Fenomena melajang menggeliat, gaya hidup ini semakin ngetrend, lebih-lebih di kalangan anak-anak muda perkotaan, yang berkantong tipis dari mereka memilih jalan ini karena menganggap bisa meringankan beban hidup, lebih-lebih dalam keadaan ekonomi nasional yang belum menggembirakan, cari kerjaan susah minta ampun, (eh minta ampunnya kepada siapa ya?), harga-harga tidak mau kalah dengan pesawat terbang yang hampir tiap hari naik, susah dan berat. Sebuah kondisi yang ikut menyuburkan kecenderungan kepada gaya hidup yang satu ini.

“Boro-boro menikah kemudian ngasih makan anak bini, lha hidup sendiri saja sudah susah, hanya cukup buat makan doang. Mendingan sendiri dulu lah, beban bisa ringan.” Begitu kira-kira dalih kelompok kantong tipis ini. Di seberang mereka adalah kelompok berfulus dengan kantong tebal, kelompok tajir, tidak kalah berkilah, “Buat apa buru-buru menikah, harus ngrusi ini dan itu, memperhatikan istri dan anak-anak, ribet ahh, mendingan enjoy dulu lha, masalah pasangan kan gak kudu menikah.”

Tentu dalih di atas adalah dalih dari orang-orang yang belum tersentuh dakwah dengan benar, belum beriltizam kepada syariat dengan teguh, karena bila sebaliknya maka seseorang akan merasakan betapa beratnya memilih cara hidup melajang, dari mana beratnya? Ya dari sisi godaan dan fitnah lawan jenis. Anda masih normalkan? Lebih-lebih di negeri ini, negeri yang laki-laki dan perempuannya campur baur alias ikhtilath di segala lini kehidupan, di ladang pekerjaan, di fasilitas-fasilitas umum, semuanya tersedia laki-laki dengan wanita tanpa pemisah, seorang muslim mau dan tidak mau harus, demikian pula seorang muslimah, bila iman tidak kuat maka urusannya jadi nambah dosa melulu, ia nggak? Kapan ya syariat di negeri ini diterapkan sehingga ada aturan pembagian pekerjaan sesuai dengan kaidah-kaidah syar’i dan selanjutnya ada pemisahan antara laki-laki dengan wanita di lapangan?

Bagi orang yang beriman kesendirian bisa menggerogoti iman dan menipiskannya, lebih-lebih bila yang bersangkutan berada di dunia yang isinya kaum hawa melulu, bila tak pandai-pandai menjaga jendela dunia yaitu pandangan mata maka dalam sekejap bisa terjebak ke dalam kubangan dosa. Anda sebagai laki-laki, keluar rumah untuk suatu hajat, Anda tersuguhi oleh pemandangan yang tidak syar’i namun sulit untuk menghindari, berpaling dari satu arah, kena di arah yang lain, serba salah jadinya, apa harus merem alias memejamkan mata ya?

Dari sisi syar’i ini membujang atau melajang berbahaya dan beresiko, maka tidak ada jalan lain selain meninggalkannya dan mengambil jalan lain yaitu menikah bila kemampuan sudah ada, menikah meminimalkan fitnah dan menjaga diri dari godaan setan yang terkutuk. Disayangkan bila kita berupaya menjadi orang baik, lalu kebaikan tersebut tergerus hanya karena benteng diri lewat pernikahan tidak kita miliki.

Sebagian orang yang jahil dan belum paham benar agama memandang salah terhadap pernikahan. Pernikahan yang memiliki target luhur dan mulia dianggap hanyalah kesepakatan di antara manusia, bukan syariat Ilahi Tuhan penguasa alam raya, anggapan bahwa menikah hanyalah mubah, sehingga sah-sah saja bila tidak menikah. Padahal dalam tatanan syariat Ilahi Rabbi, menikah adalah mitsaqan ghalizhah, akad agung yang menyatukan antara bani Adam dengan binti Hawa dalam sebuah hubungan suci, tanggung jawab dan membahagiakan.

Sebagian orang jahil masih beranggapan bahwa menikah hanya pengekangan terhadap kebebasan pergaulan, hanya sebatas pelampiasan nafsu belaka dengan kedok akad, intinya menikah bukan sesuatu yang menguntungkan, atau paling tidak lebih banyak nomboknya atau ruginya.

Sebuah anggapan keliru yang patut diluruskan, anggapan yang tertolak oleh kenyataan dan fakta lapangan, okelah saya mengalah kepada mereka, anggap menikah merugikan, namun apa iya manusia dalam jumlah yang sangat banyak dan menjalani hidupnya dengan menikah merasa rugi? Tanyakan kepada mereka, ternyata jawabannya sebaliknya, “Rugi kamu tidak segera menikah.” Itu jawabannya, atau tidak usah mencari jawaban, karena pilihan menikah itu sendiri sudah merupakan jawaban yang membuktikan bahwa menikah itu menguntungkan dan menyelamatkan.

Saya bertanya kepada orang-orang yang memilih membujang, ke mana Anda menyalurkan hasrat? Hanya ada satu cara selain menikah, berzina. Naudzubillah, dan sepertinya demikian. Sebuah perbuatan keji dan jalan buruk yang dimurkai Rabbil alamin.

Saya tidak memungkiri ada di antara anak-anak muda yang membujang karena terpaksa. Terpaksa karena niatan menikah ada bahkan kuat, namun himpitan kondisi sekitar belum memungkinkannya menikah. Mengurus bapak atau ibu yang sakit-sakitan, belum ketemu jodoh, membiayai adik-adik yang berjumlah banyak dan alasan-alasan lain yang tidak mengada-ada. Bisa dimaklumi dan tidak terkesan mengada-ada demi mencari kesenangan hidup yang bebas, namun harus tetap berusaha untuk menunaikan sunnah Ilahiyah yang mulia ini. Kepada mereka yang keadaannya demikian, saya doakan semoga bisa mengatasinya dan segera mereguk nikmatnya anggur pernikahan. Wassalam.