ta’ala dan bertaqwa kepada-Nya, dan kerusakan yang paling besar adalah berbuat syirik terhadap Allah. Dan kesyirikan itulah kezhaliman yang paling besar. Maka dari itu masalah ini menjadi misi paling utama yang diemban oleh para Rasul.

Demikianlah, maka setiap dakwah yang tidak berdiri di atas dasar ini (aqidah tauhid), kapan dan di mana saja, maka sesungguhnya dakwah itu adalah dakwah yang lemah lagi kurang dan dikhawatirkan nasibnya dikemudian hari adalah kegagalan atau penyimpangan dari jalan yang lurus, atau bahkan kedua-duanya. Sebab Aqidah Tauhid merupakan dasar yang paling pokok dari dasar-dasar agama, yang apabila diabaikan oleh umat manusia, maka niscaya mereka terperosok ke dalam lembah bencana syirik dan bid’ah. Kita memohon kepada Allah semoga Dia mengaruniakan keselamatan kepada kita semua dari hal itu.

3. Aqidah TAuhid di Dalam Dakwah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam

Apabila kita renungkan al-Qur’anul Karim dan sejarah perjalanan hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam berdakwah, niscaya kita akan sampai pada suatu kenyataan yang sangat jelas sekali, yaitu:

  • Kebanyakan ayat-ayat al-Qur’anul Karim itu membicarakan dan memantapkan aqidah tauhid, yaitu tauhid uluhiyah, tauhid rububiyah, tauhid asma’ wa sifat, dan dakwah kepada kemurnian dan ketulusan beribadah dan tunduk hanya kepada Allah shallallahu ‘alaihi wasallam semata, tiada sekutu bagi-Nya serta pemantapan dasar-dasar aqidah dan keyakinan (iman dan Islam).

  • Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam setelah diutus menjadi rasul menghabiskan kebanyakan waktunya untuk memantapkan keyakinan dan aqidah serta berdakwah menyeru kaumnya untuk beribadah dan tunduk hanya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala semata. Dan ini merupakan konsekuensi dari La Ilaha Illallah, Muhammad Rasulullah.

Jadi, seruan kepada Aqidah, baik dalam rangka pengukuhan (ta’shil) maupun dalam rangka meluruskan itu mencakup bagian yang paling besar dari upaya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan waktunya di saat beliau menjadi nabi.

Untuk lebih jelasnya simak pembahasan berikut ini:

  • Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menghabiskan waktu selama 23 tahun untuk berda’wah kepada Allah –ini adalah masa kenabian beliau- 13 tahun darinya di Mekkah yang beliau habiskan untuk berdakwah dalam rangka merealisasikan “La ilaha illallah wa Muhammad Rasulullah”. Maksudnya berdakwah menyeru kaumnya agar bertauhid kepada Allah Subhanahu wa ta’ala hanya beribadah dan beruluhiyah kepada-Nya semata, tiada sekutu bagi-Nya dan menumpas habis kesyirikan dan penyembahan kepada berhala serta segenap perantara, serta memberantas bid’ah dan segala bentuk keyakinan dan kepercayaan yang rusak.

    10 tahun di antaranya beliau habiskan di Madinah. Masa ini dibagi-bagi untuk menetapkan hukum-hukum syar’i, memantapkan aqidah dan iman, mengokohkannya, melindunginya dari berbagai syubhat dan berjihad fisabilillah dalam rangka menebarkan aqidah. Artinya, bahwa kebanyakan masa 10 tahun itu digunakan untuk mengukuhkan aqidah tauhid dan dasar-dasar agama (ushuluddin), yang di antaranya adalah berdebat dengan Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani), menjelaskan kepalsuan aqidah mereka, membabat syubhat-syubhat mereka dan syubhat-syubhat kaum musyrikin, membendung tipu daya mereka dari Islam dan kaum muslimin. Semua itu dalam rangka menjaga dan memelihara Aqidah. Maka dakwah apapun yang tidak memberikan perhatian kepada masalah aqidah sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan perhatian kepadanya, baik secara teori maupun secara praktik, maka dakwah itu adalah dakwah yang pincang.

  • Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berperang adalah dalam rangka tegaknya aqidah, yaitu aqidah tauhid, agar agama (kepatuhan) hanya kepada Allah semata. Itulah Aqidah yang terekspresikan di dalam kesaksian bahwa tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Sekalipun pada saat itu berbagai kerusakan dan keburukan mendominasi kehidupan, namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tetap menjadikan tujuan perang adalah merealisasikan tauhid dan rukun-rukun Islam. Beliau telah bersabda:

    أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَيُقِيْمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ، فَإِذَا فَعَلُوْا ذَلِكَ عَصَمُوْا مِنِّيْ دِمَاءَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ اْلإِسْلاَمِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ.

    “Aku diperintah untuk memerangi manusia sehingga mereka mau bersaksi bahwa ‘tiada tuhan yang haq selain Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat dan menunaikan zakat’, maka jika mereka melakukan hal itu berarti mereka telah menyelamatkan darah mereka dariku, kecuali dengan hak Islam, sedangkan urusan batin mereka diserahkan kepada Allah.” [5]

    Itu tidak berarti bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengindahkan masalah-masalah lain, seperti berda’wah atau menyeru kepada keutamaan, budi pekerti dan akhlak mulia (seperti: berbuat kebajikan, menjalin hubungan silaturrahmi, tepat janji dan amanah) serta mengajak manusia untuk meninggalkan lawannya, berupa perbuatan dosa kecil dan dosa besar seperti riba, zina, zhalim dan memutus hubungan silaturrahmi. Sama sekali tidak berarti seperti itu. Hanya saja beliau menempatkannya dalam urutan kedua, yaitu sesudah ushul i’tiqad (dasar-dasar aqidah). Sebab beliau sebagai qudwah (teladan, anutan) sadar betul bahwasanya mana-kala manusia ini istiqamah pada dienullah, tulus ikhlas, patuh dan beribadah hanya kepada-Nya semata, niscaya niat dan amal mereka menjadi baik, mereka lakukan berbagai kebajikan, mereka tinggalkan segala bentuk larangan agama, mereka mengajak kepada kebaikan sehingga kebaikan benar-benar mendominasi kehidupan mereka dan niscaya mereka mencegah kemungkaran sehingga tidak mendominasi kehidupan mereka.

    Jadi, sumber segala kebajikan dan kebaikan itu sangat tergantung kepada lurusnya Aqidah. Apabila aqidah manusia ini benar, niscaya mereka istiqamah pada al-haq dan kebaikan. Namun, manakala aqidah tidak benar, niscaya kondisi mereka rusak dan yang mendominasi kehidupan mereka adalah nafsu dan perbuatan dosa serta kemungkaran sangat mudah terjadi bagi mereka. Kepada hal ini hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengisyaratkan:

    أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ.[r/]

    “Ketahuilah, sesungguhnya di dalam jasad itu ada segumpal darah, apabila ia baik, maka baik pulalah seluruh jasad. Dan apabila ia rusak, maka rusaklah seluruh jasad. Ketahuilah, segumpal darah itu adalah hati.” [6]

    Di samping Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyeru dan mengajak kepada ketulusan agama kepada Allah semata (tauhid) dan memerangi manusia agar mereka mengikrarkan Kalimat Tauhid, beliau juga mengajak kepada seluruh akhlak mulia dan budi pekerti yang luhur, secara global dan secara rinci, beliau juga melarang lawannya secara global dan secara rinci pula.

    Di samping perhatian beliau kepada ishlahuddin (perbaikan agama), beliau juga berbuat untuk perbaikan dunia mereka, namun beliau lakukan dalam urutan setelah urutan perhatian kepada masalah ‘aqidah dan ketulusan beragama hanya kepada Allah semata. Ini adalah kenyataan yang banyak tidak diketahui atau sengaja dilupakan oleh orang-orang yang tidak setuju dengan masalah ini.

  • Jika kita cermati dan merenung al-Qur’anul Karim yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagi rahmat dan jalan kehidupan (the way of life) bagi kaum muslimin hingga hari pembalasan kelak, niscaya kita temukan bahwa mayoritas ayat al-Qur’an itu membicarakan masalah ‘Aqidah dan penegasan akan dasar-dasarnya serta penetapan ibadah, penyembahan dan kepatuhan itu hanya kepada Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya dan mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

    Sesungguhnya perintah pertama yang dibawa al-Qur’an dan perintah Allah dan Rasul-Nya yang harus dilakukan adalah membesarkan dan mengagungkan Allah Subhanahu wa ta’ala semata, memberikan peringatan kepada manusia akan perbuatan syirik (menyekutukan Allah), mensucikan diri dari dosa dan maksiat dan mengasingkan diri dari kebiasaan penyembahan kepada berhala yang dilakukan oleh orang-orang kafir musyrikin serta sabar dan tabah di dalam menjalankan semua itu.

    Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:

    يَاأَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ {1} قُمْ فَأَنذِرْ {2} وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ {3} وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ {4} وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ {5} وَلاَتَمْنُن تَسْتَكْثِرُ {6} وَلِرَبِّكَ فَاصْبِرْ

    “Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan. Dan Tuhanmu agungkanlah. Dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah, dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhan-mu, bersabarlah.” (al-Muddatstsir: 1-7)

    Kemudian al-Qur’an pun terus diturunkan ayat-ayatnya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sepanjang keberadaan beliau di Makkah untuk mengukuhkan dan memantapkan ‘aqidah, berdakwah kepada ketulusan ibadah dan agama hanya kepada Allah semata dan patuh mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

    Oleh karenanya, kita temukan kebanyakan ayat-ayat al-Qur’an itu berbicara tentang aqidah, baik dengan ungkapan yang jelas maupun dengan isyarat, dimana kebanyakan ayat-ayat al-Qur’an itu datang dalam rangka penetapan tauhid uluhiyah dan memurnikan ibadah hanya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala semata, tauhid rububiyah, asma wa shifat, dasar-dasar iman dan Islam, perkara-perkara ghaib, taqdir (baik dan buruknya), hari kemudian (kiamat), dan surga, penghuni dan kenikmatannya, neraka, penghuni dan adzab di dalamnya (janji dan ancaman). Semua dasar-dasar aqidah itu berkisar seputar hal-hal tersebut.

    Para ulama telah menyebutkan bahwa al-Qur’an itu (terdiri dari): sepertiganya adalah hukum, sepertiga lagi adalah berita (akhbar) dan sepertiga yang lain adalah tauhid. [7] Ini meruapakan tafsiran mereka terhadap sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam “Qulhuwallahu ahad itu setara dengan sepertiga isi al-Qur’an.” [8]

    Hal itu karena sesungguhnya surat “Qulhuwallahu ahad” itu meliputi ajaran tauhid yang teragung dan mensucikan Allah Subhanahu wa ta’ala.

    Ayat-ayat yang membicarakan hokum tidak pernah lepas dari pembicaraan mengenai aqidah dan dasar-dasar agama (ushuluddin). Hal itu melalui nama-nama dan sifat-sifat Allah yang disebutkan, melalui perintah taat kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya dan penjelasan tentang hikmah (rahasia) di balik tasyri’ (penetapan hukum) dan lain-lainnya.

    Demikian pula, ayat-ayat yang berbicara tentang berita dan kisah-kisah (sejarah) kebanyakannya di dalam rangka membicarakan iman dan aqidah. Hal itu tampak di dalam berita-berita tentang masalah-masalah yang ghaib, ancaman, hari Kiamat dan yang serupa dengannya.

    Dengan penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa al-Qur’anul Karim, mayoritas ayat-ayatnya membicarakan penetapan aqidah, berdakwah kepadanya, mempertahankannya dan berjihad demi aqidah.

    Dan dengan demikian kita sampai pada suatu kesimpulan yang jelas, yaitu bahwa kewajiban para da’i (aktivis dakwah) yang menjadikan al-Qur’an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai pedomannya adalah menyadari dan mengetahui kenyataan ini dari al-Qur’an dan sunnah, lalu mereka mengamalkannya sebagaimana diamalkan oleh Rasulullah n dan para shahabatnya. Allah jualah yang memberikan petunjuk kepada jalan yang lurus.

4. Sumber (Referensi) Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah

Aqidah itu mempunyai dua sumber rujukan (referensi), yaitu:

  • Al-Qur’anul Karim dan
  • hadits-hadits shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itu berbicara tidak berdasarkan hawa nafsu, melainkan wahyu yang diwahyukan.

Adapun Ijma’ ulama salaf juga merupakan sumber yang dasarnya adalah al-Qur’an dan Hadits. [9]

Sedangkan fitrah dan akal sehat, keduanya merupakan pendukung yang sesuai dengan al-Qur’an dan Hadits. Keduanya (fitrah dan akal) mengetahui dasar-dasar aqidah secara global saja, tidak secara rinci. Maka akal dan fitrah, keduanya mengetahui wujud Allah, keagungan-Nya, keharusan taat dan beribadah hanya kepada-Nya, Allah bersifat Agung lagi Mulia, namun secara global.

Sebagaimana halnya pula, akal sehat dan fitrah yang suci mengetahui keharusan adanya kenabian dan pengutusan para rasul dan keharusan adanya kebangkitan dan pembalasan terhadap amal perbuatan (di hari Kiamat) secara global, tidak secara rinci.

Akan tetapi, semua itu dan semua perkara-perkara ghaib, tidak ada jalan untuk mengetahuinya sedikitpun darinya secara rinci kecuali melalui jalan al-Qur’an dan Hadits (wahyu), sebab jika tidak, maka ia tidak disebut sebagai hal yang ghaib.

Bertolak belakangnya nash sharih (yang jelas) dari al-Qur’an atau Hadits dengan akal sehat itu sama sekali tidak mungkin terjadi dan mustahil. Apabila ada rasa seolah-olah itu ada, maka wahyu atau nash harus diutama-kan dan dijadikan patokan, karena nash itu datang atau bersumber dari orang yang ma’shum (terpelihara dari kesalahan), yaitu Nabi Muhammad n, sedangkan akal tidak mempunyai jaminan terpelihara dari kesalahan. Akal hanyalah merupakan pandangan manusia yang lemah (tidak sempurna) [10], manusia sangat mudah keliru, salah, lupa, mengikuti nafsu, bodoh dan lemah. Jadi, manusia itu sudah secara pasti merupakan makhluk yang lemah dan tidak sempurna.5. Beberapa Karakteristik Aqidah Islam dan Penganutnya

Sesungguhnya orang yang mau berfikir obyektif, jika ia melakukan perbandingan antara berbagai keyakinan yang ada di antara umat manusia saat ini, niscaya ia menemukan beberapa karakter dan ciri-ciri bagi aqidah Ahlus Sunnah, yang membedakannya dan membedakan para penganutnya dengan jelas dari keyakinan-keyakinan agama-agama, sekte atau aliran-aliran keagamaan lainnya. Karakter dan ciri-ciri itu diantaranya:

  • Keotentikan sumbernya. Hal itu karena Aqidah Ahlus Sunnah bersandarkan kepada al-Qur’an, Hadits dan ijma’ para ulama salaf serta penjelasan dari mereka saja.

    Ciri ini tidak terdapat pada aliran-aliran mutakallimin, ahli bid’ah dan kaum sufi yang selalu bersandar kepada akal dan pemikiran atau kepada kasyaf, ilham, wujd dan sumber-sumber lain yang berasal dari manusia yang lemah yang mereka jadikan sebagai patokan atau sandaran di dalam masalah-masalah yang ghaib. Padahal aqidah itu semuanya ghaib.

    Sedangkan Ahlus Sunnah selalu berpegang teguh kepada al-Qur’an dan Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ijma’ kaum salaf shalih dan penjelasan-penjelasan dari mereka. Jadi, aqidah apa saja yang bersumber dari selain al-Qur’an, hadits, ijma’ salaf dan penjelasan mereka itu maka ia adalah kesesatan dan kebid’ahan.

    Orang-orang yang mengklaim bahwasanya mereka merujuk suatu ajaran agama berdasarkan akal dan fikiran atau berdasarkan ilmu kalam dan falsafat atau ilham, kasyaf dan wujd, atau mimpi dan khayalan, atau melalui orang-orang yang dianggap ma’shum (selain nabi) atau beranggapan menguasai ilmu ghaib (dari kalangan tokoh, pemimpin, wali qutub, ghauts dll.) atau mereka beranggapan bahwa boleh bagi mereka mempraktekkan hukum buatan manusia dan undang-undang yang mereka buat. Maka siapa saja yang beranggapan seperti itu, sesungguhnya ia telah melakukan kedustaan yang sangat besar terhadap Allah Subhanahu wa ta’ala. Maka kami katakan kepada orang yang beranggapan (baca: berkeyakinan) seperti itu sebagaimana yang difirmankan Allah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada orang yang berbicara tentang Allah tanpa dasar ilmu:“Katakanlah: Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar”. (al-Baqarah: 111)

    [Bagaimana mungkin ia dapat memberikan argumentasi selain syubhat-syubhat syetan.

    Karakter dari ciri ini, yakni bersandar kepada al-Qur’an, Hadits dan metode salaf shalih adalah merupakan salah satu kekhasan Ahlus Sunnah. Nyaris tidak ada perselisihan di kalangan mereka kapan dan di manapun juga. Segala puji hanya milik Allah.

  • Berpegang teguh kepada prinsip berserah diri kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dan kepada Rasul-Nya. Sebab, Aqidah adalah masalah ghaib, dan hal yang ghaib itu hanya tegak dan bersandar kepada kepasrahan (taslim) dan keyakinan sepenuhnya (mutlak) kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya. (Maksudnya, apa yang diberitakan Allah dan Rasul-Nya diterima dan diyakini sepenuhnya, pen.). Taslim merupakan ciri dan sifat kaum beriman yang karenanya mereka dipuji oleh Allah, seraya berfirman:“Alif Lam Mim, Kitab al-Qur’an ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib.” (al-Baqarah: 1-2)

    Perkara ghaib itu tidak dapat diketahui atau dijangkau oleh akal, maka dari itu Ahlus Sunnah membatasi diri di dalam masalah aqidah kepada berita dan wahyu yang datang dari Allah dan Rasul-Nya. Hal ini sangat berbeda dengan para Ahli bid’ah dan Ahli Kalam (mutakallimin). Mereka menyelami masalah yang ghaib itu dengan berbagai dugaan. Tidak mungkin mereka akan mengetahui masalah-masalah ghaib. Mereka tidak melapangkan akal mereka [11] dengan taslim, berserah diri kepada Allah dan Rasul-Nya, dan tidak pula menyelamatkan aqidah mereka dengan ittiba’ dan mereka tidak membiarkan awam kaum muslimin berada pada fitrah yang telah Allah fitrahkan kepada mereka.

  • Sejalan dengan fitrah yang suci dan akal yang sehat. Hal itu karena aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah berdiri di atas prinsip ittiba (mengikuti), Iqtida’ (meneladani) dan berpedoman kepada petunjuk Allah Subhanahu wa ta’ala, bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan aqidah generasi terdahulu (salaful ummah). Aqidah Ahlus sunnah bersumber dari sumber fitrah yang suci dan akal yang sehat itu sendiri serta pedoman yang lurus. Betapa sejuknya sumber rujukan ini.

    Sedangkan aqidah dan keyakinan golongan yang lain itu hanya khayalan dan dugaan-dugaan yang mem-butakan fitrah dan membingungkan akal belaka.

  • Matarantai sanadnya sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, para shahabatnya dan para tabi’in serta para tokoh pemuka agama. Tidak ada –alhamdulillah- satu dasar pun dari dasar-dasar aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang tidak mempunyai dasar atau sanad atas qudwah dari para shahabat nabi, tabi’in dan tokoh pemuka (imam-imam) agama hingga hari Kiamat. Ini sangat berbeda dengan aqidah kaum mubtadi’ah (ahli bid’ah) yang menyalahi kaum salaf di dalam beraqidah. Aqidah mereka adalah merupakan hal yang baru (bid’ah) tidak mempunyai sandaran dari al-Qur’an dan Hadits/Sunnah, ataupun dari para shahabat Nabi dan ulama tabi’in. Oleh karena seperti itu adanya maka ia merupakan bid’ah, dan setiap bid’ah itu kesesatan. [12]

  • Jelas dan gamblang. Aqidah Ahlus Sunnah mempunyai kekhasan, yaitu gamblang dan jelas, bebas dari kontradiksi, ketidakjelasan, falsafat dan kerumitan kata dan maknanya, karena aqidah Ahlus Sunnah bersumber dari firman Allah yang sangat jelas yang tidak datang kepadanya kebatilan (kepalsuan) baik dari depan maupun dari belakangnya, dan (bersumber) dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak pernah berbicara berdasarkan hawa nafsu. Sedangkan aqidah-aqidah dan keyakinan-keyakinan (golongan, kelompok) yang lain itu berasal dari ramuan yang dibuat oleh manusia atau ta’wil dan tahrif mereka (terhadap teks-teks syar’i). Sungguh sangat jauh perbedaan antara dua sumber itu, apalagi (jika dilihat dari kaidah) bahwa aqidah itu tauqifi (sangat terbatas pada nash) dan bersifat ghaib, tidak ada pintu bagi ijtihad sebagaimana yang telah dimaklumi.

  • Bebas dari kerancuan, kontradiksi dan kesamaran: Aqidah Islam yang murni itu tidak ada kerancuan padanya, tidak pula kontradiksi dan kesamaran. Hal itu karena ia ber-sumber dari wahyu, kekuatan hubungan para penganutnya dengan Allah, realisasi ubudiyah (penghambaan) hanya kepada-Nya semata, penuh tawakkal kepada-Nya semata, kekokohan keyakinan mereka terhadap kebenaran (al-haq) yang mereka miliki dan keterbebasan mereka dari kebingungan, kecemasan, keraguan dan syubhat di dalam beragama. Berbeda halnya dengan para ahli bid’ah, tujuan dan sasaran mereka tidak pernah lepas dari salah satu penyakit tersebut.

    Sebagai contoh yang sangat jelas sekali adalah keraguan, kegoncangan dan penyesalan yang terjadi pada para tokoh terkemuka mutakallimin (Ahlul Kalam), tokoh filosof dan para tokoh sufi sebagai akibat dari sikap mereka menjauhi aqidah salaf; dan kembalinya kebanyakan mereka kepada taslim dan pengakuan terhadap Aqidah kaum salaf, terutama ketika usia mere-ka makin senja atau ketika mereka akan menghadapi maut (kematian), sebagaimana terjadi pada Imam Abul Hasan al-Asy’ari. Beliau telah merujuk (kembali) kepada Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah (aqidah salaf) sebagaimana dinyatakan di dalam karya monumentalnya “al-Ibanah ‘an Ushuliddiyanah” setelah sebelumnya menganut aqidah mu’tazilah, kemudian talfiq (paduan antara aqidah mu’tazilah dan aqidah salaf, pen.). Juga Imam al-Baqilani, wafat tahun 403 H, sebagaimana di-nyatakan di dalam kitab “at-Tamhid”, Abu Muhammad al-Juwaini, wafat tahun 438 H. (ayah imam al-Haramain) sebagaimana dinyatakan di dalam kitab “Risalatul Istiwa’ wal Fauqiyyah” dan Imam al-Haramain (sendiri), wafat tahun 478 H, sebagaiman dinyatakan di dalam kitabnya: “ar-Risalah an-Nizhamiyyah. Juga seperti Imam asy-Syihristani, wafat tahun 548 H, sebagaimana dinya-takan di dalam kitab “Nihayatul Iqdam”, dan Imam al-Fakhrurrazi, wafat tahun 606 H, sebagaimana dinyatakan di dalam kitab “Aqsamul Ladzdzat”, dan banyak lagi tokoh terkemuka lainnya. [13]

    Secara umum, para penganut Aqidah Ahlus Sun-nah wal Jama’ah selamat dari ketidakjelasan terhadap masalah bid’ah, kesyirikan dan dosa-dosa besar. Ahlus Sunnah secara umun merupakan kelompok yang paling selamat, tidak terjerumus ke dalam lembah bid’ah, dan tidak terjadi kemusyrikan (penyekutuan terhadap Allah) pada mereka. Adapun dosa-dosa kecil, perbuatan mak-siat ataupun dosa besar adakalanya sebahagian dari mereka jatuh di dalamnya, namun kuantitasnya lebih sedikit dibandingkan dengan madzhab lainnya. Sedangkan selain Ahlus Sunnah tidak ada yang selamat dari salah satu virus bid’ah-bid’ah dan kesyirikan, sebagai-mana kemaksiatan dan dosa-dosa besar secara umum lebih banyak terjadi pada kalangan Ahlul Iftiraq (Ahlul Bid’ah).

    Kaum mutakallimin dari kalangan Mu’tazilah dan tidak sedikit pula dari madzhab Asya’irah (Asy’ariyah) dan lainnya yang berbicara tentang Allah tanpa dasar ilmu, mereka menyelami masalah yang ghaib tanpa didasari ilmu. Kaum sufi, kaum pencinta kuburan dan seluruh ahli bid’ah menyembah Allah Subhanahu wa ta’ala tidak berdasarkan syari’at yang telah Allah tetapkan. Rafidhah (Syi’ah), kelompok kebatinan dan yang serupa dengan mereka telah berbuat dusta dengan mengatasnamakan Allah Subhanahu wa ta’ala dan mereka mengada-ada atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sehingga kedustaan bagi mereka menjadi ajaran agama yang harus dipatuhi. Kaum Khawarij pun demikian, mereka ekstrim di dalam memahami agama, maka Allah mempersulit mereka.

  • Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah merupakan faktor utama bagi kemenangan dan kebahagiaan abadi di dunia dan akhirat. Di antara ciri khas Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang paling menonjol adalah:

    Bahwa Aqidah Ahlus Sunnnah merupakan faktor utama bagi terealisasinya kesuksesan, kemenangan dan keteguhan bagi siapa saja yang menganutnya dan menyerukannya kepada umat manusia dengan penuh ketulusan, kesungguhan dan kesabaran. Golongan yang berpegang teguh kepada aqidah ini, Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah golongan yang menang lagi diberi pertolongan, golongan yang tidak terbahayakan oleh siapa saja yang tidak menghiraukan ataupun memusuhinya hingga hari Kiamat kelak, sebagaimana diberitakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melalui sabdanya:

    لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ كَذَلِكَ.

    “Akan tetap ada segolongan dari umatku yang berdiri di atas al-haq (kebenaran), tidak akan membahayakan mereka siapa yang tidak menghiraukannya hingga perintah Allah tiba (hari Kiamat) dan mereka pun tetap seperti itu.” [14]

  • Ia merupakan Aqidah al-Jama’ah dan kesatuan: Hal itu, karena aqidah ini merupakan jalan yang paling agung (efektif) untuk menyatukan kekuatan kaum muslimin, kesatuan barisan mereka dan untuk memperbaiki apa-apa yang rusak dari urusan agama dan dunia mereka. Sebab, aqidah Ahlus Sunnah (mampu) mengembalikan mereka kepada al-Qur’an, Sunnah (hadits) dan sabilil mu’minin (jalan kaum muslimin). Ciri khas ini selama-lamanya tidak mungkin terealisasi pada suatu golongan mana pun, atau lembaga dakwah apapun atau organisasi apapun yang tidak menganut Aqidah ini. Sejarah adalah saksi bagi kenyataan ini! Hanya negara-negara yang berpegang teguh kepada sunnah (Aqidah Ahlus Sunnah, pen) sajalah yang dapat menyatukan kekuatan kaum muslimin yang berserakan, hanya dengannyalah jihad serta amar ma’ruf dan nahi munkar itu tegak, dan dengannya pula Islam menjadi mulia (berwibawa di hadapan mata asing, pen) baik dahulu maupun sekarang, baik mulai zaman para khulafa’ar-Rasyidin, kekuasaan Dinasti Umayyah, awal kekuasaan Dinasti ‘Abbasiyah, pada awal kekuasaan Dinasti Utsmaniyah, pada masa kekuasaan Shalahuddin al-Ayubi dan kekuasaan Daulah Islamiyah di Andalusia serta pada masa Kerajaan Saudi Arabia di mana Sunnah dibela, tauhid dida’wahkan, segala bentuk bid’ah dan perbuatan kesyirikan diperangi dan tanah-tanah suci disucikan darinya. Dan hingga sekarang masih dalam kondisi sedemikian –Alhamdulillah-, dan memang harus tetap seperti itu sepanjang kekuasaannya. Kebanyakan negara-negara tersebut, ketika terjadi perpecahan di dalamnya dan bid’ah merajalela, maka negara-negara itu pun rapuh dan pada akhirnya tumbang. Dan negara-negara yang tidak berdiri di atas Sunnah maka (biasanya) ia menyebarkan kekacauan, perpecahan dan bid’ah, mematikan jihad dan menyebarluaskan kemungkaran, selalu dilanda kekalahan dan diliputi kebodohan terhadap ajaran agama serta Sunnah pun lenyap. Hal itu terjadi seperti pada kekuasaan (negara) Rafidhah (Syi’ah), Bathiniyah, Qaramithah dan Sufiyah; dan juga seperti pada kekuasan Dinasti Buwaih dan Fathimiyah yang mencerai-beraikan kaum muslimin dan menyebarluaskan bid’ah dan berbagai macam perbuatan kesyirikan.

    Dan ketika Mu’tazilah mempunyai kementerian dan markaz-markaz kekuasaan pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah timbullah berbagai bid’ah Kalam, para pemuka Ahlus Sunnah dikepung dan dipenjara, bahkan umat secara umum dilanda fitnah dan cobaan yang sangat berat di dalam mempertahankan agama atau aqidah mereka, sampai menimpa para tokoh ulamanya.

  • Utuh, Kokoh Dan Tetap Langgeng. Di antara ciri terpenting Aqidah Ahlus Sunnah adalah utuh, kokoh langgeng dan selalu sama (tidak mengalami perbedaan). Jadi, Aqidah mereka di dalam masalah yang prinsipil (ushuluddin) utuh dan sama sepanjang masa dan (akan tetap seperti itu) hingga hari Kiamat kelak. Artinya adalah Aqidah Ahlus Sunnah itu selalu sama, utuh dan terpelihara baik secara riwayat maupun keilmuannya, kata-kata maupun maknanya. Ia diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya tanpa mengalami perubahan, tahrif, talfiq (pencampur adukan) dan kerancuan, dan tidak pernah mengalami penambahan maupun pengurangan. Sebabnya adalah karena Aqidah Ahlus Sunah bersumber langsung dari al-Qur’an yang tidak datang kepadanya kebatilan baik dari depan maupun dari belakang, dan bersumber dari Hadits atau Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak pernah berbicara berdasarkan hawa nafsu. Aqidah ini telah dipelajari dan diterima oleh para shahabat nabi, kemudian oleh para tabi’in, lalu para tabi’in generasi berikutnya dan kemudian oleh para imam atau pemuka agama yang berpegang teguh kepada tuntunan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sampai sekarang, baik secara riwayat maupun secara keilmuannya dan baik secara pengajaran maupun secara tulisan.

    Sebagai contoh, keyakinan Ahlus Sunnah di dalam masalah sifat Allah baik secara global maupun secara rinci masih tetap sama tidak terjadi perbedaan, begitu pula di dalam masalah Kalamullah, al-Qur’an, istiwa’ (Allah bersemayam di atas ‘Arasy), nuzul (Allah turun ke permukaan bumi di sepertiga malam terakhir), ru’yah (melihat Allah di akhirat), dan keyakinan mereka di dalam masalah taqdir (qadar), iman, syafa’at, tawassul dan lain-lainnya. Semuanya masih tetap sama sebagaimana dinukil dari salaf dan kurun ketiga pertama yang penuh berkah (al-qurun al-fadhilah). Ini adalah merupakan jaminan Allah di dalam memelihara ajaran agama-Nya.

    Berbeda halnya dengan golongan dan madzhab yang lain. Katakanlah seperti madzhab Asy’ariyah dan Maturidiyah yang merupakan madzhab yang paling dekat kepada Ahlus Sunnah. Mereka gamang di dalam masalah-masalah yang mereka perselisihkan dengan Ulama Salaf (Aqidah salaf) disebabkan ta’wil dan bid’ah yang mereka lakukan. [15] Di dalam aqidah mereka terjadi banyak talfiq (ketidak pastian), kerancuan dan keragu-raguan serta sikap tawaquf (abstain) di dalam masalah aqidah yang datang dari Allah dan Rasul-Nya, dan mereka membuat lafazh-lafazh (istilah-istilah) dan makna-makna baru yang tidak ada di dalam wahyu al-Qur’an dan Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Catatan Kaki :

[1] Riwayat Imam Muslim di dalam Shahihnya, Kitabul Jannah wa Shifatu Na’imiha wa Ahliha, Hadits No. 2865, Vol. 3, hal. 2197.

[2] Muttafaq Alaih, Shahih Al-Bukhari, Kitab Jana’iz, bab Idza Aslama ash-Shobi (Fathulbari, juz 3, hal. 219); Shahih Muslim, Kitab al-Qadar, Vol.3, hal. 1047, hadits no. 2651.

[3] Lihat Tafsir at-Thabari, juz.2. hal.194-195, Tafsir Ibnu Katsir, vol.1. hal. 218 dan lihat pula buku “Da’watut tauhid, karya DR. Muhammad Khalil Harras, hal. 106-119.

[4] Tathhirul I’tiqad, karya ash-Shan’ani, hal. 5.

[5] Shahih Bukhari: Kitabul Iman, bab :jika mereka bertobat dan menegakkan shalat. (Fathul Bari, hadits ke 24, juz.1. hal.74, dan Shahih Muslim: Kitabul Iman, bab: perintah memerangi manusia sehingga mereka bersyahadat, Hadits. No. 22, juz.2. hal. 53. Hanya saja di dalam riwayat Muslim tidak disebutkan ungkapan “kecuali dengan hak Islam”.

[6] Hadits riwayat Bukhari di dalam Shahih-nya: Kitabul Iman, hadits no. 52. (Fathul Bari: vol.1. hal.126) dan Imam Muslim di dalam Shahih-nya: Kitabul masaqat, bab :mengambil yang halal. Hadits no. 1599. vol. 3. hal. 122.

[7] Di antara mereka yang berpendapat seperti itu adalah Ibnu Suraih, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Hajar. Semoga Allah mencurahkan rahmatnya kepada mereka. Lihat kitab: Jawabu Ahlil IImi wal Iman Bitahqiqi ma Akhbara bihir Rahman min Anna “Qul Huwallahu Ahad” Ta’dilu Tsulutsal Qur’an, karya Ibnu Taimiyah di dalam Majmu’ Fatawa; vol. 17. hal. 13, 101 dan 103. Lihat pula : Fathul Bari, vol. 9. hal. 61.

[8] Hadits riwayat Imam Bukhari kitab Fadla-ilul Qur’an, Fathul Bari, Vol.9, hal. 61 dan Imam Muslim kitab Shalatul Musafir hadits no. 811. Dan redaksinya adalah menurut riwayat Muslim.

[9] I’tisham, karya asy-Syathibi, vol. 2, hal. 252.

[10] Lihat: Syarhul ‘Aqidah ath-Thahawiyyah karya Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi, hal. 140-141, dan kitab: Dar’u Ta’arudil ‘Aqli Ma’an Naqli, karya Ibnu Taimiyah, vol. 1, hal: 88-280.

[11] Hal ini tidak boleh dipahami bahwa Islam mengekang akal, menon-aktifkan fungsinya dan menghapus bakat berfikir yang ada pada manusia, malah sebaliknya, Islam menyediakan bagi akal banyak sarana untuk mengetahui, mengamati, berfikir dan berkarya, sesuatu yang cukup untuk merangsang keinginannya terhadap ciptaan Allah, urusan kehidupan, cagar alam nan luas serta keajaiban-keajaiban jiwa yang begitu banyak. Sesungguhnya sebagaimana yang telah saya katakan bahwa Allah tidak membuat manusia tidak perlu lagi berfokus ke arah yang tidak dapat di jangkaunya dari hal-hal yang gaib, hal itu sebagai kasih sayangnya terhadap ajal yang menjaganya dari kelelahan dan keterlenaan di dalam kesenangan-kesenangan yang tidak dapat ia selami kedalamnya –Wallahu a’lam-.

[12] Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah; vol.1, hal. 9.

[13] Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah, vol. 4, hal. 72-73; Dar’ut Ta’arudh, vol. 1, hal. 157-170; Syarah ath-Thahawiyyah, karya Ibnu Abil ‘Izzi, hal. 242-247; dan Pengantar Syu’aib al-Arna’uth terhadap kitab “Aqawiluts Tsiqat”, karya Imam Mar’i bin Yusuf al-Karami (wafat: 1033). Hal. 14-22.

[14] Diriwayatkan oleh Imam Muslim kitab “al-Imarah” dan at-Turmudzi kitab “al-Fitan” bersumber dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu. Imam at-Turmudzi berkata hadits hasan shahih.

[15] Untuk lebih jauh, silahkan baca Majmu Fatawa Ibnu Taimiyah, juz. 4, hal.1-30 dan hal. 50-97.