Melajang memang pilihan dengan seabreg alasan dan segunung latar belakang, dari yang masuk akal sampai yang tidak masuk akal, dari yang bisa diterima sampai yang mengada-ada, dari yang terdorong oleh pertimbangan syar’i sampai pertimbangan nafsu hewani, apa pun alasan dan latar belakangnya, judulnya tetap satu, muaranya tetap sama, tidak menikah alias membujang. Bahkan di zaman yang katanya modern ini, gaya hidup ini semakin menjadi tren yang membanggakan, orang tidak lagi risih menyandang jejaka lapuk atau perawan STW alisa setengah tuwa, dulu anak-anak muda menikah dalam kisaran umur di bawah dua puluh lima, namun saat ini, umur segitu masih terlalu dini untuk menikah, nunggu sampai kepala tiga bahkan empat.

Rada sulit memang mengendus kegelisahan dalam jiwa dan kegundahan dalam dada, sementara mereka yang memilih jalan ini secara lahiriyahnya tampak enak dan enjoy dengan kesendiriannya. Muncul pertanyaan, apa iya membujang itu ada nikmatnya?

Kayaknya sih demikian, tapi eits ntar dulu, saya katakan sepertinya. Bebas dan merdeka. [Bebas, kesannya menikah adalah penjara atau pasungan. Merdeka, kesannya menikah adalah penjajahan]. Dua kata yang sering dibanggakan oleh orang-orang yang memilih jalan hidup ini. Mau apa, ke mana, di mana? Tidak ada yang nggandoli, tidak ada yang bertanya dan mempersoalkan. Intinya bebas memilih dan melakukan tanpa perlu khawatir izin anu atau ani. Beda dengan orang yang menikah menurut mereka, dia harus ini dan itu dulu dengan istri atau suaminya saat hendak ini dan itu. Ribet dan repot.

Dari perasaan bebas dan merdeka inilah, lahir optimisme pada mereka bahwa urusan lainnya akan lebih lancar, bahkan di sebagian kalangan optimisme ini telah mengakar menjadi sebuah keyakinan. Tidak asing kalau ada yang bilang, “Pantes karirnya lancar, melambung, lha wong dia bujangan.”

Tapi nanti dulu, kita sering terjebak menilai orang dengan kaca mata diri sendiri, orang yang hidup membujang dengan karir meroket, kita kira dia hidup tenang, tenteram dan berbahagia, tetapi belum tentu bukan? Ya belum tentu, kalau Anda ingin membuktikan, silakan mencoba. Berani? Saya yakin tidak, karena kebahagiaan yang sepintas dari melajang hanyalah fatamorgana dan kamuflase. Di saat yang sama berbagai julukan dan gelar yang tidak terhormat tersandang di dadanya: perawan tua, jejaka tua, bujang lapuk, susah jodoh, master jomblo dan lain-lain. Memang enak?

Kalau kita mau jujur, tidak ada orang yang bebas merdeka dalam hidup, tanpa kecuali para pelajang, hidup selalu memiliki ikatan yang Anda suka atau tidak, pasti terikat olehnya. Ada ikatan keluarga, tempat kerja, pertemanan dan norma masyarakat bahkan ajaran agama. Hidup ini juga tidak menyisakan ruang untuk kesendirian abadi sampai mati, karena hidup adalah sosial dan manusia adalah makhluk sosial. Lalu di mana letak bebas dan merdeka? Melajang membebaskan satu ikatan dari seseorang, tetapi tidak untuk seluruh ikatan.

Di sisi seberang, menikah. Tidak dipungkiri, menikah juga terkadang bukan memecahkan masalah secara keseluruhan, bahkan bisa jadi ia memicu masalah, sama dengan orang yang membujang, dia juga memiliki masalah. So dari sisi ini, apa enaknya membujang? Toh masalah tetap datang juga, artinya melajang bukan jalan berlari yang baik dari masalah. Hidup kok mau bebas dari masalah, terus mau ke mana? Mati? Justru ini masalah besar. Bukan matinya, tetapi apa yang sesudah mati.

Kembali ke masalah kita kawan, sama-sama menghadapi masalah. Menikah ada masalahnya. Melajang juga sama. Tetapi tetap menikah lebih nikmat, kalaupun kenikmatan melajang terletak pada kebebasannya, tetapi ia adalah kebebasan sunyi, kemerdekaan yang sepi. Sebaliknya menikah, ada masalah? Okey, tapi ada teman dekat yang benar-benar dekat dalam arti sebenarnya, namanya saja garwo, sigarane nyowo, belahan jiwa. Tetapi teman dekat kan bisa didapat dengan membujang? Tidak salah, tetapi sedekat apa? Sedekat-dekatnya teman dekat, toh Anda tidak tidur dengannya dalam satu selimut kan? Toh Anda pasti tidak selalu bersamanya kan?

Suami atau istrinya adalah teman dekat sejati, hakiki, dalam arti yang sebenar-benarnya, tempat kita menumpahkan segala apa yang layak ditumpahkan, teman bebas bercengkerama, ngobrol ngalor-ngidul, gurau bahkan sampai gulat segala, dengan itu kesucian diri terjaga, rasa cinta kasih tumbuh, sikap tanggung jawab berkembang. Di sisi yang sama, lihatlah para pelajang. Mau bercengkerama dan bergulat dengan siapa? Ada sih, yaitu kesepian dan kesunyian.

Betapa tenangnya hati Anda saat Anda curhat kepadanya, sambil meletakkan kepala di dadanya atau di pangkuannya, lalu Anda meremas jari-jemarinya atau memeluk pinggangnya. Duh nyaman dan damainya. Itu kalau dia adalah suami atau istri Anda. Kalau Anda membujang dan melakukannya kepada teman wanita atau laki-laki Anda, apa yang Anda dapatkan? Dosa kawan.

Dari sisi pandangan agama, saat pembujang tertatih meniti jalan agama, orang yang menikah telah mengisi separuh agamanya. “Barangsiapa menikah maka dia telah mengusai separuh agamanya, maka hendaknya dia bertakwa kepada Allah dalam memelihara yang separuh lagi.” Diriwayatkan oleh al-Hakim.

Rumah tangga memang bukan urusan sederhana atau remeh, tetapi di sana terdapat solusi dan penawar hati. Suami istri berbagi, berbicara tanpa sekat dan pembatas, apa adanya, bahkan bermesra dan bercinta yang mendatangkan kenikmatan, ketenangan dan pahala. Sekarang pertanyaannya, adakah semua ini dimiliki oleh pembujang? Yang ada adalah kesepian saat teman-temannya pergi, yang tertinggal adalah bantal dan guling, apa yang bisa dilakukan dengannya? Tidak salah kalau membujang itu merdeka tapi sepi dan sunyi? Mau? Jangan deh. Wallahu a’lam.
(Izzudin Karimi)