1. Imam al-Azhari asy-Syafi’i

Beliau mengatakan, Allah Subhaanahu Wata’ala menceritakan tentang hamba-Nya yang bernama Lukman al-Hakim, beliau berkata kepada putranya:

لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

“Janganlah kamu menyekutukan Allah dengan yang lain, karena syirik itu merupakan kezhaliman yang agung.” (Lukman: 13)

Syirik adalah kamu membuat sekutu bagi Allah dalam ketuhanan-Nya (Rububiah-Nya). Maha Luhur Allah dari sekutu-sekutu dan tandingan-tandingan. Makna ( لا تشرك) dengan memakai huruf ba’ dalam (بالله) adalah : “kamu jangan menyepadankan Allah dengan yang lain sehingga yang lain itu kemudian kamu jadikan sekutu (kawan) bagi Allah. Begitu pula dalam firman-Nya:

بِمَا أَشْرَكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا

“… karena mereka menyekutukan Allah (dengan yang lain) yang Allah sendiri tidak menurunkan hujjah untuk mempersekutukan-Nya.” (Ali Imran: 151)

Makna isyrak (menyekutukan) dalam ayat itu adalah menyepadankan Allah dengan yang lain. Dan siapa yang menyepadankan Allah dengan makhluk-Nya, maka ia telah musyrik, karena Allah itu satu, tidak ada sekutu, tidak ada tandingan maupun bandingan-Nya.” [1]


2. Imam al-Raghib al-Ishfahani

Beliau menyatakan, “Syirik yang agung adalah menetapkan adanya sekutu bagi Allah. Misalnya, Fulan menyekutukan Allah dengan yang lain. Syirik ini adalah kekafiran yang paling besar.” [2]


4. Imam al-Minawi

Beliau mengatakan, “Syirik adalah menyandarkan perbuatan yang hanya Dzat Yang Maha Esa semata berhak melakukannya kepada makhluk yang bukan haknya melakukan perbuatan itu.” [3]


5. Al-‘Allamah Ali as-Suwaidi asy-Syafi’i

Ketika menjelaskan tentang syirik dan mengingatkan bahayanya, beliau berkata: “Ketahuilah -semoga Allah menjaga saya dan kamu dari kemusyrikan, kekafiran dan kesesatan. Semoga Allah memberikan taufiq kepada kita menuju hal-hal yang disenangi dan diridhai-Nya, baik dalam perkataan maupun perbuatan-, bahwa syirik itu berlawanan dengan tauhid. Keduanya tidak akan bertemu. Seperti halnya kekafiran berlawanan dengan iman, di mana keduanya bertolak belakang. Maka apabila ada orang disebut muwahhid (bertauhid), ini artinya ia meyakini keesaan Allah dan tidak menetapkan bahwa Allah itu punya sekutu. Dan seseorang tidak mungkin dapat disebut bertauhid (mengesakan Allah) dengan tauhid yang dikehendaki Allah, sebelum dia membersihkan diri dari segala sesuatu yang mengandung unsur kemusyrikan kepada Allah (yang disembah).

Lawan dari muwahhid (bertauhid, mengesakan Allah) adalah musyrik (orang yang menyekutukan Allah dengan lain-Nya). Yaitu yang terlahir dari kemusyrikan meskipun dengan salah satu dari macam-macam syirik, seperti dengan ucapan, sifat-sifat, perbuatan, keyakinan, mu’amalah (pergaulan), persetujuan, dan penilaiannya bahwa syirik itu baik. Begitu pula apabila ia rela mengucapkan atau mendengarkan kata-kata syirik.

Orang-orang pada masa jahiliyah, karena dalam ibadah mereka telah melakukan syirik, menyekutukan Allah dengan hal-hal yang menurut mereka baik, karena akal mereka tidak berfungsi dan mereka selalu mengikuti kesesatan yang sudah jelas bersumber dari nenek moyang mereka, maka mereka tetap saja selalu menyembah berhala-berhala, patung-patung, pohon-pohon, kuburan, tugu, batu-batu besar, dan lain-lain. Mereka minta keberkahan dari benda-benda tersebut seraya mengharapkan syafa’at (pertolongan) benda-benda itu di sisi Penciptanya. Mereka berlindung kepada benda-benda tersebut, dan berpegang teguh dengan anggapan mereka, bahwa dengan itu, mereka mencukupi makan minum mereka.

Dari perbuatan syirik ini kemudian muncul kesesatan-kesesatan yang merupakan cabang-cabang dari pohon kemusyrikan itu. Seperti takhayul (klenik), bersumpah dengan menyebutkan benda-benda yang mereka jadikan tuhan, menggantungkan mantra-mantra, benda-benda pengasih (sikep), dan jimat-jimat untuk memperoleh atau menolak apa yang mereka kehendaki. Maka dengan perbuatan itu mereka telah menyepadankan dan menyekutukan antara Allah dengan makhluk-Nya, yaitu dengan sama-sama dicintai, dijadikan harapan, ditakuti, dijadikan tempat berlindung, diyakini mampu mencegah, memberi, mendekatkan dan menjauhkan.

Perbuatan-perbuatan yang dilandasi dengan kebodohan ini kemudian berkembang dan marata,dan api kesesatan menyala di antara mereka, sampai mereka membuat upacara-upacara agama yang tidak diizinkan oleh Allah. Mereka menjadikan binatang-binatang tertentu menjadi saibah, wasilah dan ham. [4] Begitulah, orang-orang jahiliyah itu berbuat dalam kebodohan dan kesesatan, sampai kemudian Allah mengutus Nabi-Nya Muhammad sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, sekaligus mengajak mereka untuk menyembah Allah dengan izin-Nya, dan juga ibarat lampu yang memberikan penerangan.

Maka Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian memberikan penerangan terbuka tentang hakekat tauhid dengan cara mengesakan Allah dan membersihkan diri dari penyembahan-penyembahan kepada lain-Nya. Dan itulah hakekat tauhid. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga menegaskan kepada orang-orang jahiliyah tentang keharusan untuk mengesakan Allah dan meninggalkan syirik (menyekutukan Allah dengan yang lain). Itulah tauhid yang dijelaskan Allah dalam kitab-Nya yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

Allah menerangkan tauhid dengan membuat perumpamaan-perumpamaan, dan mengetengahkan argumen-argumen secara jelas dan rinci. Oleh karena itu, anda dapat melihat Al-Qur’an dan Hadits lebih banyak menyebutkan syirik dan orang-orang yang musyrik daripada menyebutkan kekafiran dan orang-orang kafir.

Menyebut-nyebut syirik pada masa itu, dan pada masa sesudahnya, yaitu masa Sahabat dan Tabi’in adalah suatu hal yang dikenal secara populer. Bahkan menyebutnya sampai pada tingkat yang sangat masyhur. Namun ketika fondasi-fondasi syirik itu sirna, karena orang-orang yang musyrik juga sudah tidak ada lagi, sementara ajaran-ajaran agama secara benar menjadi gejala umum, maka hampir tidak ada orang yang menyinggung-nyinggung tentang kemusyrikan. Tidak ada mulut yang mau dikotori dengan menyebut syirik itu. Karenanya para ulama kemudian banyak membahas masalah murtad, dengan menyebut-nyebut hal-hal yang menyebabkan kafir, dan mereka tidak membahas hal-hal yang dapat menjadikan musyrik pada seseorang. [5]

Setelah penjelasan ini, kita lihat bahwa syirik dalam uluhiyyah (menyembah Allah) tidak disebut-sebut. Padahal tauhid uluhiyyah (hanya menyembah Allah saja) merupakan pokok agama Islam. Tauhid inilah yang menyebabkan terjadinya pertentangan antara para rasul dan umatnya; dan ajaran tauhid ini pula yang dibawa oleh para rasul di mana mereka diutus oleh Allah.

Sebagaimana ditegaskan oleh Allah Subhaanahu Wata’ala :

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ

“Dan kami tidak mengutus sebelum kamu (Muhammad) seorang rasul pun, kecuali Kami memberikan wahyu kepadanya, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) kecuali Aku. Oleh karena itu, sembahlah Aku.” (Al-Anbiya’ : 25)

Catatan Kaki

[1] Tahdzib al-Lughah, X/16

[2] Al-Muwaththa’, hal. 452

[3] At-Taqaqquf ‘ala Ummahat at-Ta’arruf, hal.428

[4] Saibah adalah onta betina yang dibiarkan pergi ke mana saja, tidak boleh diganggu lantaran suatu nadzar.
Wasilah adalah anak domba yang lahir kembar, jantan dan betina. Yang jantan disebut wasilah, tidak boleh disembelih, tetapi untuk berhala.
Ham adalah onta jantan yang telah membuntingkan onta betina sepuluh kali. Onta semacam ini tidak boleh diganggu menurut adat jahiliyah.

[5] Al-‘Iqd ats-Tsamin, hal. 18-19