Tanya:

Assalamu’alaikum wa Rahmatullahi wa Barakatuh
Bagaimana hukumnya menurut Islam bila seorang muslim menjadi pegawai bank? Saya sudah mendengar beberapa pendapat antara lain ada yang mengatakan boleh boleh jika bank tersebut milik negara (mayoritas sahamnya), dan ada yang mengatakan haram karena banyaknya unsur riba dalam praktek perbankan.

Saat ini saya mencoba mengimbangi “keharaman” penghasilan saya dari Bank dengan mengeluarkan zakat maal lebih banyak. Mohon tanggapannya.

Wassalamu’alaikum wa Rahmatullahi wa Barakatuh

Dari: Imam

Jawaban:

Ykh.sdr/Imam
Wassalamu’alaikum wa Rahmatullahi wa Barakatuh

Jawaban singkatnya, Semoga hal ini tidak mengejutkan anda dan anda sudah siap untuk itu karena sepertinya anda banyak membaca tentang hal ini.

Secara umum, bekerja di bank-bank konvensional (ribawi) hukumnya HARAM. Jadi, upah/gaji yang diambil pun sebenarnya sama karena ia termasuk “tsaman” (harga/nilai) dari yang haram itu.

Karena dari harta yang haram, maka tidak dapat menyucikannya dengan cara berzakat maal, misalnya.

Ada suatu kaidah ushul: Maa haruma akh-dzuhu haruma i’thoo-uhu artinya, ‘sesuatu yang diharamkan mengambilnya, maka diharamkan pula memberinya.’

Jadi, sebagai seorang muslim yang ingin berkomitmen mudah-mudahan anda dapat mempertimbangkannya dengan matang, sebab sesuatu yang haram itu akan mengalir pula nantinya kepada keturunan-keturunan kita dan pengaruh barang yang haram terhadap keturunan tersebut dari sisi watak, dsb akan ada bekasnya nanti.

Karena itu, diceritakan bahwa Imam al-Ghazali pernah memuntahkan isi perut anaknya yang diketahuinya minum/makan sembarangan dari orang yang tidak diketahuinya dari mana sumbernya….ini semata bentuk wara’ dan takut haram dari beliau…

Memang diakui, di masa sekarang ini amat sulit mencari pekerjaan dan kalau pun ada mungkin gajinya kecil….tetapi akan sulit lagi bila terus dikungkung rasa bersalah dan berdosa di mata Allah SWT…

Kami mohon ma’af bila jawaban ini kurang berkenan, tetapi kiranya anda dapat merenungkannya kembali….

Berikut kami lampirkan fatwa dari Syaikh Dr. Shalih al-Fauzan di dalam kitab beliau al-Muntaqa, ketika salah seorang bertanya:

“Saya bekerja pada sebuah bank dan ketika saya sudah keluar, barulah saya mengetahui bahwa harta yang telah saya dapatkan darinya, semuanya adalah haram. Bila pernyataan ini benar, apa yang mesti saya perbuat dengan uang tersebut; apakah saya sedekahkan atau bagaimana?”

Kemudian Beliau menjawab:

“Barangsiapa yang mendapatkan harta yang haram dari hasil riba atau selainnya, kemudian dia bertaubat darinya; maka hendaknya dia menyedekahkannya dan tidak memakannya. Atau mengalokasikannya pada proyek kebajikan dengan tujuan untuk melepaskan diri darinya, bukan untuk tujuan mendapatkan pahala sebab ia adalah harta yang haram, sedangkan Allah Ta’ala adalah Maha Suci dan tidak menerima kecuali yang suci (baik-baik). Akan tetapi, pemiliknya ini mengeluarkannya dari kepemilikannya dan mengalokasikannya pada proyek kebajikan atau memberikannya kepada orang yang membutuhkan karena ia (harta tersebut) ibarat harta yang tidak bertuan yang dialokasikan untuk kemashlahatan. Ini semua dengan syarat, dia menghentikan pekerjaan yang haram tesebut dan tidak terus menerus larut di dalamnya.”

(al-Muntaqa Min Fatawa Syaikh Shalih al-Fauzan, Jld.IV, Hal. 137-138, No. 141)

Dalam kesempatan yang lain, seseorang bertanya kepada Beliau,

“Saya bekerja pada sebuah perusahaan yang mendapatkan fasilitas perbankan dari bank-bank yang bertransaksi dengan riba sekitar 5% dari keuntungan perusahaan. Bagaimana status hukum gaji saya dari perusahaan ini; apakah boleh saya bekerja di sana?, mengingat mayoritas perusahaan-perusahan yang ada beroperasi dengan cara ini.”

Maka beliau menjawab:

“Bertransaksi dengan riba haram hukumnya terhadap perusahaan-perusahaan,bank-bank dan individu-individu. Tidak boleh seorang muslim bekerja pada tempat yang bertransaksi dengan riba meskipun persentase transaksinya minim sekali sebab pegawai/karyawan pada instansi-instansi dan tempat-tempat yang bertransaksi dengan riba berarti telah bekerja sama dengan mereka diatas perbuatan dosa dan melampaui batas. Orang-orang yang bekerja sama dan pemakan riba, sama-sama tercakup dalam laknat yang disabdakan oleh Rasulullah: “Allah telah melaknat pemakan riba, orang yang memberi makan dengan (hasil) riba, pencatatnya serta kedua saksinya dan pencatatnya”.(HR.Muslim)

{Naskah aslinya di dalam shahih Muslim begini:

عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ

Dari Jabir, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, orang yang memberi makan dengan (hasil) riba, pencatatnya serta kedua saksinya.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda lagi: “mereka itu semua sama saja “. (dalam andil menjalankan riba) – red }.

Jadi disini, Allah Ta’ala melaknat orang yang memberi makan dengan (hasil) riba, saksi dan pencatat karena mereka bekerja sama dengan pemakan riba itu.

Karenanya wajib bagi anda, wahai saudara penanya, untuk mencari pekerjaan yang jauh dari hal itu. Allah Ta’ala (artinya): “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menjadikan baginya jalan keluar dan menganugerahinya rizki yang tidak dia sangka-sangka”.(Q,.s.ath-Thalaq: 2).

(Dan sabda Nabi- red) artinya: “Dan barangsiapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah Ta’ala maka Allah akan menggantikan dengan yang lebih baik darinya”. (HR.Musnad Ahmad).

(al-Muntaqa Min Fatawa Syaikh Shalih al-Fauzan, Jld.IV, Hal. 142-143, No. 148)

Demikian jawaban dan tanggapan dari kami. Semoga bermanfa’at.