Oleh: Husnul Yaqin, Lc.
(Editor: Abdurrahman Nuryaman)

KHUTBAH PERTAMA :

إِنَّ الْحَمْدَ لله نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بالله مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ الله فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إلهَ إلا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

يَاأَيُّهاَ الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا الله حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ الله كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا الله وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا . يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَن يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

أَمَّا بَعْدُ: فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ الله وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه و سلم وَشَرَّ الْأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ، وَكُلَّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ. اللهم صَل عَلَى مُحَمدٍ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلمْ.

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah

Setelah kita mengucapkan kalimat tahmid dan tahlil sebagai bentuk sanjungan dan pujian kita kepada Allah, tiada kata dan ungkapan yang lebih patut kita sampaikan dalam majelis yang mulia ini melainkan wasiat takwa.

Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam telah memberikan kepada kita teladan dalam wasiat takwa ini. Di mana beliau telah berwasiat kepada para sahabat beliau untuk bertakwa. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi. Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

اِتَّقِ الله حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ.

“Bertakwalah kepada Allah di mana pun kamu berada, ikutilah perbuatan yang buruk dengan perbuatan yang baik agar ia menghapuskannya, dan berakhlak baiklah kepada semua manusia.” (dihasankan al-Albani di Shahih Sunan at-Tirmidzi).

Hadits yang mulia ini, dengan sangat jelas memberikan penjelasan kepada kita bahwa ketakwaan itu tidak terbatas pada waktu dan tempat tertentu. Artinya, seorang Muslim harus bertakwa dimana pun dan kapan pun, dalam situasi dan kondisi apa pun. Takwa adalah pakaian seorang Mukmin sejati. Takwa adalah bekal paling baik bagi seorang hamba untuk menempuh perjalanan bertemu Allah, dan takwa adalah benteng diri yang paling kokoh untuk melindungi diri kita dari kemaksiatan dan penyimpangan. Hanya masalahnya, takwa tidaklah semudah diucapkan dengan lisan. Apa yang dipahami oleh para sahabat Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam dari kalimat yang agung ini, tidaklah sesederhana yang kita tangkap dengan pendengaran, tidak pula sebatas rutinitas yang sering kita dengar setiap kali seorang khatib memulai khutbahnya; mudah kita ucapkan, namun kita acapkali susah dalam mencernanya apalagi merealisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Takwa adalah sebagaimana yang diartikan oleh seorang sahabat :

اَلتَّقْوَى هُوَ: الْخَوْفُ بِالْجَلِيْلِ، وَالْعَمَلُ بِالتَّنْزِيْلِ، وَالرِّضَى بِالْقَلِيْلِ وَالْإِسْتِعْدَادُ بِيَوْمِ الرَّحِيْلِ.

“Takwa adalah perasaan takut kepada Yang Mahaagung, mengamalkan apa yang diturunkan dari Allah, merasa cukup dengan rizki yang sedikit dan mempersiapkan diri untuk menghadapi Hari Akhir.” Yaitu, hari yang digambarkan Allah sebagai :

يَوْمَ لاَيَنفَعُ مَالٌ وَلاَبَنُونَ إِلاَّ مَنْ أَتَى اللهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ

“Hari di mana harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna. Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (Asy-Syu’ara`: 88 – 89).

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah

Sesungguhnya bagian manusia dari dunia ini adalah hanya sebatas umurnya. Apabila seseorang menabur benih dengan baik di dunia, maka ia akan memanen pahala yang melimpah di akhirat nanti. Orang yang melakukan transaksi yang menguntungkan adalah; dengan beriman kepada Allah dan RasulNya, kemudian berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa raganya, maka di akhirat ada Surga Adn yang menanti. Tapi apabila sebaliknya, umur yang ada hanya diisi dengan keburukan, kesia-siaan, menumpuk dosa, dan mengejar kesenangan nafsunya, maka sungguh, semua itu adalah kerugian yang nyata. Perhatikan Firman Allah Subhanahu Wata’ala :

وَالْعَصْرِ . إِنَّ الإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ . إِلاَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ .

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.” (Al-Ashr: 1-3).

Al-Imam asy-Syafi’i menafsiri ayat ini, “Kalau seandainya Allah tidak menurunkan hujjah atas hamba-hambaNya kecuali surat ini, niscaya surat ini cukup bagi mereka.”

Artinya, orang yang tidak beriman, tidak beramal shalih, tidak saling menasihati dengan kebenaran dan tidak saling menasihati dengan kesabaran, maka dia adalah tipe manusia yang paling merugi di akhirat. Dan sebaliknya, bagi orang yang beriman dan beramal shalih, adalah sebagaimana janji Allah di dalam ayat ini :

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَاكَانُوا يَعْمَلُونَ

“Barangsiapa yang beramal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dan dia (dalam keadaan) beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupn yang baik, dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An-Nahl: 97).

Jamaah Jum’at yang Dirahmati Allah

Ingat baik-baik, bahwa sekecil apa pun amal yang kita lakukan, pasti kita akan dapatkan balasannya. Tidak akan ada yang luput dari pengadilan Allah Subhanahu Wata’ala. Dan ingat pula bahwa kita semua pasti akan kembali kepada Allah, dan bahwa dunia ini penuh dengan tipu daya yang membuat kita lupa, Allah Subhanahu Wata’ala telah jauh-jauh hari memperingatkan hal ini. FirmanNya :

أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لاَتُرْجَعُونَ

“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami.” (Al-Mu`minun: 115).

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah

Karenanya, orang yang berakal adalah orang yang dapat menghitung amalan dirinya sebelum Allah Subhanahu Wata’ala menghitungnya. Dia merasa takut akan dosa-dosanya yang dapat menyebabkan kehancurannya. Karena ajal senantiasa mengintai kehidupan setiap orang, dan kematian selalu siap menyudahinya. Setiap yang bernyawa pasti akan mati. Kapan pun Allah menghendaki, maka tidak ada seorang pun yang dapat menundanya atau memajukannya, sekali pun sekejap. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman :

كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلاَّ مَتَاعُ الْغُرُورِ

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada Hari Kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (Ali Imran: 185).
Dan Allah Subhanahu Wata’ala juga berfirman :

لِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ إِذَا جَآءَ أَجَلُهُمْ فَلاَيَسْتَئْخِرُونَ سَاعَةً وَلاَيَسْتَقْدِمُونَ

“Tiap-tiap umat mempunyai ajal. Apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak (pula) mendahulukan(nya).” (Yunus: 49).

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah

Di akhir kehidupan kita, kita wajib meraih Khusnul Khatimah; yaitu dengan beramal shalih secara berkesinambungan dan bertaubat terus menerus dari dosa dan noda. Sebesar apa pun dosa yang dilakukan seorang Muslim, pintu taubat tetap terbuka baginya, dan seorang Muslim tidak boleh berputus asa dari ampunan Allah Subhanahu Wata’ala. Akhir hidup seseorang, baik dan buruknya tidak ada seorang pun yang dapat mengetahuinya. Baik dan buruknya akhir hidup seseorang ditentukan oleh baik dan buruknya amalan di akhir hidupnya.

Barangkali ada titik yang menimbulkan pertanyaan dalam masalah ini; yaitu bagaimana menjembatani antara akhir hidup yang telah ditakdirkan Allah dengan kewajiban kita untuk berusaha meraih Husnul Khatimah.

Jawabannya adalah hadits Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam, di mana beliau telah bersabda :

مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا وَقَدْ كُتِبَ مَقْعَدُهُ مِنَ النَّارِ وَمَقْعَدُهُ مِنَ الْجَنَّةِ.

“Setiap seorang di antara kalian tangguh telah dituliskan tempatnya di neraka dan tempatnya di surga.”

قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ الله، أَفَلَا نَتَّكِلُ عَلَى كِتَابِنَا وَنَدَعُ الْعَمَلَ؟

“Mereka bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah tidak lebih baik kami bersandar saja kepada ketetapan kami itu dan meninggalkan beramal?”

قَالَ: اِعْمَلُوْا، فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ؛ أَمَّا مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ السَّعَادَةِ فَيُيَسَّرُ لِعَمَلِ أَهْلِ السَّعَادَةِ، وَأَمَّا مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الشَّقَاءِ فَيُيَسَّرُ لِعَمَلِ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ.

“Beliau menjawab, ‘Beramallah, karena sesungguhnya setiap orang dimudahkan kepada apa dia diciptakan, adapun orang yang termasuk dari golongan yang berbahagia, maka akan dimudahkan baginya kepada amalan orang-orang yang mendapatkan kebahagiaan, dan adapun orang yang termasuk dari golongan yang celaka, maka dia dimudahkan kepada amalan orang-orang yang celaka.”

Dan kemudian beliau membaca Firman Allah Subhanahu Wata’ala :

فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى . وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى . فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى . وَأَمَّا مَن بَخِلَ وَاسْتَغْنَى . وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى . فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى

“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya (jalan) yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.” (Al-Lail: 5-10). (Diriwayat-kan oleh al-Bukhari no. 4949; dan Muslim no. 2647).

Hadits di atas dengan jelas menunjukkan bahwa kebahagiaan dan kesengsaraan di akhir hayat seseorang telah Allah tentukan di dalam takdirnya, dan juga berdasarkan penutup amalnya; sehingga keduanya merupakan sebab secara bersamaan. Dan inilah yang disinyalir oleh sabda Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam :

وَإِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِيْمِ.

“Sesungguhnya amal perbuatan (ibadah) itu hanya berdasarkan (akhir) penutupnya.” (HR. al-Bukhari no. 6607).

Jamaah Jum’at yang Disayang Allah

Maka, barangsiapa yang telah mengikuti tuntunan Allah dan NabiNya, hendaklah senantiasa berusaha istiqamah dalam kebaikan, dengan harapan dia dapat meraih akhir hidup yang baik. Dan kalau pernah terlanjur berbuat dosa, maka bersegeralah untuk bertaubat. Seorang manusia tidak akan pernah tahu kapan akhir hayatnya tiba, dan karena itu dia harus berusaha dengan segenap usaha dan doa agar menutup lembaran hidupnya dengan kebaikan.

بَارَكَ الله لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ وَجَعَلَنَا اللهُ مِنَ الَّذِيْنَ يَسْتَمِعُوْنَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُوْنَ أَحْسَنَهُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هذا وَأَسْتَغْفِـرُ الله لِيْ وَلَكُمْ.

KHUTBAH KEDUA :

اَلْحَمْدُ لله الَّذِيْ أَرْسَلَ رَسُوْلَهُ بِالْهُدَى وَدِيْنِ الْحَـقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُوْنَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إله إِلاَّ الله وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ،
قَالَ الله تَعَالَى: يَاأَيُّهاَ الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا الله حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
اللهم صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ. أَمَّا بَعْدُ:

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah

Marilah kita menengok para salafus shalih, bagaimana mereka menyikapi akhir hayatnya, dengan harapan dapat menjadi peringatan dan pelajaran bagi kita.

Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah meriwayatkan dari Abu Nadhrah, “Bahwasanya seorang laki-laki dari sahabat Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam, dikenal dengan nama Abu Abdullah, dijenguk oleh sahabat-sahabatnya, dalam keadaan menangis. Mereka bertanya, ‘Apa yang membuatmu menangis? Bukankah Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda kepadamu :

خُذْ مِنْ شَارِبِكَ ثُمَّ أَقِرَّهُ حَتَّى تَلْقَانِيْ.

‘Ambillah sebagian dari minumanmu ini kemudian jadikanlah sebagai suguhan buat tamu(mu), sampai kamu bertemu denganku?’
Sahabat tersebut menjawab, “Benar, akan tetapi saya mendengar Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “

إِنَّ الله غزّ وجلّ قَبَضَ بِيَمِيْنِهِ قَبْضَةً وَأُخْرَى بِالْيَدِ الْأُخْرَى وَقَالَ هذه لهذه وهذه لهذه وَلَا أُبَالِيْ.

“Sesungguhnya Allah menggenggam satu genggaman dengan tangan kanannya dan satu genggaman lainnya dengan tanganNya yang lainnya, dan berfirman, ‘Yang ini adalah untuk yang ini (surga) dan yang ini adalah untuk yang ini (neraka) dan aku tidak peduli’. Dan aku tidak tahu ada di genggaman yang mana aku berada.” (HR. Ahmad, no. 17087).

Para salaf berkata; “Tidaklah mata ini menangis kecuali karena memikirkan takdir akhir hayat yang telah ditentukan oleh Allah Subhanahu Wata’ala.”

Suatu ketika Sufyan ast-Tsauri didapati gelisah dan resah karena memikirkan akhir hayatnya, bahkan dia meneteskan air mata seraya berkata, “Aku khawatir kalau aku termasuk orang yang sengsara di dalam kitab induk (catatan takdir Allah), dan aku takut Iman akan dicabut dariku ketika (menghadapi) kematian.” (Diri-wayatkan oleh Abu Nu’aim dalam al-Hilyah).

Diceritakan bahwa Malik bin Dinar selalu bangun malam sambil memegangi janggutnya dan berkata, “Ya Rabbi, sungguh Engkau telah mengetahui penduduk surga dari penduduk neraka, maka ada di mana Malik (bin Dinar) di antara keduanya?” (Diriwa-yatkan oleh Abu Nu’aim dalam al-Hilyah).

Demikianlah gambaran ketakwaan para salafus shalih, mereka selalu khawatir dan was-was terhadap akhir hayat dan kehidupannya, dan tentu saja kita berharap bisa mengambil pelajaran dari semua itu. Ingat baik-baik, bahwa kita semua pernah melakukan dosa, dan karenanya kita harus waspada akan akibat dari dosa-dosa kita. Jangan sampai sekian banyaknya peringatan Allah, berupa bencana, cobaan, gempa, tsunami, tanah longsor, banjir, angin puyuh, gunung meletus, tidak pernah membuat kita sadar akan akhir hidup kita. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman :

أَفَأَمِنُوا مَكْرَ اللهِ فَلاَيَأْمَنُ مَكْرَ اللهِ إِلاَّ الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ

“Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiadalah yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (Al-A’raf: 99).

Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata, “Sesungguhnya perbuatan dosa, maksiat, dan kecondongan kepada hawa nafsu, pengaruhnya akan mendominasi pelakunya ketika menjelang kematian dan setan akan menguatkannya, maka berkumpul padanya dua kekalahan dengan lemahnya keimanan, sehingga dia akan terjatuh pada akhir hidup yang tidak baik”.

Jamaah Jum’at Rahimakumullah

Kita memohon kepada Allah agar berkenan menutup hidup kita di dunia ini dengan baik, dan melimpahkan kepada kita rahmat dan ampunanNya.

إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

اللهم صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. اللهم بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
اللهم اغْـفِـرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْـفِـرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ، رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. اللهم إِنَّا نَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى. اللهم إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيْعِ سَخَطِكَ. وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. وَصَلى الله عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ.

( Dikutip dari buku : Kumpulan Khutbah Jum’at Pilihan Setahun Edisi Kedua, Darul Haq, Jakarta. Diposting oleh Wandy Hazar. S.Pd.I )