Tanya :

Assalamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakatuh

1. Apakah ”Yuharriku” itu di wajibkan dalam tasyahud?
2. Bagaimana cara menggerakkannya apakah dari atas ke bawah atau di putar-putar?
Atas perhatiannya saya mengucapkan terima kasih.
Wassalamu’alaikum warhamatullaahi wabarakatuh

Dari : Ari. R

Jawab :

Ykh.sdr/Ari.R
Wa’alaikum Salam Warahmatullahi Wabarokaatuh
Jawaban singkatnya, bahwa hal itu hukumnya bukan ‘WAJIB’ di mana orang yang tidak melaukan itu berdosa atau mendapatkan sanksi tertentu.
Yang perlu dipahami adalah bahwa hal ini merupakan hal yang masih lapang (ijtihadi) di mana tidak boleh memberikan kesan bahwa orang yang tidak menggerak-gerakkan jari telunjuknya saat shalat itu adalah ahli bid’ah atau penentang sunnah yang harus dimusuhi atau dikucilkan…. Tidak seorang ulama pun yang berpendapat demikian. Jangan sampai perbedaan dalam masalah ini menyebabkan kita berbeda hati di mana saling membenci, mengejek dst… yang sebenarnya justeru diharamkan agama.

Mengenai hal ini secara garis besarnya ada dua pendapat:
Pertama, menyatakan bahwa harus digerak- gerakkan akan tetapi kemudian, terdapat perbedaan tentang kapan dan bagaimana sifatnya.
Kedua, menyatakan hanya lurus saja, tidak digerak-gerakkan tetapi juga berbeda pendapat kapan memberi isyarat itu.
Diantara hadits tentang menggerak- gerakkan tersebut, adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari shahabat, Wâ-il bin Hajar:

َلأَنْظُرَنَّ إِلَى صَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَيْفَ يُصَلِّي فَنَظَرْتُ إِلَيْهِ فَقَامَ فَكَبَّرَ وَرَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى حَاذَتَا بِأُذُنَيْهِ ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى كَفِّهِ الْيُسْرَى وَالرُّسْغِ وَالسَّاعِدِ فَلَمَّا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ رَفَعَ يَدَيْهِ مِثْلَهَا قَالَ وَوَضَعَ يَدَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ ثُمَّ لَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ رَفَعَ يَدَيْهِ مِثْلَهَا ثُمَّ سَجَدَ فَجَعَلَ كَفَّيْهِ بِحِذَاءِ أُذُنَيْهِ ثُمَّ قَعَدَ وَافْتَرَشَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَوَضَعَ كَفَّهُ الْيُسْرَى عَلَى فَخِذِهِ وَرُكْبَتِهِ الْيُسْرَى وَجَعَلَ حَدَّ مِرْفَقِهِ الْأَيْمَنِ عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى ثُمَّ قَبَضَ اثْنَتَيْنِ مِنْ أَصَابِعِهِ وَحَلَّقَ حَلْقَةً ثُمَّ رَفَعَ إِصْبَعَهُ فَرَأَيْتُهُ يُحَرِّكُهَا يَدْعُو بِهَا . رواه النسائي .

“Dari Wâ-il bin Hajar dia berkata (dalam hati): Saya benar-benar akan melihat bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam melakukan shalat, (dia berkata) maka aku telah melihat beliau berdiri tegak lantas dia bertakbir (mengucapkan Allâhu akbar) sedangkan kedua tangannya beliau angkat hingga sejajar dengan kedua telinganya, kemudian beliau meletakkan tangan kanannya diatas telapak tangan kirinya, pergelangan tangan dan lengan bawah/hastanya, kemudian tatkala beliau ingin ruku’, beliau mengangkat kedua tangannya seperti sebelumnya. (Dia berkata lagi): dan beliau meletakkan kedua tangannya diatas kedua lututnya, kemudian ketika mengangkat kepalanya, beliau juga mengangkat kedua tangannya seperti itu, kemudian beliau sujud dan menjadikan (posisi) kedua telapak tangannya sejajar dengan kedua telinganya, kemudian duduk dan membentangkan kaki kirinya (duduk iftirasy) dan meletakkan telapak tangan kirinya diatas paha dan lutut kirinya dan menjadikan batas siku kanannya diatas paha kanannya kemudian beliau menggenggam dua jarinya (yaitu jari tengah dan jempol sebagaimana riwayat yang lain) dan melingkarkannya (membentuk semacam lingkaran) kemudian mengangkat jarinya (jari telunjuk), maka aku melihat beliau (ucapan Wâil) menggerak-gerakkannya sambil berdoa dengannya”. (HR.an-Nasai, kitab al-iftitâh; juga diriwayatkan dengan lafazh yang hampir sama oleh Ahmad dan ad-Darimi).
[Silahkan anda lihat secara luas pembahasannya dalam buku Syaikh al-Albâni, Shifatu Shalâtin Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam, buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia].

Di kalangan para Fuqaha’ terjadi perbedaan pendapat mengenai hal tersebut; bagaimana posisi telunjuk ketika itu.
Syaikh as-Sindy yang mensyarah hadits an-Nasai menyebutkan bahwa mengenai “menggerakkan-gerakkan” tersebut terdapat beberapa versi riwayat dimana berdasarkan hal itu ada sebagian ulama yang menjadikannya hujjah, sedangkan Jumhur ulama tidak memakainya lantaran menganggap perlunya dikritisi kembali kualitas haditsnya.
Dalam hal ini, ulama kontemporer seperti Syaikh al-AlBani menganggap hadits tersebut (tentang menggerak-gerakkan jari) dapat dijadikan hujjah.

Sepanjang yang kami ketahui, dalam literatur-literatur fiqih klasik tidak terlalu banyak yang mengupas permasalahan ‘menggerak-gerakkan tersebut’ secara detail posisinya.

Sebagian ulama kontemporer lainnya, seperti Syaikh al-‘Utsaimin, menyatakan bahwa menggerak-gerakkannya itu dilakukan pada saat berdoa (lafazh yang intinya doa) dengan mengangkat jari telunjuk ke atas (beliau menyebutkan 8 tempat dalam tahiyyat). Syaikh Shalih al-Fawzan menyatakan bahwa menggerak- gerakkannya dilakukan pada saat menyebut ‘Lafzhul Jalâlah’. Sedangkan Syaikh Ibn Baz sekilas menyebutkan bila menggerak-gerakkannya, maka itu baik.
Mengenai hadits-hadits tentang menggerak-gerakkannya dan takhrijnya dapat juga anda baca pada buku karya Ust.Abdul Hakim ‘Abdat. Wallahu a’lam. Wassalamu ‘alaikum Warahmatullahi Wabarakatuhu.