Setiap orang yang menikah tentu berharap keluarga yang dibangunnya menjadi keluarga yang sarat dengan sakinah, mawaddah wa rahmah, yang di dalamnya dibangun komitmen untuk menyatukan jiwa dan raga berikut buntut-buntutnya, mensyukuri kelebihan pasangan dan menerima kekurangannya, dan selanjutnya mengaplikasikan diri dalam status dan peran termasuk tanggung jawab dalam keluarga.

Namun harus tetap dimengerti bahwa pernikahan merupakan penggabungan antara dua manusia dengan berbagai sisi perbedaannya, perbedaan latar belakang keluarga dan pendidikan, perbedaan tingkat ilmu dan pemikiran, perbedaan tabiat dan pembawaan dan perbedaan-perbedaan yang lain. Tetapi subhanallah semuanya bisa terakomodir lewat ankahtuka dan qabiltu.

Bila seorang suami atau istri menyadari dirinya berbeda dengan pasangannya, maka dia tidak akan terkejut bila saat rumah tangga berjalan muncul bukti-bukti perbedaan itu melalui konflik-konflik internal dan kesalahpahaman di antara keduanya, karena sebelumnya sudah menyadari, di tambah dengan niat kuat, plus kesiapan mental, tanggung jawab dan kedewasaan maka apa pun konflik yang terjadi akan bisa dilalui dengan happy ending.

Tidak sedikit rumah tangga yang berakhir alias bubar di tengah jalan, masing-masing pasangan memilih untuk mengambil jalan sendiri, banyak alasan yang mendasari diambil keputusan bubar ini, salah satu yang sering saya dengar adalah ketidakcocokan yang selanjutnya menelorkan konflik yang berkepanjangan dan akhirnya sad ending diambil sebagai pilihan.

Sebenarnya apa pun konflik yang timbul akibat ketidakcocokan di antara suami dan istri, selama perkaranya tidak menyerempet sisi syariat dalam bentuk penyimpangan terhadap hukum-hukum Allah, tetap bisa dibicarakan dan dinegoisasikan, tergantung kepada niat dan semangat kedua belah pihak untuk tetap melanjutkan dan tidak membubarkan diri, kembali kepada keinginan kedua pasangan untuk melakukan islah terhadap sisi-sisi yang memang harus diperbaiki.

Masalahnya, tidak jarang dalam konflik rumah tangga yang dipicu ketidakcocokan, salah satu atau kedua belah pihak menyudutkan yang lain melalui kata-kata langsung atau melalu bahasa tubuh atau keyakinan dalam hati bahwa, “Kau yang memulai.” Ini artinya kaulah biang keroknya, sumber problem, maka kaulah yang harus meminta maaf kepadaku, andai kata pihak yang disalahkan itu memang patut disalahkan dan menyadari lalu meminta maaf maka itu yang diharapkan, konflik akan berakhir damai.

Namun yang terjadi tidak demikian, yang dituding dengan ‘kaulah yang memulai’ tidak terima dituding demikian, maka dia pun berbalik melemparkan tudingan yang sama kepada pasangannya, hasilnya tidak perlu ditebak karena sudah diketahui, benang yang ruwet tambah ruwet, tidak diketahui mana ujung mana pangkalnya.

Memadamkan konflik tidak berbeda dengan memadamkan api, mencari sumbernya dan mengguyurnya dengan air yang cukup, padam deh. Cuma kalau urusannya dengan api yang kecil, perkaranya mudah. Beda dengan api yang sudah membesar yang hampir melahap rumah dan akan menghancurkannya, yaitu api konflik antara suami dan istri yang semakin dipertajam, susah untuk dipadamkan, tetapi walaupun susah bukan berarti tidak bisa kan?

Dalam mencari sumber konflik, suami istri sering terjebak kepada, “Kau yang memulai.” Padahal ia bukan solusi akurat, ya kalau memang dia yang memulai, bila tidak maka akan memicu masalah dan konflik baru. Akan lebih bijak bila kata-kata itu diarahkan dulu kepada diri sendiri, “Akulah yang memulai.” Karena dengan demikian akan muncul inisiatif untuk mengakhiri, kan ada kata-kata, “Kau yang mulai, kau yang mengakhiri.” Kalau sudah sudah demikian maka insya Allah konflik akan usai dan usai pula tulisan ini. Wallahu a’lam.