9. Larangan minta supaya do`anya cepat dikabulkan. Telah diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu \’anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu \’alaihi wasallamtelah bersabda,

يُسْتَجَابُ لِأَحَدِكُمْ مَا لَمْ يُعَجِّلْ يَقُوْلُ: دَعَـوْتُ فَلَمْ يُسْتَجَبْ لِيْ.

“Akan dikabulkan do`a seseorang di antara kalian selama dia tidak tergesa-gesa untuk dikabulkan, seraya mengucapkan: “Aku telah berdo`a, namun do`aku belum terkabulkan.” (HR. Imam al-Bukhari, 11/140; dan Muslim, 4/2095). Di dalam lafazh Muslim:

لاَ يَزَالُ يُسْتَجَابُ لِلْعَبْدِ مَا لَمْ يَدْعُ بِإِثْمٍ أَوْ قَطِيْعَةِ رَحِمٍ ومَا لَمْ يَسْتَعْجِلْ. قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَا اْلاِسْتِعْجَالُ؟ قَالَ: يَقُوْلُ: قَدْ دَعَوْتُ وَ قَدْ دَعَوْتُ فَلَمْ يُسْتَجَبْ لِيْ، فَيَسْتَحْسِرُ عِنْدَ ذَلِكَ وَيَدَعُ الدُّعَاءَ.

“Akan selalu dikabulkan do`a seorang hamba selagi dia tidak berdo`a untuk suatu dosa atau memutus tali silaturahim, dan selagi dia tidak tergesa-gesa supaya dikabulkan.” Beliau ditanya: ‘Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud minta segera dikabulkan?’ Beliau menjawab: ’Seorang hamba itu mengucapkan: ‘Sungguh aku telah berdo`a dan berdo`a, namun tidak pernah do`aku itu dikabulkan’. Sehingga, pada saat itu dia akan merasa mengeluh (frustasi), lalu tidak mau berdo`a’.”
Telah diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu \’anhu, bahwasanya Nabi shallallahu \’alaihi wasallam bersabda,

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُوْ بِدَعْوَةٍ، لَيْسَ فِيْهَا إِثْمٌ وَلاَ قَطِيْعَةُ رَحِم، إِلاَّ أَعْطَاهُ اللهُ بِهَا إِحْدَى ثَلاَثٍ: إِمَّا يُعَجِّلُ لَهُ دَعْوَتَهُ، وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِي اْلآخِرَةِ، وَإِمَّا أَنْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوْءِ مِثْلَهَا.

“Tidaklah seorang muslim berdo`a dengan suatu do`a, yang tiada terkandung didalamnya dosa dan terputusnya tali silaturahim, melainkan Allahta’ala pasti memberinya karena do`anya itu salah satu dari tiga hal: Allahta’ala akan mempercepat terkabulnya do`a hamba tersebut, atau Dia akan menyim-pannya sebagai tabungan baginya di akhirat, atau Dia akan menghindarkannya dari keburukan yang semisalnya.” (HR. Ahmad dan al-Hakim, lalu al-Hakim menshahihkannya dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi).
Dari ‘Ubadah bin Shamit radhiyallahu \’anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu \’alaihi wasallam bersabda,

مَا عَلَى اْلأَرْضِ مُسْلِمٌ يَدْعُـوْ اللهَ بِدَعْـوَةٍ إِلاَّ آتَاهُ اللهُ إِيَّاهَا، أَوْ صَرَفَ عَنْهُ مِنَ السُّـوْءِ مِثْلَهَا، مَا لَمْ يَدْعُ بِإِثْمٍ أَوْ قَطِيْعَةِ رَحِمٍ، مَا لَمْ يُعَجِّلْ يَقُوْلُ: قَدْ دَعَوْتُ وَدَعَـوْتُ فَلَمْ يُسْـتَجَبْ لِيْ.

“Di atas bumi ini, tidaklah seorang muslim berdo`a dengan suatu do`a, melainkan Allah akan mengabulkan do`anya, atau menjauhkannya dari kejelekan yang semisalnya, selama dia tidak berdo`a untuk suatu dosa dan memutus hubungan silaturahim, dan selagi dia tidak tergesa-gesa untuk mengucapkan: ‘Sungguh aku telah berdo`a dan berdo`a, namun do`aku tidak pernah dikabulkan’.” (HR. Tirmizi dan al-Hakim, lalu al-Hakim menshahihkannya dan disepakati oleh Imam Dzahabi).
Coba Anda perhatikan sebuah hadîts yang terdapat di dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, berkaitan dengan qunut (nâzilah) Nabi shallallahu \’alaihi wasallam yang ditujukan kepada kaum Ra’l dan Dzakwan selama satu bulan yang isinya mendo`akan keburukan terhadap mereka. Di dalam hadîts tersebut terdapat pemahaman agar pemohon tidak minta do`anya diperlambat untuk dikabulkan. Bagaimana seseorang di antara kita tidak minta do`anya agar diperlambat, sementara berbagai kemaksiatan kita telah menyumbat jalannya? Maka, Tidak ada daya dan kekuatan kecuali karena pertolongan Allah ta’ala.

10. Larangan mengeluh (lesu, frustasi). Maksudnya, tidak mau berdo`a karena merasa frustasi dan bosan.
Allah ta’ala ketika memuji para malaikat-Nya seraya berfirman,

وَلَهُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَمَنْ عِندَهُ لاَيَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِهِ وَلاَيَسْتَحْسِرُونَ {19} يُسَبِّحُونَ الَّيْلَ وَالنَّهَارَ لاَيَفْتُرُونَ {20}

“Dan kepunyaan-Nyalah segala yang ada di langit dan di bumi. Dan malaikat-malaikat yang di sisi-Nya, mereka tidak mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Nya dan tiada (pula) merasa letih. Mereka selalu bertasbîh malam dan siang tiada henti-hentinya.” (al-Anbiya’: 19-20). Kata ‘la yastahsirûn’ di sini, berarti: mereka tidak merasa lelah.

Az-Zubaidi di dalam kitabnya ‘Taj al-‘Arus’ (11/12), menyebutkan: “ Di dalam sebuah hadîts disebutkan:

اُدْعُـوْا اللهَ وَلاَ تَسْتَحْسِرُوْا.

“Berdo`alah kalian kepada Allah dan janganlah kalian ber-istihsar (lelah/letih).” Maksudnya, jangan merasa bosan.
Dan hadîts-hadîts tentang larangan agar do`a diperlambat untuk dikabulkan, menunjukkan larangan merasa lelah (frustasi) dalam berdo`a. Oleh karena itu, di dalam hadîts Abu Hurairah radhiyallahu \’anhu yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebutkan: “Ditanyakan kepada Nabi shallallahu \’alaihi wasallam:

يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَا اْلاِسْتِحْسَارُ؟ قَالَ: يَقُوْلُ: قَدْ دَعَـوْتُ فَلَمْ يُسْتَجَبْ لِيْ: يَسْتَحْسِرُ عِنْدَ ذَلِكَ وَيَدَعُ الدُّعَاءَ.

 “Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud dengan merasa lelah tersebut?’ Beliau menjawab: “Pemohon mengucapkan: ‘Sungguh aku telah berdo`a, namun do`aku tidak pernah dikabulkan’, sehingga pada saat itu dia pun merasa lelah dan tidak mau do`a.” Wallahu A‘lam.

11. Larangan kepada orang-orang yang hatinya lalai dalam do`a.
Telah diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu \’anhu, bahwsanya Rasulullah shallallahu \’alaihi wasallam bersabda,

اُدْعُـوْا اللهَ وَأَنْتُمْ مُوْقِنُوْنَ بِاْلإِجَابَةِ، وَاعْـلَمُوْا أَنَّ اللهَ لاَ يَسْتَجِيْبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاَهٍ.

“Berdo`alah kalian kepada Allah ta’ala , sementara kalian meyakini terkabulnya do`a tersebut. Dan ketahuilah bahwasanya Allah ta’ala tidak akan mengabulkan do`a yang berasal dari hati yang lalai.” (HR. Tirmizi, 5/517; ath-Thabrani di dalam ‘Ad-Du’â’, 2/812; dan yang lainnya. Di dalam sanadnya terdapat catatan, dan kebanyakan cenderung mendha’ifkannya Akan tetapi, hadîts ini memiliki syâhid (penguat) dari hadîts Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash di dalam Musnad Imam Ahmad, 2/177).

12. Larangan mengabaikan pujian kepada Allah, serta shalawat dan salam kepada Rasulullah shallallahu \’alaihi wasallamsewaktu memulai do`a. Allah ta’ala telah membuka kitab-Nya (al-Qur’an) dengan pujian: “Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam….” (al-Fatihah: 1).

Telah diriwayatkan dari Fudhâlah bin ‘Ubaid radhiyallahu \’anhu berkata, “Rasulullah shallallahu \’alaihi wasallam pernah mendengar seseorang sedang berdo`a di dalam shalatnya, tapi tidak memuji Allah dan tidak bershalawat kepada Nabi shallallahu \’alaihi wasallam, lalu beliau berkata, ‘Orang ini sangat tergesa-gesa’, kemudian beliau memanggilnya, lalu bersabda kepadanya dan kepada orang selain dia:

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَبْدَأْ بِتَحْمِيْدِ اللهِ، وَالثَّنَاءِ، ثُمَّ يُصَلِّي عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يَدْعُوْ بِمَا شَاءَ.

“Jika salah seorang dari kalian shalat, maka hendaknya dia memulai dengan memuji Allah ta’ala, lalu bershalawat kepada Nabi shallallahu \’alaihi wasallam, lalu setelah itu, barulah dia berdo`a memohon apa yang ia kehendaki.” (HR. Abu daud, 2/162; hadîts ini akan dibahas di awal pembahasan tentang Dzikir pagi dan petang.

Allah ta’ala telah berfirman,

دَعْوَاهُمْ فِيهَا سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَتَحِيَّتُهُمْ فِيهَا سَلاَمٌ وَءَاخِرُ دَعْوَاهُمْ أَنِ الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

“Dan penutup do`a mereka ialah: “Alhamdulillahi Rabbil\’alamin.”(Yunus: 10)

12. Larangan mengganti lafazh do`a yang wârid (berasal dari Rasulullah shallallahu \’alaihi wasallam) dengan yang bukan wârid (tidak ada sumber riwayatnya). Telah diriwayatkan dari al-Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu \’anhu, dia berkata, Nabi shallallahu \’alaihi wasallam telah bersabda,

إِذَا أَتَيْتَ مَضْجَعَكَ فَتَوَضَّأْ وُضُوْءَكَ لِلصَّلاَةِ، ثُمَّ اضْطَجِعْ عَلَى شَقِّكَ اْلأَيْمَنِ، ثُمَّ قُلْ: اللَّهُمَّ أَسْلَمْتُ نَفْسِيْ إِلَيْكَ، وَوَجَّهْتُ وَجْهِيْ إِلَيْكَ، وَفَوَّضْتُ أَمْرِيْ إِلَيْكَ، وَأَلْجَأْتُ ظَهْرِيْ إِلَيْكَ، رَغْبَةً وَرَهْبَةً إِلَيْكَ، لاَ مَلْجَأَ وَلاَ مَنْجَا مِنْكَ إِلاَّ إِلَيْكَ، اللَّهُمَّ آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِيْ أَنْزَلْتَ، وَبِنَبِيِّكَ اَّلذِيْ أَرْسَلْتَ، فَإِنْ مِتُّ مِنْ لَيْلَتِكَ فَأَنْتَ عَلَى اْلِفطْرَةِ، وَاجْعَلْهُنَّ آخِرَ مَا تَتَكَلَّمُ بِهِ.

“Jika engkau mau tidur, maka berwudhu’lah terlebih dulu dengan wudhu’ (yang biasa dilakukan) untuk shalat, lalu berbaringlah miring ke arah kanan, lalu bacalah do`a: (“Ya Allah, kuserahkan jiwa ragaku kepada-Mu, kuhadapkan mukaku kepada-Mu, kulimpahkan (semua) urusanku kepada-Mu, dan kusandarkan punggungku kepada-Mu, dengan berharap dan cemas kepada-Mu, tidak ada tempat berlindung dan mencari keselamatan dari-Mu selain hanya kepadaMu. Ya Allah, aku beriman kepada kitab-Mu yang telah Engkau turunkan, dan Nabi-Mu yang telah Engkau utus”). Jika engkau mati pada malammu ini, maka engkau berada pada fitrah (tauhid). Dan jadikanlah do`a ini sebagai akhir ucapan yang engkau katakan.” Bara’ bin ‘Azib berkata, Lalu aku selalu mengulang-ulanginya di hadapan Nabi shallallahu \’alaihi wasallam. Namun, ketika aku telah sampai pada bacaan: “Ya Allah, aku beriman kepada kitab-Mu yang telah Engkau turunkan”, tiba-tiba aku mengucapkan: ‘…dan rasul-Mu’, maka Nabi pun menegur: ‘Tidak, akan tetapi: ‘…dan Nabi-Mu yang telah Engkau utus’. (Muttafaq ‘Alaih).

[Sumber: Dinukil dari kitab Tashhîh ad-Du’â`, karya Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid, edisi bahasa Indonesia: Koreksi Doa dan Zikir, pent. Darul Haq Jakarta]