Berbagai Terminologi yang Berkaitan dengan Kompetensi

1. Dzimmah (Kehormatan Dasar)

Dzimmah (kehormatan dasar) secara bahasa kata dzimmah dalam bahasa Arab artinya adalah ‘ahd (perjanjian). Secara termi-nologis artinya adalah satu karakter pada diri seseorang yang menyebabkan dirinya berkemampuan untuk membebani atau terbenani hukum berdasarkan perjanjian yang terjadi antara Allah dengan para hambaNya ketika masih berada di punggung orang tuanya.

Kehormatan asasi ini juga yang menjadi barometer kom-petensi melaksanakan kewajiban sebagaimana telah dijelaskan sebe-lumnya. Hak ini sudah ada pada diri manusia semenjak ia masih berupa janin di perut ibunya hingga ia berjumpa dengan Allah.

2. Akal

Yakni karakter yang membuat seseorang berkompetensi memahami pembicaraan.

Perbedaan antara akal dengan kehormatan dasar adalah bahwa kehormatan dasar manusia hanya menjadikan dirinya berkemampuan membenani dan dibebani hukum. Sementara akal membuat manusia mampu memahami ucapan.

Kalau kehormatan dasar manusia saja sudah menciptakan kompetensi bagi dirinya untuk melaksanakan kewajiban, maka akal menjadi barometer kompetensi dalam menyempurnakan pelaksanaan kewajiban. Kompetensi ini memungkinkan dirinya untuk memahami ucapan. Itulah arti bahwa akal menjadi syarat dari kompetensi melaksanakan kewajiban. Sehingga terlaksa-nanya kewajiban itu amat tergantung kemampuan akal.

3. Taklif (pembebanan hukum)

Arti taklif secara bahasa adalah perintah melakukan hal yang berat. Secara terminologis dalam ilmu fiqih, artinya adalah pem-bebanan hal yang merupakan tugas. Bisa juga dikatakan, ucapan yang mengandung perintah dan larangan.

Barometer dari munculnya at-Taklif adalah kondisi akil dan baligh. Kalau seseorang sudah akil baligh, ia sudah berhak men-dapatkan beban taklif. Tidak dipersyaratkan ia harus mencapai masa baligh sempurna seperti halnya persyaratan dalam kom-petensi optimal dalam melaksanakan kewajiban. Barangsiapa yang sudah mimpi basah dan ia sudah memiliki dasar kemam-puan nalar yang bisa digunakan memahami ucapan, berarti ia sudah mencapai batas mendapatkan pembebanan hukum, meski-pun ia memiliki semacam kelainan mental atau kurang cakap menggunakan uang.

4. Al-Wilayah (Kekuasaan Syar’i)

Al-Wilayah adalah kekuasaan secara syar’i terhadap diri sendiri atau terhadap harta yang membawa konsekuensi terlaksa-nanya aktivitas sesuai ketentuan syariat pula. Syarat adanya ke-kuasaan ini tidak diragukan lagi adalah kompetensi menjalankan kewajiban.

Perbedaan antara kompetensi sendiri dengan kekuasaan syar’i adalah bahwa kompetensi tersebut lebih terorientasikan kepada kelayakan secara khusus, yang dengan kelayakan itu sega-la perjanjian dan aktivitas bisa dilaksanakan. Sementara al-Wilayah atau kekuasaan syar’i itu sendiri yang memungkinkan orang yang berakad menjalankan perjanjiannya, serta menetapkan segala konsekuensi dari perjanjian tersebut.

Faktor munculnya kekuasaan syar’i itu sendiri ada tiga:

Pertama: Dasar landasan. Yakni bahwa secara mendasar ia memang orang yang berhak melakukan perjanjian tersebut, ia adalah pemilik perjanjian. Itu terjadi karena adanya kompetensi optimal dalam menjalankan kewajiban, sehingga ia bisa mengi-katkan diri pada perjanjian tersebut.

Kedua: Kekuasaan syar’i terhadap orang lain. Seperti kekuasaan seorang ayah atau kakek terhadap anak atau cucunya yang masih kecil atau kurang nalarnya. Atau kekuasaan orang yang diwasiati oleh bapak atau kakek terhadap anak asuhannya, atau kekuasaan seorang hakim terhadap mereka semua.

Ketiga: Surat kuasa dari pihak yang berhak.

Kalau ketiga hal ini tidak ada, maka hilanglah kekuasaan syar’i tersebut, sehingga yang kita hadapi adalah sebuah aktivitas (fudhuli) tak berarti. Aktivitas fudhuli adalah segala aktivitas yang sebenarnya syar’i akan tetapi tidak memiliki landasan kekuasaan syar’i yang mendukungnya. Seperti orang yang menjual barang yang bukan miliknya, tanpa ada surat kuasa atau izin resmi dari pemiliknya. Asal hukum dari aktivitas fudhuli semacam itu adalah tergantung pada izin resmi dari orang yang memiliki kekuasaan.