Akal, anugerah dan karunia besar Allah kepada menusia, ia merupakan pembeda antara manusia dengan makhluk Allah lainnya: hewan, tumbuhan dan benda-benda mati. Dari sisi syar’i, akal adalah pijakan dan tumpuan beban taklif, walaupun begitu tidak sedikit orang yang kurang mampu memanfaatkan akalnya dengan benar dan baik, ia disia-siakan dan diterlantarkan, padahal jika ia dipergunakan dengan baik maka ia bisa menghadirkan banyak manfaat, bahkan bisa pula menghindarkan pemiliknya dari bahaya yang mengancamnya. Berikut ini adalah dua kisah yang membuktikan hal itu.

Anu Syirwan melewati seorang laki-laki yang menanam pohon zaitun. Dia berkata, “Bukankah ini adalah penanaman zaitun yang pertama darimu, sementara ia lambat berbuah?”
Laki-laki itu menjawab, “Orang-orang sebelum kami mananam dan kami memakannya… dan kami menanam agar dimakan oleh orang-orang sesudah kami.”
Anu Syirwan berkata, “Zih,” yakni kamu telah berbuat baik. Dan jika Anu Syirwan berkata ‘Zih’ maka orang yang kepadanya dikatakan ucapan itu diberi empat ribu dirham.
Laki-laki itu berkata, “Wahai raja, bagaimana engkau heran terhadap pohonku dan lamanya ia berbuah. Alangkah cepatnya ia berbuah.” Anu Syirwan berkata, “Zih.” Maka laki-laki itu diberi tambahan empat ribu dirham lagi.
Laki-laki itu berkata, “Biasanya pohon itu berbuah sekali dalam setahun. Sementara pohonku dalam sesaat berbuah dua kali.” Anu Syirwan berkata, “Zih.” Maka laki-laki itu diberi tambahan empat ribu dirham lagi. Anu Syirwan berlalu dan berkata, “Jika kita terus di sini maka apa yang ada di gudang kita tidak akan akan habis untuk orang ini.”

Diceritakan bahwa raja Khasru bin Abrawiz menyukai makan ikan. Suatu hari ditemani istrinya Syirin dia duduk di taman istana.
Datang seorang nelayan dengan membawa ikan besar dan dia memberikannya sebagai hadiah kepada raja Kharsu. Ikan itu ditaruh di depannya. Raja mengaguminya maka dia memerintahkan agar nelayan itu diberi empat ribu dirham.
Istrinya Syirin berkata, “Perkara terburuk telah kamu lakukan.”
Raja bertanya, “Mengapa?”
Dia mejawab, “Jika kamu memberi seseorang sesudah itu niscaya dia akan mematok jumlah itu. Dia berkata, ‘Dia telah memberi seperti pemberian nelayan.”
Raja berkata, “Kamu benar. Akan tetapi bagi raja menarik pemberian adalah sesuatu yang buruk, sudah terlanjur.”
Dia berkata, “Aku yang mengatur.”
Raja bertanya, “Bagaimana?”
Dia berkata, “Panggil nelayan itu. Katakan kepadanya, ‘Ikan ini jantan atau betina?’ Jika dia bilang jantan maka kamu bilang, ‘Aku ingin ikan betina’. Dan jika dia bilang betina maka kamu bilang, ‘Aku ingin ikan jantan’.”
Nelayan dipanggil. Dia memenuhi panggilan itu. Nelayan ini adalah orang yang cerdas dan cerdik. Raja bertanya kepadanya “Ikan ini jantan atau betina?”
Nelayan menjawab, “Ikan ini banci. Tidak jantan tidak betina.” Raja tertawa mendengar jawabannya lalu dia memerintahkan agar nelayan itu diberi empat ribu dirham. Nelayan menghadap bendahara negara dan menerima delapan ribu dirham yang dimasukkan ke dalam kantong yang dibawanya. Lalu dia memanggulnya di pundaknya. Manakala dia hendak keluar, sebuah koin dirham jatuh dari kantongnya, nelayan itu menurunkan kantong dari pundaknya, dia merunduk mengambil dirham, sementara raja dan istrinya memandangnya.
Istri raja berkata kepada raja, “Tidakkah kamu melihat hina dan rendahnya laki-laki ini. Hanya jatuh darinya satu dirham, dia meletakkan delapan ribu dirham dari pundaknya, lalu dia menunduk mengambil satu dirham. Dia tidak rela satu dirham itu diambil oleh salah seorang pelayan istana.”
Raja marah dan berkata, “Kamu benar Syirin.” Lalu raja meminta agar nelayan itu ditahan. Raja berkata kepadanya, “Dasar orang rendah. Kamu bukan manusia. Uang itu kamu turunkan dari pundakmu haya demi satu dirham. Kamu tidak rela membiarkannya di tempatnya agar diambil oleh pelayan istana.”
Nelayan menjawab, “Tuan raja. Semoga Tuhan memberimu panjang umur. Aku tidak mengambil dirham itu karena ia bernilai bagiku, akan tetapi aku mengambilnya karena di salah satu sisinya terdapat gambar raja. Sementara di sisi yang lain tertulis nama raja. Aku takut ia diinjak oleh seseorang karena dia tidak tahu.”
Raja mengagumi ucapannya dan mengakui kepintarannya. Maka dia memberinya empat ribu dirham lagi. Nelayan itu pulang dengan memikul dua belas ribu dirham.

(Rujukan: Makarim al-Akhlaq, Ali Shalih al-Hazza’)(Izzudin Karimi)