Memaafkan terkadang tidaklah mudah, dorongan membalas, keinginan melampiaskan amarah, hasrat menunjukkan kekuasaan dan kekuatan menyatu pada tabiat manusia, lebih-lebih bila peluang untuk itu terbuka, kesempatan untuk itu tersedia, si pecundang berlutut di depan Anda berharap kebaikan hati memaafkannya, sulit dalam kondisi demikian membuka dada lebar-lebar, meluruhkan amarah dari hati dan membuang ambisi balas dendam.

Tetapi ingatlah bahwa maaf itu lebih mendekatkan diri kepada ketakwaan, demikian kata sebuah ayat, Allah tidak menambahkan bagi seorang hamba karena maafnya kecuali kemuliaan, Allah Maha Pemaaf, menyukai maaf maka berharapkan maaf kepadaNya dan jadilah diri Anda pemaaf, demikian sabda Nabi, dan kesalahan memaafkan adalah lebih baik daripada kesalahan dalam menghukum.

مَلَكْتَ فَأَسْجِحْ

Kamu berkuasa maka maafkanlah. Kata ini diucapkan kepada orang yang mampu membalas orang yang menzhaliminya agar dia memaafkan, diucapkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Salamah bin al-Akwa’ atas kepahlawanannya dalam perang Ghabah atau Dzi Qarad.

Kisahnya diceritakan sendiri oleh pahlawannya. Salamah berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus pembantunya Rabah dengan membawa beberapa unta, aku menyertainya dengan berkuda milik Abu Thalhah. Di pagi hari tiba-tiba Abdur Rahman al-Fazari menyerang unta-unta tersebut, dia mengambil semuanya dan membunuh penggembalanya. Aku berkata, “Wahai Rabah, bawalah kuda ini, pulangkan ia kepada Abu Thalhah dan beri tahu Rasulullah”. Kemudian aku aku berdiri di atas sebuah bukit, menghadap Madinah dan berseru, “Hai yang bangun di pagi hari tolooong, kemudian saya mengejar mereka dan menyerang mereka dengan anak panah seraya melantunkan syair,

Aku putra al-Akwa’, hari ini hari kebebasan

Demi Allah aku terus menyerang dan melukai kuda mereka, jika ada penunggang kuda yang kembali kepadaku, aku duduk di bawah pohon kemudian menyerangnya dan melukai kudanya, sehingga ketika mereka berada di celah gunung yang sempit aku naik ke puncaknya dan menghujani mereka dengan batu, aku terus membuntuti mereka sambil melempari mereka dengan batu-batuan sehingga mereka meninggalkan unta-unta rasulullah, tiga puluh pakaian dan tiga puluh tombak untuk mempermudah pelarian, dan aku beri tanda pada apa yang mereka tinggalkan dengan batu sehingga dikenali oleh Rasulullah dan para sahabatnya.

Setelah mereka sampai di sebuah celah di gunung mereka duduk-duduk makan siang, aku berada di puncak gunung tersebut, lalu ada empat orang yang naik ke tempatku, aku berkata, ‘apakah kalian mengenaliku? Aku Salamah bin al-Akwa’, jika aku mengejar salah seorang dari kalian pasti aku mendapatkannya, namun jika kalian yang mengejarku kalian tidak bisa menangkapku.’ Maka keempat orang itu mundur. Aku tetap di tempat tersebut sampai aku melihat pasukan berkuda Rasulullah melesat di antara pepohonan, yang pertama adalah Akhram disusul Abu Qatadah dan berikutnya Miqdad bin al-Aswad.

Akhram berhadapan dengan Abdur Rahman, dia menghadang laju kuda Abdur Rahman tetapi Abdur Rahman berhasil membunuhnya, lalu dia membalikkan kudanya dan berhadapan dengan Abu Qatadah dan Abu Qatadah mengalahkannya, sehingga para pengikutnya melarikan diri. Kami terus mengejar mereka sementara aku berlari dengan kedua kakiku. Sebelum matahari tenggelam mereka sampai di mata air yang disebut Dzu Qarad, mereka ingin minum karena kehausan, tetapi aku mengusir mereka, sehingga mereka tidak minum setetes pun. Sampai tiba waktu Isya’ Rasulullah menyusulku. Aku berkata, ‘Ya Rasulullah, sesungguhnya mereka sedang kehausan, jika engkau izinkan aku bawa seratus orang dan aku akan merebut tunggangan mereka dan membawa mereka kepadamu.’ Rasulullah bersabda, ‘Wahai Ibnul Akwa’ kamu berkuasa maka maafkanlah.’ Rasulullah bersabda, ‘Sekarang mereka sedang makan di Ghathafan.’

Rasulullah bersabda, ‘Pasukan berkuda terbaik pada hari ini adalah Abu Qatadah, dan pasukan pejalan kaki terbaik adalah Salamah.’ Kemudian beliau memberiku dua bagian, bagian pasukan berkuda dan bagian pasukan pejalan kaki, kemudian beliau mendudukkanku di belakang untanya pulang menuju Madinah.

Dari ar-Rahiqul Makhtum, al-Mubarakfuri.(Izzudin Karimi)