Syaikh Sa’d bin ‘Abdullah Al Humaid ditanya tentang pertanyaan seorang pemuda berikut :
“Saya seorang pemuda yang memiliki ghirah tinggi terhadap Islam, menjaga shalat dan rukun-rukunnya. Pertanyaan saya, manakah hadits yang paling shahih?”.

Maka beliaupun menjawab :
Kami katakan, kami memohon kepada Allah Jalla wa ‘Ala bagi kami dan seluruh saudara-saudara kita, kaum Muslimin agar dianugerai ketegaran untuk tetap istiqamah.

Adapun mengenai hadits-hadits shahih, maka melalui pertanyaan anda, nampak bagi saya, bahwa anda adalah seorang penuntut ilmu pemula. Orang seperti anda, tentu tidak bisa membedakan sendiri, mana hadits yang shahih dan mana yang tidak melalui jalur kajian sanad.

Oleh karena itu, anda harus antusias untuk menggunakan kitab-kitab yang konsisten memilah mana hadits yang shahih. Bila anda menemukan sebuah hadits dirujuk kepada kitab ash-Shahihain (Shahih al Bukhari dan Muslim) atau salah satu dari keduanya, maka ini baik. Atau bila anda mendapatkan salah seorang ulama yang diakui kapasitas keilmuannya menshahihkannya, maka ini baik. Di antaranya, pentash-hihan yang dilakukan Syaikh Nashiruddin al Albani, sekalipun tidak seorang pun yang dapat terhindar dari kritikan dan sorotan. Yang penting, beliau memang demikian mengabdikan dirinya untuk Sunnah Nabi Sallallahu ‘Alahi Wasallam.

Orang seperti anda juga perlu mengambil buku-buku yang konsisten memilah mana hadits yang shahih. Artinya, anda tidak boleh menerima begitu saja setiap hadits yang diriwayatkan, menyampaikan sebuah hadits yang dikatakan kepada anda atau menerima hadits dari buku apa saja yang anda lihat. Hendaknya anda berhati-hati. Sebab Nabi Sallallahu ‘Alahi Wasallam bersabda :

مَنْ حَدَّثَ عَنِّى بِحَدِيثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِينَ

“Barangsiapa meriwayatkan suatu hadits dariku dan dia tahu bahwa itu adalah dusta, maka dia adalah salah satu dari para pendusta”

Dalam sebagian riwayat disebutkan, ”…maka ia termasuk salah seorang tukang banyak dusta.”

Dalam hal ini, silahkan merujuk kepada mukaddimah Shahih Muslim, sebab beliau mengetengahkan apa yang semestinya dijadikan dalil dalam masalah seperti ini, khususnya dari pendapat-pendapat para ulama dalam memperingatkan tindakan meriwayatkan hadits tanpa mengetahui mana yang shahih dan mana yang tidaknya.? Sebab hal ini dianggap sebagai ‘mengatakan sesuatu terhadap Allah dan Nabi-Nya tanpa ilmu.”
Wallahu A’lam.

(SUMBER: Fatawa Haditsiyyah karya Syaikh Sa’d bin ‘Abdullah Al Humaid, hal.160-161)