Asal Mula Terjadinya Silang Pendapat

Secara garis besar, bahwa terjadinya perbedaan pendapat dalam permasalahan ini dikarenakan dua sebab:

Sebab Pertama:

Perbedaan dalam menafsirkan firman Allah Subhaanahu Ta’ala yang termaktub di dalam Q.S an-Nisa’:43 –sebagaimana tersebut sebelumnya, red-.

Ibnu Rusyd mengatakan: “Bahwa yang menjadikan sebab al-Imam asy-Syafi’I dan Ahlu Dhahir berselisih dalam masalah ini adalah perbedaan dalam memahami makna Q.S an-Nisa’:43, apakah makna yang terkandung dalam ayat termasuk majas (kiasan) yaitu ada kalimat yang tersembunyi, yaitu tempat shalat, sehingga bermakna, artinya “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendekati tempat shalat (masjid)” dan عَابِرِي سَبِيلٍ (sekedar berlalu saja) merupakan pengecualian dari larangan tersebut ataukah makna yang terkandung bukanlah makna majaz sehingga ayat tersebut bermakna berdasarkan hakekatnya (tekstual) dan عَابِرِي سَبِيلٍ bermakna musafir yang tidak mendapatkan air sementara dia dalam keadaan junub.

Dan bagi yang mengatakan bahwa ayat tersebut mengandung maka majaz (kiasan)/ada yang tersembunyi, maka diperbolehkan bagi seorang yang junub berjalan di dalam masjid dan adapun yang mengatakan tidak boleh, maka saya tidak mendapatkan baginya dalil dalam masalah ini melainkan yang diriwayatkan dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam (sebab yang ke dua).

Al-Imam Ibnu Jarir mengomengomentari perbedaan dua pendapat ini, dengan mengatakan: Telah berbeda pendapat ahlu takwil dalam menakwilkan ayat ini. Sebagian mereka mengatakan mengatakan bahwa makna ayat “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, dan sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali عَابِرِي سَبِيلٍ, yaitu musafir (orang bepergian) sehingga orang yang sedang junub tersebut mandi.

Dan sebagian yang lain mengatakan: “bahwa maksud ayat tersebut adalah “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendekati tempat shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, dan sedang kamu dalam keadaan junub kecuali عَابِرِي سَبِيل yaitu sekedar berlalu saja (keluar dari masjid), dan mereka mengatakan bahwa kalimat mendirikan shalat menduduki makna kalimat tempat shalat dan masjid, apabila shalatnya kaum Muslimin didirikan di masjid maka mereka tidak akan menyepelekannya pada saat itu, sehingga larangan mendekati shalat sebagaimana yang ada dalam ungkapan ayat tersebut telah mencukupi daripada menyebut masjid dan tempat sholat yang mereka shalat di dalamnya. (Lihat, Tafsir, 8/379. dan 380)

Dan di antara para shahabat yang berpendapat sebagaimana tafsir yang pertama bahwa yang dimaksud عَابِرِي سَبِيل adalah musafir (orang bebergian) adalah Ali bin Abu Thalib (khalifah ke empat), sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, Ibnu Jarir, al-Baihaqi, dan Ibnu Abu Syaibah dan sebagaimana dinukil oleh al-Hafidz as-Suyuti dari al-Faryaabiy dan Abd bin Humaid dan Ibnu Mundzir dengan isnad yang baik.

Dan yang berpendapat demikian juga Ibnu Abbas, sebagaimana diriwayatkan darinya oleh Ibnu Jarir dan Abu Bakar bin Abu Syaibah dari dua jalan dengan sanad yang baik dan shahih. (Lihat, Dar al-Mantsur, 2/165)

Dan di antara Tabi’in yang berpendapat demikian adalah Said bin Jubair, Mujahid bin Jabr, al-Hasan bin Muslim bin Yunaq al-Makkiy.

Dan penafsiran yang demikian disebarluaskan oleh ulama adh-Dhahiriyah, khususnya al-Imam Ibnu Hazm dan ulama al-Hanafiyah meskipun mereka juga mengharamkan wanita haid dan orang junub masuk masjid berdasarkan hadits Jasyrah binti Dajajah yang akan dibahas selanjutnya.

Berkata al-Imam an-Nawawiy: Berkata shahabat Abu Hanifah bahwa yang dimasud ayat tersebut adalah seseorang yang bepergian (musafir) jika dalam keadaan junub dan tidak mendapati air diperbolehkan baginya bertayamum dan mendirikan shalat meskipun sifat junub masih ada karena yang dimaksudkan adalah hakekat shalatnya. Dan ulama Hanafiyah yang berpendapat demikian adalah al-Murghinaniy dan Ibnu Hamam dan selain keduanya.

Adapun tafsir yang kedua, yang mengatakan bahwa maksud عَابِرِي سَبِيل alah sekedar berlalu di dalam masjid tidak bersumber dari seorangpun dari Shahabat sebagaimana yang saya (penulis) ketahui, dan diriwayatkan dengan sanad yang lemah dari Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas. Dan adapun dari kalangan Tabi’in pendapat yang demikian dinisbatkan kepada Said bin Musyaiyib, al-Hasan al-Bashriy, Ibrahim bin Yazid an-Nakha’iy, Zaid bin Aslam; dan diriwayatkan dengan sanad yang lemah dari ‘Atha’, Abu ‘Ubaidah ‘Amir bin Abdullah bin Mas’ud, Ikrimah, Said bin Zubair dan Zuhriy. Dan yang berpendapat demikian juga al-Imam as-Safi’i.

Dan penafsiran yang demikian dikuatkan oleh Ibnu Jarir dengan mengatakan: “Bahwa yang kuat di antara dua penakwilan perihal ayat tersebut adalah yang mengatakan : Dan وَلاَجُنُبًا إِلاَّعَابِرِي سَبِيلٍ bermakna sekedar berlalu di dalam masjid, karena hukum seorang musafir apabila tidak mendapatkan air padahal dalam keadaan junub telah dijelaskan dalam firman-Nya dalam surat al-Maidah:6

وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِن كُنتُممَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَآءَ أَحَدُُ مِّنكُم مِّنَ الْغَآئِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَآءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ

Dengan demikian dapat difahami sekiranya عَابِرِي سَبِيلٍ bermakna musafir, maka Allah Ta’ala tidak akan menyebutnya kembali dalam ayat tersebut (Q.S al-Maidah: 6) sebagaimana yang dikatakan oleh jumhur ulama’ (Lihat, Tafsir Ibnu Katsir, 1/502).

Adapun Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa larangan yang terkandung di dalam ayat (Q.S an-Nisa’:34) adalah mendirikan shalat dan mendekati tempatnya juga. (Lihat, al-Fatawa al-Kubraa, 1/126).

Sebab Kedua:

Adanya perbedaan dalam pengambilan dalil dalam hadits yang bersumber dari Jasyrah binti Dajajah dari ‘Aisyah, beliau berkata bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “……maka sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi seorang wanita haid dan seorang yang junub.“(HR. Abu Dawud, no. 232)

Dan dari jalan yang lain, darinya juga dari Ummu Salamah, beliau berkata bahwa Rasululklah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “…..Sesungguhnya masjid tidak halal bagi seorang junub dan seorang wanita haid.”(HR. Ibnu Majah, no. 645)

Aku (penulis) mengatakan: Telah berselisih pendapat di antara para ulama dalam pengambilan dalil hadits ini dengan perselisihan yang tajam.

Terhadap hadits yang pertama, telah dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, asy-Syaukaniy, dan dihasankan oleh Ibnu Khaththan , al-Zaila’iy, dan Ibnu Sayidun Nas serta dilemahkan oleh Ibnu ar-Ruf’ah, dan dia mengatakan perawi hadits ini matruk.

Dan di antara ulama yang mengganggap bahwa hadits ini lemah dengan komentar yang berbeda-beda adalah al-Baihaqi, al-Khaththabiy, al-Hafidz Ibnu Abdil Baar al-Andulusiy, al-Hafidz al-Mundziriy. Dan al-Bukhariy mengatakan: Pada diri Jasyrah terdapat keanehan.

Adapun hadits yang kedua, dilemahkan oleh al-Hafidz al-Bushairiy, dan Ibnu Hazm.
Syaikh al-Albaniy mengatakan: “Bahwa dua hadits tersebut bersumber dari sanad yang sama (tidak sebagaimana yang ada, satu bersumber dari ‘Aisyah dan yang lainnya bersumber dari Ummu Salamah –red), sehingga dengan demikian Jasyrah binti Dajajah seorang mudhtharib (lemah dalam meriwayatkan dan tidak kuat hafalan), suatu ketika meriwayatkan dari ‘Aisyah dan pada saat yang lain dari Ummu Salamah. (Lihat, Tamamul Minnah, 1/4)