1.
Sumber talaqqi (mengambil ilmu agama) adalah al-Qur`an dan sunnah dengan berdasarkan kepada kaidah-kaidah ilmu kalam, karena dasar yang dipakai Asy’ariyah dalam memahami al-Qur`an dan sunnah adalah kaidah-kaidah ahli kalam maka:
1) Asy’ariyah mendahulukan akal daripada naql dalam kondisi keduanya bertentangan.
2) Menolak hadits ahad dalam menetapkan perkara akidah karena –menurut Asy’ariyah- hadits ahad tidak menetapkan ilmu yang yakin.
Sebagian Asy’ariyah dalam sumber bertalaqqi ada yang mengambil dari kasyaf dan perasaan, jika nash bertentangan dengan kasyaf maka kasyaf didahulukan atau nash dibelokkan agar sesuai dengan kasyaf. Ini adalah pendapat Asy’ariyah yang tercemar oleh metode sufi di mana mereka memiliki istilah ‘ilmu laduni’ dan slogan ‘hatiku menyampaikan kepadaku dari tuhanku’.

2.
Asy’ariyah membagi dasar-dasar akidah menurut sumber talaqqi menjadi tiga bagian:
1) Bagian di mana sumbernya adalah akal. Ini berlaku untuk kebanyakan dasar akidah termasuk sifat-sifat Allah. Oleh karena itu mereka menamakan sifat-sifat Allah yang ditetapkan oleh akal dengan ‘aqliyat’. Dalam bagian ini mereka tidak menoleh kepada dalil naqli.
2) Bagian di mana sumbernya adalah naqli dan aqli seperti perkara-perkara rukyah Allah.
3) Bagian di mana sumbernya adalah naqli. Ini berlaku untuk perkara-perkara akhirat yang ghaib seperti azab kubur, mizan dan lain-lain.

3.
Menurut Asy’ariyah tauhid adalah menetapkan rububiyah Allah. Mereka berkata al-Ilah (Tuhan) adalah pencipta atau yang mampu mencipta sesuatu tanpa contoh. Asy’ariyah tidak mengangkat tauhid uluhiyah ke dalam pembicaraan tauhid. Jadi orang yang bertauhid adalah orang yang mengakui rububiyah Allah walaupun dalam uluhiyah yang bersangkutan melakukan syirik.

4.
Asy’ariyah berpendapat bahwa apabila seseorang mencapai usia baligh maka kewajiban pertamanya adalah nazhar, kemudian beriman. Menurut Asy’ariyah pengetahuan manusia tentang Allah yang bersifat fitri tidak memadahi.

5.
Dalam perkara sifat-sifat Allah Asy’ariyah hanya menetapkan tujuh sifat Allah, sebagaimana yang telah dijelaskan di depan, kenapa tujuh? Karena menurut mereka akal menuntut menetapkannya. Adapun sifat-sifat yang lain maka mereka tidak menetapkannya atau mentakwilkannya seperti sifat-sifat khabariyah seperti wajah, dua tangan, mata, qadam (kaki), uluw dan istiwa’.

6.
Dalam perkara iman Asy’ariyah di antara Murji’ah yang berkata, ‘mengucapkan syahadatain tanpa amal sudah cukup untuk mensahkan iman,’ dengan Jahmiyah yang berkata, ‘membenarkan dengan hati sudah cukup mensahkan iman.’ Ini berarti sebagian Asy’ariyah meyakini bahwa iman seseorang sudah sah dengan dua kalimat syahadat walaupun dia tidak beramal apapun, sementara sebagian yang lain berpendapat bahwa iman seseorang sudah sah hanya dengan hati yang mengakui walaupun tanpa ucapan dan perbuatan.

7.
Al-Qur`an menurut Asy’ariyah adalah kalam Allah tetapi tidak hakiki. Hal ini kembali kepada pendapat Asy’ariyah tentang kalam Allah. Dalam Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyah disebutkan, “Manusia terbagi menjadi sembilan kelompok dalam masalah kalam … kelompok ketiga berkata, ‘kalam Allah adalah makna yang satu yang berdiri pada dzat Allah, ia adalah perintah, larangan, berita dan pertanyaan, jika diungkapkan dengan bahasa Arab maka ia adalah al-Qur`an, jika diungkapkan dengan bahasa Ibrani maka ia adalah Taurat.’ Ini adalah pendapat Ibnu Kullab dan orang-orang yang sepaham dengannya seperti al-Asy’ari dan lain-lainnya.

8.
Hukum pelaku dosa besar yang mati tanpa taubat kembali kepada Allah. Dia bisa menyiksanya atau mengampuninya atau Nabi saw membantunya dengan syafaat kepadanya.

9.
Asy’ariyah beriman kepada keadaan alam Barzakh dan alam akhirat seperti kebangkitan, mizan, shirath, syafaat, surga, neraka, Karena semua itu termasuk perkara yang mungkin yang diberitakan oleh Nabi saw.

10.
Asy’ariyah mengakui khulafa’ rasyidin yang empat dengan urutan Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali, dan apa yang terjadi di kalangan mereka adalah ijtihad dari mereka. Oleh karena itu –menurut Asy’ariyah- tidak boleh mencela dan mencaci mereka, karena ia bisa kufur atau bid’ah dan fasik. Asy’ariyah berpendapat shalat di belakang imam yang baik dan yang fajir dan memberontak kepada para imam tidak boleh.

(Rujukan: Al-Maushu’ah al-Muyassarah, Nadwah Alamiyah lis Syabab al-Islami, Editor, Dr. Mani’ Hammad al-Juhani, al-Firaq wa al-Ahwa, Dr. Nashir Abdul Karim al-Aql, al-Qawaid al-Mutsla, Ibnu Utsaimin, Syarah al-Aqidah at-Thahawiyah, Ibnu Abil Iz al-Hanafi).