Hukum Sutrah

Maryoritas ulama’ berpendapat disukainya sutrah sebagai pembatas antara seseorang yang sedang mendirikan shalat dengan kiblat, hanya mereka berbeda pendapat dalam hal apakah hukumnya wajib atau tidak? Dan apakah sutrah dengan menggunakan garis telah mencukupi?

Berkaitan dengan permasalahan ini, para ulama’ berbeda pendapat. Sebagaian di antara mereka mengatakan hukum sutrah adalah wajib dan sebagaian yang lainnya mengatakan sunnah.

Dari kalangan ulama’ yang mengatakan wajib, mereka beralasan dengan beberapa hadits, di antaranya:

  • Hadits yang diriwayatkan oleh Sa’id al-Khudriy, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika salah seorang di antara kamu mendirikan shalat, maka hendaklah ia shalat ke arah sutrah dan mendekatinya, dan jangan membiarkan seseorang lewat di antara keduanya. Maka jika seseorang datang dan lewat (di antara keduanya) maka cegahlah (dengan tangan)dan tahanlah dia dengan keras karena dia adalah(amalan)syaithan .” (HR. Ibnu Abi Syaibah, 1/279; Abu Dawud, 1/111; Ibnu Majah, 1/307 dan selain mereka) dan Dalam riwayat yang lain beliau bersabda: “Maka sesungguhnya syaithan lewat di antara dia dan sutrah.”
  • Hadits riwayat Ibnu ‘Umar, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kalian shalat kecuali menghadap ke sutrah dan jangalah kalian biarkan seseorang lewat didepanmu, maka jika ia enggan maka cegahlan (dengan tangan) dan tahanlah dengan keras karena sesungguhnya dia bersama al-qarin (jin yang menyertai dia).” (HR. Ibnu Khuazaimah, 2/9 dan Muslim, 2/268 dan selain keduanya).
  • Hadits riwayat Sahl bin Abi Hutsmah, dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam,beliau bersabda: “Jika salah seorang di antara kalian shalat menghadap sutrah, maka hendaklah ia mendekat sehingga syaithan tidak dapat memutus shalatnya.” (HR. Ibnu Abi Syaibah, 1/279; Ahmad, 4/2; Abu Dawud, 1/111 dan selain mereka)
  • Hadits riwayat Abdullah bin Mughaffal dan selainnya bahwa Rasulullah Shallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Yang membatalkan shalat adalah anjing hitam, keledai dan wanita haid(dewasa).” (HR. Ahmad, 4/76; Ibnu Majah, 1/306)
  • Atsar dari para shahabat, di antaranya Ibnu Umar, Qurrah bin Iyas, Ibnu Sirin, Ibnu Mas’ud dan juga atsar dari Tabi’in di antaranya Abu Ishaq telah menunjukkan disyari’atkannya permasalahan ini.

    Dari hadits dan atsar di atas, telah jelas menunjukkan diwajibkannya permasalahan ini. Karena pada dasarnya setiap lafadz perintah dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengandung pengertian wajib, kecuali ada isyarat yang dapat memalingkan kepada hukum yang lain (sunnah) sementara tidak ada satupun isyarat yang menunjukkan demikian, bahkan para Shahabat-pun telah mengamalkan demikian dan mereka jelas-jelas tidak menyelisihinya.
    Allah Subhanaahu wa Ta’ala berfirman,
    Artinya: Dan aku tidak berkehendak mengerjakan apa yang aku larang kamu daripadanya (QS. Huud: 88)

Adapun Dari kalangan ulama’ yang mengatakan sunnah, mereka beralasan dengan hadits riwayat Ibnu Abbas, dia berkata: “(Rasulullah) shalat bersama manusia (Shahabat) di Mina dan menghadap ke selain dinding, lalu aku berjalan di antara sebagaian shaf….”(HR. al-Bukhari, 1/181; 8/109; Ahmad, 1/243; Abu Dawud, 1/113 dan selain mereka)

Dan hadits ini secara tersirat dapat difahami bahwa beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallam shalat tidak menghadap ke sutrah.

Namun demikian pada hakekatnya hadits ini tidak dapat dijadikan hujjah tentang disunnahkannya sutrah, karena beberapa alasan:

  • Tidak ada alasan bagi mereka yang mengunakan dalil ini bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam shalat dengan tidak memakai sutrah, karena para perawi hadits berselisih pendapat apakah kejadian tersebut terjadi di Mina atau di ‘Arafah. Namun pendapat yang kuat adalah yang mengatakan bahwa ini terjadi di ‘Arafah sebagaimana riwayat Ibnu Abbas dari jalan yang lain, dia berkata: “Aku menancapkan al-‘Anazah (sejenis tongkat/tombak) di depan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika di ‘Arafah dan beliau shalat ke arahnya….” (HR. Ahmad, 1/243; Ibnu Khuzaimah, 2/26; dan ath-Thabraniy, 11/243).
  • Bahwa kalimat “menghadap ke selain dinding” sebagaimana yang termaktub di dalam hadits secara bahasa tidaklah mengandung makna tongkat, tombak, onta, tunggangan, atau batu dan selainnya yang dapat menutupi orang shalat secara muthlak, oleh karena itu al-Bukhari menyantumkan hadits dengan lafadz tersebut pada bab “Sutrah imam adalah sutrah bagi siapa saja yang berdiri dibelakangnya” untuk menjelaskan kebisaan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yaitu menancapkan sejenis tombak/tongkat dan selainnya. Sebagaimana yang diisyaratkan oleh al-Hafidz di dalam kitabnya al-Fath al-Bari. Dan berkata Ibnu Turkuman, “Bahwa penyebutan tidak adanya dinding tidaklah selalu berkonotasi tidak adanya sutrah.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perintah menggunakan sutrah bagi orang yang mendirikan shalat mengandung makna wajib berdasarkan hadits Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan atsar para Shahabat dan Tabi’in.