Perbedaan Pendapat Seputar Makna “Tujuh Huruf”

Para Ulama berbeda pendapat dalam menafsiran maksud tujuh huruf ini dengan pendapat yang bermacam-macam. Sehingga Ibnu Hayyan rahimahullah mengatakan:”Ahli Ilmu berbeda pendapat tentang arti kata tujuh huruf ini menjadi tiga puluh lima pendapat.” Namun kebanyakan pendapat-pendapat itu saling tumpang tindih. Di sini kami akan mengemukakan beberapa pendapat yang berbobot saja:

Pertama: Sebagian besar Ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa (dialek) dari bahasa-bahasa (dialek-dialek) Arab dalam satu makna. Dalam artian, jika bahasa mereka berbeda dalam mengungkapkan satu makna, maka al-Qur’an pun diturunkan dengan sejumlah lafazh sesuai dengan ragam bahasa tersebut tentang satu makna itu. Dan jika tidak terdapat perbedaan, maka al-Qur’an hanya mendatangkan satu lafazh atau lebih saja. Kemudian mereka berbeda pendapat juga dalam menentukan ketujuh bahasa (dialek) tersebut. Dikatakan bahwa ketujuh dialek tersebut adalah dialek Quraisy, Hudzail, Tsaqif, Hawazin, Kinanah, Tamim dan Yaman.

Menurut Abu Hatim as-Sijistani, Al-Qur’an diturunkan dalam dialek Quraisy, Hudzail, Tamim, Azad, Hawazin, dan Sa’ad bin Abi Bakar. Dan diriwayatkan pula pendapat yang lain. (lihat al-Itqaan)

Kedua: Yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab yang ada, yang mana dengannyalah al-Qur’an diturunkan. Dalam artian bahwa kata-kata dalam al-Qur’an secara keseluruhan tidak keluar dari ketujuh macam bahasa tadi, yaitu bahasa yang paling fasih di kalangan bangsa Arab, meskipun sebagian besarnya dalam bahasa (dialek) Quraisy. Sedang sebagian yang lain dalam bahasa Hudzail, Tsaqif, Hawazin, Kinanah, Tamim atau Yaman, karena itu maka secara keseluruhan al-Qur’an mencakup ketujuh bahasa tersebut.

Pendapat ini berbeda dengan pendapat sebelumnya, karena yang dimaksud dengan tujuh huruf dalam pendapat ini adalah tujuh dialek yang bertebaran di berbagai surat al-Qur’an, bukan tujuh bahasa yang berbeda tetapi sama dalam makna.

Menurut Abu Ubaid, yang dimaksud bukanlah setiap kata boleh dibaca dengan tujuh bahasa, tetapi tujuh bahasa (dialek) tersebut bertebaran dalam al-Qur’an. Sebagiannya bahasa Quraisy, sebagian yang lain Hudzail, Hawazin, dan Yaman. Dan selain mereka berkata:”Sebagian bahasa-bahasa itu lebih beruntung dari yang lain dan lebih banyak persentasenya dalam al-Qur’an.”

Ketiga: Sebagian Ulama menyebutkan, yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh segi/sisi, yaitu;amr (perintah), nahyu (larangan), wa’d (janji), wa’iid (ancaman), jadal (debat), qashash (kisah), dan matsal (perumpamaan). Atau amr, nahyu, halal, haram, muhkam, mutasyabih, dan amtsal.

Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:”Kitab umat terdahulu diturunkan dari satu pintu dan dengan satu huruf.. sedang al-Qur’an diturunkan melalui tujuh pintu dan tujuh huruf, yaitu; zajr (larangan), amr, halal, haram, muhkam, mutasyabih dan amtsal.” (HR. al-Hakim dan al-Baihaqi)

Keempat: Segolongan ulama berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan huruf adalah tujuh macam hal yang di dalamnya terjadi ikhtilaf (perbedaan), yaitu:

1. Perbedaan asmaa’ (perbedaan kata benda); dalam bentuk mufrad (tunggal), mudzakar (menunjukkan laki-laki) dan cabang-cabangnya seperti tatsniyyah (menunjukkan dua), jama’ (menunjukkan lebih dari dua), dan ta’nits (menunjukkan perempuan).

2. Perbedaan dalam segi I’rab (akhir harakat dari kata dalam bahasa Arab), seperti rafa’ (dhammah), nashab (fathah), majrur (kasroh) dan majzum (sukun). Karena dalam masalah ini para Qari’ berbeda pendapat dalam membacanya.

3. Perbedaan dalam tashrif (perubahan posisi dan bentuk dalam ilmu nahwu/tata bahasa Arab).

4. Perbedaan dalam taqdim (mendahulukan suatu kalimat atas kalimat yang lain) dan ta’khir (mengakhirkan).

5. Perbedaan dalam segi ibdal (penggantian), baik penggantian huruf dengan huruf, ataupun penggantian lafazh dengan lafazh, dan bisa jadi penggantian pada perbedaan makhraj (tempat keluarnya huruf).

6. Perbedaan dengan sebab adanya penambahan dan pengurangan.

7. Perbedaan lahjah (dialek) dengan pembacaan tafkhim (tebal) dan tarqiq (tipis), fathah, dan imalah, izhar dan idgham, hamzah dan tashiil, isymam dan lain-lain.

Kelima: Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa bilangan tujuh itu tidak bisa diartikan secara harfiah, tetapi angka tujuh tersebut hanya sebagai simbol kesempurnaan menurut kebiasaan orang Arab. Dengan demikian, maka kata tujuh adalah isyarat bahwa bahasa dan susunan al-Qur’an merupakan batas dan sumber utama bagi semua perkataan orang Arab yang telah mencapai puncak kesempurnaan tertinggi. Sebab, lafazh sab’ah (tujuh) dipergunakan pula untuk menunjukkan jumlah banyak dan sempurna dalam bilangan satuan, seperti tujuh puluh dalam bilangan puluhan, dan tujuh ratus dalam ratusan. Kata-kata itu tidak dimaksudkan untuk bilangan tertentu.

Keenam: Ada juga ulama yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah qira’at sab’ah (model bacaan yang tujuh).

Lalu manakah di antara pendapat-pendapat di atas yang kuat? Simak pembahasan yang akan datang Insyaa Allah….

(Sumber: disadur dari “Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an” Syaikh Manna al-Qaththan. Edisi terjemahan, Pustaka al-Kautsar hal 196-200. Dipsoting oleh Abu Yusuf Sujono)