Keinginan untuk membantu, memberi dan meringankan serta berbuat baik, itulah kedermawanan. Sebuah kepribadian dan tabiat luhur yang menjadi ajang perlombaan bagi orang-orang besar, “Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba.” (Qs.Al-Muthaffifin: 26).

Jiwa yang bertabiat menyukai harta membawa kepada kecenderungan sikap menahan dan membuat tangan terbelenggu di leher, orang dermawan berhasil melawan tabiat dirinya, di sinilah letak ujiannya, namun demikian masih ada orang-orang yang memiliki kedermawanan tingkat tertinggi yang lazim disebut dengan itsar, inilah yang Allah sanjungkan kepada orang-orang Anshar dalam firmanNya, yang artinya, “Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman sebelum kedatangan orang-orang Muhajirin, mereka menyintai orang yang berhijrah kepada mereka dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada orang-orang Muhajirin, dan mereka mengutamakan orang-orang Muhajirin atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan, dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.” (Qs.Al-Hasyr: 9).

Haitsam bin Adi menceritakan bahwa ada tiga orang yang berselisih tentang siapa yang paling dermawan. Laki-laki pertama berkata, “Orang paling dermawan saat ini adalah Abdullah bin Ja’far.” Laki-laki kedua berkata, “Orang paling dermawan saat ini adalah Qais bin Saad bin Ubadah.” Laki-laki ketiga berkata, “Orang paling dermawan saat ini adalah Irabah bin Al-Aus.”

Mereka berselisih di samping Ka’bah. Seorang laki-laki berkata kepada mereka, “Kalian berbicara berlebih-lebihan. Hendaknya masing-masing dari kalian pergi menemui orang yang dijagokannya untuk meminta sesuatu sehingga kita bisa melihat apa yang dia dapatkan lalu kita bisa menengahi dengan adil.”

Pengagum Abdullah bin Ja’far pergi menemuinya. Pada waktu itu Abdullah telah meletakkan kakinya di pijakan pelana ontanya, dia hendak menengok tanah miliknya. Maka pengagum itu berkata, “Wahai putra paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Seorang ibnu sabil yang kehabisan bekal.” Maka Abdullah menarik kakinya dan berkata, “Letakkan kakimu, lalu naiklah ke punggung onta. Ambil apa yang ada di dalam tas.” Dan di tas itu terdapat kain dari tenunan wol dan benang sutera serta empat ribu dinar.

Pengagum Qais mendatangi Qais. Qais sedang tidur. Seorang hamba sahaya milik Qais berkata kepadanya, “Apa keperluanmu?” Dia menjawab, “Ibnu Sabil yang kehabisan bekal.” Hamba sahaya itu berkata, “Hajatmu lebih ringan daripada membangunkannya. Ini kantong isinya tujuh ratus dinar. Hanya ini yang ada di rumah Qais. Seterusnya kamu bisa mengambil seekor onta di kandang onta berikut perbekalannya dan seorang hamba sahaya. Setelah itu pergilah sesukamu.” Manakala Qais bangun, hamba sahayanya memberitahukan apa yang dia perbuat. Maka Qais memerdekakannya. Seandainya hamba sahaya itu tidak yakin bahwa apa yang dilakukannya diridhai oleh Qais niscaya dia tidak berani melakukannya. Akhlak pelayan seseorang terbias dari akhlak orang tersebut.

Pengagum Irabah menemuinya. Irabah sedang berjalan pergi shalat. Dia berkata, “Wahai Irabah, Ibnu Sabil yang kehabisan bekal.” Pada waktu itu Irabah sedang bersama hamba sahayanya. Maka Irabah menepuk tangan kanannya ke tangan kirinya dan dia berkata, “Wah, wah tidak ada pagi dan petang sementara Irabah menyimpan sesuatu. Hak-hak tidak menyisakan harta untuknya, ambillah dua orang hamba sahaya ini.” Laki-laki itu berkata, “Demi Allah, aku tidak pantas mengambil kedua hambamu ini.” Irabah menjawab, “Jika kamu mengambil keduanya, jika tidak maka keduanya merdeka karena wajhullah Taala. Jika kamu mau maka ambillah, jika kamu mau maka merdekakanlah.” Lalu laki-laki itu mengambil dua orang hamba sahaya itu dan berlalu.

Kemudian mereka berkumpul dan masing-masing menceritakan kisahnya. Menurut pembaca siapakah yang lebih dermawan?

Mausu’ah Qashash as-Salaf, Ahmad Salim Baduwailan.