Orang mengetahui isi hatinya sendiri yang belum dia ucapkan dan lakukan adalah hal yang biasa, bagaimana tidak sementara hal itu ada pada dirinya, tetapi bagaimana bila orang mengetahui apa yang ada di hati orang lain, padahal orang lain itu hanya berbicara dalam hati, belum mengucapkannya kepada siapa pun? Mungkin sebagian kalangan memungkiri hal ini. Mustahil, katanya. Dari mana cara dan jalannya? Ternyata ada jalannya dan sepertinya jalan inilah yang dipakai oleh sang dukun untuk menerka apa yang ada dalam hati orang atau mengatakan tempat barang yang hilang. Bacalah keterangan berikut, Anda akan berkata, “Oh, begitu toh.”

Ibnu Abu Dawud meriwayatkan dari al-Mutthalib bin Abdullah bin Hanthab bahwa Umar bin al-Khatthab membicarakan seorang wanita dalam hatinya namun tidak mengatakannya kepada siapa pun, lalu seorang laki-laki datang kepada Umar dan berkata, “Engkau membicarakan fulanah bahwa dia adalah wanita mulia lagi cantik di keluarga yang baik.” Umar bertanya, “Siapa yang menyampaikannya kepadamu?” Dia menjawab, ‘Orang-orang membicarakannya.” Umar berkata, “Demi Allah, aku tidak mengatakannya kepada siapa pun, lalu dari mana?” Dia menjawab, “Al-Khannas yang membawanya keluar.” Dan al-Khannas adalah yang yuwaswisu fi shudurin nas
.
Abu al-Jauza` berkata, “Aku mentalak istriku hari Jum’at dan dalam hatiku ingin merujuknya di hari Jum’at berikutnya, aku belum mengatakannya kepada siapa pun. Namun istriku berkata, “Kamu ingin merujukku di hari Jum’at?” Aku bertanya, “Aku belum mengatakannya kepada siapa pun.” Abu al-Jauza` berkata, “Namun aku teringat kata-kata Ibnu Abbas bahwa setan seseorang mengabarkan kepada setan orang lain, dari sanalah pembicaraan menyebar.”

Seorang laki-laki dihadapkan kepada al-Hajjaj bin Yusuf dengan tuduhan sebagai tukang sihir. Al-Hajjaj bertanya, “Kamu tukang sihir?” Dia menjawab, ‘Tidak.” Lalu al-Hajjaj mengambil kerikil dengan telapak tangannya dan dia menghitungnya, lalu dia bertanya kepada laki-laki itu, “Berapa kerikil di tanganku?” Laki-laki itu menjawab, “Sekian.” Lalu al-Hajjaj membuang kerikil dan mengambil kerikil baru namun kali ini dia tidak menghitungnya, dia bertanya, “Berapa kerikil di tanganku?” Dia menjawab, ‘Tidak tahu.” Al-Hajjaj berkata, “Untuk yang pertama kamu tahu, mengapa yang kedua tidak?” Dia menjawab, “Yang pertama karena kamu menghitungnya maka kamu mengetahuinya, maka setanmu juga mengetahui dan dia mengabarkan kepada setanku. Untuk yang kedua engkau tidak mengetahuinya maka setanmu juga tidak mengetahuinya sehingga dia tidak mengabarkan kepada setanku, maka aku tidak tahu.”

Mu’awiyah bin Abu Sufyan bahwa dia memerintahkan katibnya agar menulis kitab tentang rahasia, saat katibnya menulis, tiba-tiba seekor lalat hinggap di sebuah huruf dari apa yang ditulis, maka katib itu memukulnya dengan pena, maka sebagian kaki lalat itu terputus. Selanjutnya katib itu keluar dan orang-orang menyambutnya di pintu istana, mereka berkata, “Amirul Mukminin menulis begini dan begini.” Dia bertanya, “Dari mana kalian tahu?” Mereka berkata, “Seorang laki-laki Habasyah kakinya terputus, dia datang kepada kami dan mengatakannya kepada kami.” Lalu katib tersebut kembali kepada Mu’awiyah dan berkata, “Amirul Mukminin, rahasia yang engkau perintahkan kepadaku agar aku menulisnya sudah diketahui oleh orang-orang.” Mu’awiyah bertanya, “Bagaimana bisa demikian?” Dia menjawab, “Kata mereka seorang laki-laki Habasyah kakinya terputus datang kepada mereka dan memberitahu mereka.” Mu’awiyah berkata, “Dia demi Allah yang jiwaku ada di tangannya adalah setan, ia adalah lalat yang kamu pukul dengan pena.” Wallahu a’lam.

Dari Akamul Marjan fi Ahkamil Jan, Badruddin Abdullah asy-Syibli.