Di minggu ini ada satu hari yang dinobatkan oleh sebagian kalangan sebagai hari ibu, untuk mengenang dan menghargai jasa mulia ibu, begitu mereka menyodorkan alasan, dengan menetapkan satu hari sebagai hari peringatan, sebagian dari mereka beranggapan telah menghargai jasa baik ibu. Cukupkah jasa mulia ibu hanya dihargai dengan menetapkan satu hari peringatan sebagai hari ibu? Sama sekali tidak, menetapkan hari peringatan untuk sesuatu biasanya dilakukan oleh orang-orang yang lalai dan tidak ambil peduli, di selain hari tersebut mereka bodoh amat. Nah, agar mereka tidak terus menerus lalai dan masa bodoh, maka dibuatlah hari peringatan supaya ingat. Inilah salah satu pertimbangan mengapa dalam Islam tidak ada hari peringatan, karena ia mengindikasikan kelalaian dan bahwa pelakunya hanya ingat di hari itu saja.

Di dunia ini tidak ada agama yang mengungguli Islam di bidang penghargaan dan penghormatan kepada ibu, Islam tidak memandang perlu menetapkan hari untuk ibu, karena ia memang tidak menghilangkan lapar dan haus, sebaliknya Islam memberikan hak besar untuk ibu dengan mengakui jasa-jasa besarnya, “Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun.” (Luqman: 14). “Ibunya mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan.” (Al-Ahqaf: 15). “Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.” (Al-Baqarah: 233).

Islam mengharuskan anak untuk berbakti kepadanya sepanjang hayat bahkan setelah wafat, tidak hanya di hari-hari tertentu saja seperti yang berlaku pada sebagian kalangan. Islam menetapkan haknya setelah hak Allah, “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya, ‘Ah.’ Dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah, ‘Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidiku waktu kecil.” (Al-Isra`: 23-24).

Bahkan berbakti kepada ibu tidak terbatas dalam kehidupan dunia ini, lebih dari itu, setelah wafat pun masih terbuka peluang untuk itu dan masih diperintahkan. Seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Rasulullah, masih adakah sesuatu yang bisa aku lakukan dalam rangka aku berbakti kepada bapak ibuku?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Ya, mendoakan keduanya, memohon ampun untuk keduanya, melaksanakan pesan keduanya dan menjalin silaturrahim yang tidak dijalin kecuali dengan keduanya dan memuliakan kawan-kawan keduanya.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud.

Bahkan di saat anak diajak untuk mempersekutukan Allah, anak diperintahkan untuk tidak menuruti ajakan tersebut, namun harus tetap memperlakukannya dengan baik, “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (Luqman: 15).

Perbedaan agama bukan penghalang bagi anak untuk berbuat baik kepada ibu. Asma` berkata, ibuku yang masih musyrik datang kepadaku, dia meminta sesuatu, maka aku menyampaikan hal ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, aku berkata, “Rasulullah, ibuku datang meminta sesuatu, apakah aku memberinya?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Ya, berikan apa yang dia minta.” Muttafaq alaihi.

Seorang hamba bisa ditimpa ujian di dunia manakala dia tidak menghiraukan panggilan ibunya, sebagaimana yang terjadi pada Juraij, seorang ahli ibadah. Dalam hadits Abu Hurairah yang muttafaq alaihi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa Juraij adalah seorang ahli ibadah, dia memiliki tempat ibadah khusus, suatu hari ibunya datang saat Juraij sedang shalat, ibunya memanggil, “Wahai Juraij.” Juraij berkata, “Ya Rabbi, ibuku atau shalatku.” Lalu dia meneruskan shalatnya. Hal tersebut terulang tiga kali, maka ibunya berkata, “Ya Allah, jangan matikan dia sebelum dia melihat ke wajah wanita pelacur.”

Lalu Bani Israil membicarakan Juraij dan ibadahnya, di antara mereka ada seorang wanita pelacur yang cantik, dia berkata, “Bila kalian mau, aku akan menggodanya.” Maka wanita tersebut mulai menggoda Juraij, namun Juraij tidak menengok kepadanya, lalu wanita tersebut mendatangi seorang pengembala dan terjadilah perbuatan haram di antara mereka berdua. Wanita tersebut hamil dari hubungan haram tersebut, manakala dia melahirkan, dia berkata, “Ini adalah perbuatan Juraij.”

Orang-orang mendatangi Juraij dan memintanya keluar dari tempat ibadahnya dan selanjutnya mereka memukulinya, Juraij bertanya, “Ada apa ini?” Mereka menjawab, “Kamu telah berzina dengan wanita pelacur itu dan dia melahirkan anakmu.” Juraij bertanya, “Di mana anak itu?” Orang-orang membawanya, Juraij berkata, “Biarkan aku shalat.” Lalu dia shalat, selesai shalat Juraij mendekati anak itu dan menusuk perutnya sambil bertanya, “Wahai bocah, siapa bapakmu?” Bayi itu menjawab, “Fulan si pengembala.”

Maka orang-orang mengelu-elukan Juraij dan menciuminya, mereka berkata, “Kami akan membangun tempat ibadahmu dari emas.” Juraij menjawab, “Tidak, akan tetapi dari tanah liat sebagaimana sebelumnya.”

Perhatian Islam kepada ibu sedemikian tinggi, sehingga saat seorang laki-laki berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Rasulullah, siapa orang yang paling berhak untuk mendapatkan perlakuan baikku?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Ibumu.” Dia bertanya, “Kemudian siapa?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Ibumu.” Dia bertanya, ‘Kemudian siapa?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Ibumu.” Dia bertanya, “Kemudian siapa?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Bapakmu.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari. Wallahu a’lam.