Kesimpulan Analisa

Setelah terpaparkan penjelasan di atas, maka pendapat yang paling kuat adalah sebagaimana yang dikatakan oleh adh-Dhahiriyah Dawud bin Ali, Ibnu Hazm al-Andulusiy, disamping Abu Bakar bin al-Mundzir, al-Muzanniy shahabat asy-Syafi’i bahwa diperbolehkan bagi seorang junub dan yang sejenisnya seperti wanita haid, dan nifas masuk ke dalam masjid secara muthlak, baik berdiam diri, berlalu (lewat), atau bukan karena sebab apa-apa (tidak ada keperluan), meskipun sebaiknya dalam keadaan suci baik dari hadats besar ataupun hadast kecil.

Hanya saja sekiranya tidak dalam keadaan suci maka tidak terlarang baginya masuk ke dalam masjid dan tidak berdosa dengan alasan sebagai berikut:

  • Pada asalnya setiap sesuatu itu mubah (boleh) dilakukan, sementara tidak ada dalil shahih yang dapat dijadikan dasar bahwa hal ini adalah haram dengan alasan:

    • Bahwa tafsir QS. an-Nisa’ ayat 43 yang kuat adalah “Sesungguhnya Allah Ta’ala melarang orang yang mabuk mendirikan shalat dan mendekatinya sampai kemudian dia sadar apa yang dikatakan, sebagaimana Allah Ta’ala melarang orang junub melakukan demikian sampai kemudian dia mandi, akan tetapi diperbolehkan baginya dalam satu kondisi tertentu manakala dia bepergian dan tidak mendapatkan air, maka dia harus tayamum kemudian shalat.”

      Adapun tafsir yang kedua sebagaimana penafsiran golongan yang mengharamkan bahwa yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah seorang junub terlarang mendekati tempat shalat, yaitu masjid hingga dia mandi dan diperbolehkan baginya berlalu (lewat)dan tidak berdiam diri merupakan penafsiran yang lemah dilihat dari beberapa hal:

      • Secara asal setiap ungkapan dalam kaidah bahasa Arab harus difahami secara tekstual (haqiqah) dan tidak boleh di artikan secara majaz (kiasan) kecuali tidak memungkinkan atau adanya qarinah (pendukung/isyarat) yang menunjukkan makna kiasan. Padahal tidak ada halangan sama sekali ayat tersebut ditafsirkan apa adanya sebagaimana tidak adanya pendukung sama sekali sehingga dapar ditafsirkan secara majaz.

        Dengan demikian wajib ditafsirkan menurut konteks yang ada, yaitu bahwa yang dimaksudkan dalam kalimat shalat adalah dzat shalat itu sendiri dan bukan tempat shalat (masjid) sebagaimana yang dikatakan golongan yang melarang.

        Dan sekiranya yang dimaksudkan demikian tentunya Allah Subahaanahu wa Ta’ala akan menjelaskannya, karena bagi-Nya sangatlah mudah. Oleh karenanya tidak boleh disangkan bahwa Allah Ta’ala hendak mengatakan: “Janganlah kalian mendekati tempat shalat” sementara terhadap kita hanya mengatakan: “Jangalah mendekati (mendirikan) shalat.” Sebagaimana yang dikatakan Ibnu Hazm. (al-Muhallaa, 2/174-175)

      • Bahwa penakwilan ayat tersebut bagi golongan yang mengharamkan menimbulkan penafsiranya sebagian ayat berbeda dengan ayat yang lain, di mana mereka menafsirkan kata “shalat” dalam kalimat yang pertama khusus bagi orang yang mabuk dengan makna dzat shalat itu sendiri, sementara dalam kalimat yang kedua mereka menafsirkannya dengan “tempat shalat” bagi orang junub. Padahal semestinya secara adil kata “shalat” yang terdapat dalam dua tempat yang berbeda harus diartikan sama, baik secara apa adanya ataupun majaz (kiasan), yaitu baik diartikan dzat shalat itu sendiri atau tempat shalat. Namun demikian tidak dibenarkan mengartikan kalimat pertama dengan majaz, karena yang seperti ini tak seorangkun dari ulama yang mengatakan demikian sehingga diharamkan bagi seorang yang mabuk mendekati masjid sementara dia suci dari hadats besar apalagi pada saat itu minuman keras (Khamr) belum diharamkan.

        Dengan demikian tidak ada jalan lain kecuali membawa makna kalimat keduanya dengan cara apa adanya (tekstual), sehinga bagi mereka yang mengharamkan wanita haid dan orang junub masuk masjid tidak ada dalil baginya yang dapat dijadikan dasar pengharamannya.

      • Kalau sekiranya kata “shalat” dalam kalimat yang kedua kita artikan tempat shalat, maka akan menghasilkan hukum yanh sangat aneh yang sebelumnya tidak pernah terbersit oleh setiap muslim, yaitu tidak diperbolehkan bagi orang junub dan wanita haid berdiam diri dan tinggal di manapun yang bersih dari najis kecuali makam dan toilet, karena kesemuanya adalah tempat sujud dan tempat shalat, dan bukanlah masjid saja. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Dijadikan bumi ini bagiku tempat yang baik, alat bersuci dan masjid (tempat sujud), maka bagi siapapun yang telah datang waktu shalat agar shalat di mana saja.” (HR. Muslim, 5/32 dan Abu Dawud, no. 489) Dan dalam hadits yang lain beliau bersabda: “Dijadikan bagi kami bumi ini keseluruhannya adalah masjid, dan dijadikan debunya bagi kami alat bersuci apabila tidak ada air.” (HR. Muslim, 5/4)

        Dan telah datang dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga yang menjelaskan bahwa beliau telah memerintahkan kaum wanita termasuk di dalamnya wanita haid keluar ke tanah lapang untuk menghadiri shalat ied sebagaimana diriwayatkan oleh Ummu ‘Athiyah al-Anshariyah, dia berkata: “Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kepada kami agar mengajak untuk shalat Iedul Fithri dan Iedul Adha para gadis, wanita haid dan wanita yang dipingit, maka terhadap wanita haid tidak melakukan shalat…..”(HR. al-Bukhari dan Muslim).

        Maka selagi masjid tidak berbeda dengan tempat-tempat yang suci selainnya dalam sisi dapat digunakan sebagai tempat shalat, dalil apa yang dapat dijadikan landasan sehingga masjid dikhususkan daripada tempat-tempat yang lain sehingga terlarang (bagi wanita haid dan orang junub)????

      • Bahwa penafsiran pertama bersumber dari para shahabat sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ali bin Thalib dan Ibnu Abbas, dan tidak diketahui bahwa keduanya menyelisihi shahabat yang lain sementara penafsiran yang kedua tidak bersumber dari mereka, dan mereka adalah sebaik-baik masa dan yang paling faham terhadap Kitab Allah Ta’ala.

        Syubhat dan Jawaban

        Adapun syubhat (kejanggalan) yang dilontarkan oleh Ibnu jarir terhadap penafsiran pertama dan didukung oleh Ibnu Katsir, bahwa Allah Subhaanahu wa Ta’ala telah menjelaskan hukum yang berkaitan dengan musafir yang tidak mendapati air pada QS. al-Maidah ayat 6 dan sekiranya yang di maksudkan وَلاَجُنُبًا إِلاَّعَابِرِي سَبِيلٍ dalam ayat 43 dalam Qs. an-Nisa’ adalah musafir maka ada pengulangan dalam ayat, dan yang demikian tidaklah layak berkaitan denga perkataan Allah.

        Aku (penulis) katakan sebagaimana hal ini dijelaskan oleh asy-Syaikh al-Albaniy: “Dalam perkara ini tidak ada permasalahan dan pengulangan, dikarenakan ayat yang satu berbicara suatu permasalahan dan ayat yang lain berbicara permasalahan yang lain. Di mana dalam ayat yang pertama menjelaskan haramnya seorang yang mabuk dan junub mendirikan shalat kecuali dalam keadaan safar (bepergian) saja dan tidak menjelaskan dan menerangkan secara gamblang apa yang seharusnya dia lakukan, sehingga pada ayat yang lain dijelaskan dan diterangkan apa yang semestinya dilakukan oleh seorang musafir yaitu dengan tayamum dan mendirikan shalat dan tayamum cukup sebagai ganti mandi.

    • Dan adapun pengambilan dalil atas hadits yang diriwayatkan dari Jasyrah al-Dajajah yang bersumber dari ‘Aisyah dan Ummu Salamah dalam permasalahan ini tidaklah tepat dan lemah dari sisi sanadnya (perawi), karena Jasyrah seorang yang tidak dikenal bahkan dia tercela (ada cacat) serta tidak ada seorangpun yang terkenal ketsiqahannya (dipercaya) mengganggap dia tsiqah, kecuali Ibnu Hibban dan al-‘Ajaliy. Al-Bukhariy mengatakan bahwa pada diri Jasyrah ada keanehan. (sebagaimana yang dinukil oleh al-Baihaqi dalam Sunannya, 2/443 dan Ibnu Hajar dalam at-Tahdzib, 12/406)

      Dengan demikian, tidak ada jalan lagi untuk menshahihkan dan menghasankan hadits Jasyrah, sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian ulama’ sehingga tidak dapat dijadikan dalil dan dasar dalam permasalhan ini.

  • Telah termaktub di dalam as-Sunnah bahwa ahlush Shuffah suatu ketika bermalam di dalam Masjid Nabawiy, dan mereka dari kalangan pemuda perjaka yang tentunya memiliki kemampuan lebih dari sisi biaologis di mana merupakan hal yang sangat biasa dan tidak bisa dipungkiri kalau kemudian mereka bermimpi dan berhadast besar (junub), namun demikian Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak melarang mereka berdiam diri di masjid dan menetap di dalamnya. Dan sekiranya yang demikian adalah haram tentunya beliau melarang tau memerintahkannya keluar. Dan manakala hal ini tidak dilakukan, maka menunjukkan diperbolehkannya seorang yang junub berdiam diri di masjid.

  • Telah termaktub di dalam as-Sunnah juga suatu saat walidah Sauda’ seorang budak tidur dalam rumah kecil yang terbuat dari bulu yang berada dalam masjid, sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari ‘Aisyah(HR. al-Bukhari, 1/124; 244 dari Mukhtashar al-Albaniy dan Fathul Bari, 2/80; 8/150).

    Maka pada situasi seperti ini tentunya sebagaimana kebiasaan seorang wanita, dia akan mengalami masa haid, namun Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak merang dia tidur di dalamnya. Dan sekiranya yang demikian terlarang maka Nabi sama sekali tidak akan memperkenankan sama sekali.

  • Nabi mendiamkan dan memerintahkan terhadap sebagian orang-orang musyrik berdiam diri di dalam Masjid Nabawiy, sebagaimana yang termaktub di dalam as-Sunnah yang menjelaskan sejumlah orang-orang musyrik berdiam diri di masjid Nabawiy dan tidur di dalamnya sepengetahuan Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahkan kenyataanya Nabi memerintahkannya sebagaimana yang diriwayatkan Abu Hurairah, dia berkata: “Bahawa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengutus pasukan berkuda ke arah Najd, kemudian pasukan itu membawa seorang laki-laki dari bani Hunaifah bernama Tsumamah bin Atsaal, kemudian mereka mengikatnya di serambi dari serambi-serambi masjid.” (HR. al-Bukhari, 2/102 dari Fathul Baari dan Abu Dawud, 2/452; 3/82) dan hadits-hadits yang lain.

    Dan tidak dapat dipungkiri bahwa orang musyrik lebih parah kondisinya dari sisi kesuciannya daripada seorang muslim yang junub, karena tidak ada dosa yang lebih besar lagi selain kekufuran dan orang musyrik dalam kondisi apapun dalam keadaan junub karena seringnya mereka dalam kondisi demikian dan tidak ada tuntunan bagi mereka mandi besar (janabah). Dan meskipun mereka mandi tentulah mandinya mereka tidak ada artinya apa-apa.

    Maka manakala seorang kafir yang terkumpul pada dirinya kesyirikan dan hadast besar boleh secara syara’ masuk masjid Nabawiy dan berdiam diri (tinggal) di dalamnya padahal merupakan masjid yang paling suci dan mulia setelah masjil Haram, maka masuk ke dalam masjid-masjid yang biasa dan berdiam diri di dalamnya bagi seorang muslim yang junub lebih mendapat legalitas karena dia suci dalam kondisi apapun.

  • Nabi Shalallaahu ‘alaihi sallam tidak melarang ‘Aisyah ketika datang haid masuk ke dalam Masjidil Haram ketika haji, dan hal ini terjadi pada haji wada’ dengan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam. (Lihat HR. al-Bukhari dan Muslim; serta Ahmad dalam Musnadnya, 12/103)

    Di dalam hadits ini Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam memperkenankan ‘Aisyah ketika datang haid menunaikan seluruh aktifitas ibadah haji selain shalat dan thawaf. Dan tidak dapat dipungkiri bahwa yang bisa dilakukan oleh jama’ah haji adalah masuk masjidil Haram, sementara yang demikian tidak dikecualikan oleh Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana beliau mengecualikan shalat dan thawaf. Maka hal ini menunjukkan yang demikian boleh bagi seorang wanita haid. Dan kalau sekiranya hal yang demikian terlarang, maka Nabipun menjelaskannya karena hukum yang demikian dibutuhkan.

  • ‘Aisyah juga berkata: Berkata Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam: Ambilkan untuk-ku al-Humrah (sejenis sajadah) dari masjid. Maka ‘Aisyah berkata: Sesungguhnya aku sedang haid, maka Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya haid kamu tidak ada di tanganmu.”

    Dalam hadits ini menjelaskan bahwa Rasulullah memerintahkan kepada ‘Aisyah agar masuk ke dalam Masjid Nabawiy dan mengambilkan al-Humrah dari masjid, namun dalam kondisi pada saat itu ‘Aisyah ragu sebagaimana keraguan yang terjadi pada kebanyakan orang di zaman sekarang, dan dia mengira Nabi tidak tahu atau lupa bahwa dia dalam keadaan haid sehingga dia mengabarkannya, dan pada saat itu Nabi menjawab: “ Sesungguhnya haid kamu tidak di tanganmu.”, yaitu bahwa darah yang biasa keluar setiap bulan bagi seorang wanita -yang dengannya masjid akan terjaga darinya karena najis- tidak ada di tangannya, sehingga tidak mengapa kalau dia masuk ke dalam masjid, karena dia tidak akan mengotori dan membuat masjid menjadi najis.

    Dengan demikian berdasarkan sabda Rasulullah di atas dapat dikatakan bahwa darah haid seorang wanita tidak di kakinya, namun di tempat yang telah diketahui dan kebiasaan wanita adalah selalu menjaga diri dan pakainnya dari kotoran darah haid apalagi tempat duduknya atau yang dilewati. Kalau kondisinya demikian maka tidak ada seatu yang dapat dijadikan alas an sehingga dia takut masuk ke dalam masjid.

    Dan hadits ‘Aisyah ini, merupakan dasar dan dalil yang paling jelas dalam permasalahan ini. Dengan demikian kalau seorang wanita haid tidak terlarang masuk ke dalam masjid dan berdiam diri (tinggal) di dalamnya, maka orang junub lebih berhak lagi, karena najis yang ada padanya adalah najis ma’nawiyah (secara makna) dan bukan secara fisik sebagaimana haid yang terjadi pada seorang wanita.

  • Hadits di atas juga dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang mengabarkan dia bertemu dengan Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam di sebuah jalan Madinah dan dia dalam keadaan junub, kemudian secara diam-diam dia pergi. Maka Rasulullah merasa kehilangan, sehingga ketika dia datang kepada beliau, Rasulullah bertanya: Diamana anda tadi wahai Abu Hurairah? Dia menjawab: Wahai Rasulullah anda menjumpaiku dan aku dalam keadaan junub, sementara aku tidak suka duduk bersamamu hingga aku mandi. Maka Rasulullah bersabda: Maha suci Allah, sesungguhnya seorang mukmin tidak najis.” (HR. Muslim, 4/66-67 dalam syarah an-Nawawiy)

    Di dalam hadits ini secara implisit telah jelas-jelas menunjukkan bahwa seorang mukmin adalah suci tidak najis dalam kondisi apapun, baik dia berwudhu atau tidak, suci dari hadats besar atau junub. Dan selagi dia suci, maka tidak ada sesuatupun yang dapat menghalangi dia masuk masjid dan berdiam diri(tinggal) di dalamnya.

  • Bahwa pendapat ini merupakan pendapat para shahabat secara umum, sebagaimana yang diriwayatkan al-Imam Abu Bakar bin Abu Syaibah 9di dalam Mushannif, 1/46; 172) dari Zaid bin Aslam, dia berkata: Suatu ketika seorang di antara mereka (shahabat) dalam keadaan junub kemudian masuk masjid dan berbicara di dalamnya”

    Berita ini telah menunjukkan waktu itu para shahabat ada yang berhadast besar (junub) dan mereka masuk masjid, dan mereka adalah murid dan shahabat Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang dari beliau mereka mengambil tuntunan dan mereka tidak merubah dan menggantinya sehingga mendapatkan pujian dan sanjungan dari Allah Subhahaanahu wa Ta’ala dan Rasulullah-pun memberikan rekomendasi kepada mereka. Dan pada dasarnya apa yang dilakukan oleh mereka telah mendapat persetujuan Nabi Shallaahu ‘alaihi wa sallam. Dan sangatlah tidak mungkin mereka melakukan setiap amalan setelah beliau berdasarkan pendapat pribadi semata, padahal dalam permasalahan ini sangat dimungkinkan terjadi perpedaan pendapat di antara mereka sehingga segolongan dari mereka berpendapat dengan pendapat tertentu dan selain mereka berpendapat yang lain. Wallahu a’lamu bish shawab.

  • Di samping dalil-dalil naqli (hadits) di atas, maka secara akal-pun dapat disimpulkan bahwa seorang wanita haid manakala masuk masjid terkandung padanya manfa’at dan faedah yang banyak, yang terpenting adalah hadirnya mereka di tempat iyu adalah untuk menuntut ilmu, fiqh, dan berdzikir yang dapat menghubungkan dengan Rabb-nya.

    Dan yang demikian sesuai dengan sabda Rasulullah Shallaahu ‘alaihi wa sallam, ketika beliau bersabda: “Jangalah kalian melarang wanita (mendapatkan) bagian mereka dari masjid apabila mereka meninta izin kalian.” (HR. Muslim dari Umar). Dalam hadits yang lain beliau bersabda: “Jangalah kalian melarang hamba-hamba (wanita) Allah akan tetapi janganlaj mereka keluar dan mereka memakai wewangian.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud dari Abu Hurairah, dan dishahihkan oleh al-Albaniy dalam Shahih al-Jami’, no. 7334). Dan di dalam hadits yang lain beliau bersabda: “Janganlah kalian melarang wanita-wanita kalian (pergi) ke masjid dan rumah-rumah mereka lebih baik baginya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan al-Hakim dan dishahihkan oleh al-Albaniy dalam Shahih al-Jami’, no. 7335)

    Maka bagi siapa saja yang merenungkan hadist-hadits di atas, dan memperhatikan hikmah yang terkandung di dalamnya akan mengetahui bahwa Allah Subhaanahu wa Ta’ala menghendaki seorang wanita muslimah senantiasa dalam keadaan berhubungan dengan Allah Ta’ala untuk meningkatkan keimanan dirinya dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan harapan ilmu agamanya bertambah dan akhlak serta ibadahnya semakin baik. Sementara tempat yang dapat dijadikan pusat yang demikian adalah masjid, sehingga para lelaki tidak bileh melarang wanita-wanita mereka pergi ke masjid padahal shalatnya mereka di rumah lebih utama dan agung pahalanya daripada shalat di masjid.

    Dengan demikian, maka yang terkandung dari kemurahan Islam bagi tiga golongan di atas, yaitu orang junub, wanita haid dan nifas adalah boleh masuk ke dalam masjid faedah yang amat besar bagi mereka yang memiliki akal yang mau merenung dan lapang dada.

bersambung