Batasan Sutrah

Berkenaan dengan batasan sutrah, maka ada dua hal yang seharusnya mendapat perhatian, yaitu:

1. Batasan orang yang shalat dengan sutrah

Telah ada penjelasan sebelumnya, bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan terhadap orang yang mendirikan shalat agar mendekat terhadap sutrah sebagaimana termaktub di dalam beberapa hadits, dan salah satunya telah kami nukilkan sebelumnya.

Adapun batas terpanjang antara orang yang shalat dengan sutrah sebagaimana yang termaktub di dalam riwayat-riwayat yang ada menyatakan tiga dhira’ (tiga hasta) dan yang terpendek adalah dapat dilewati oleh seekor kambing. Sebagaimana atsar yang datang dari Sahl bin Sa’d, ia berkata: “Jarak anatara tempat Nabi shalat dan dinding adalah dapat dilewati oleh seekor kambing” (HR. al-Bukhari, 1/574 dan Muslim, 4/225) Dan di dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa jarak tempat nabi dan kiblat adalah sebatas dapat dilewati seekor kambing.” (HR. Abu Dawud, 1/111)

Al-Imam an-Nawawiy berkata: Ulama’ dari kalangan kami telah menyatakan bahwa seyogyanya seorang yang sedang shalat mendekatkan dirinya ke arah sutrah dan tidak lebih dari tiga dhira’ (tiga hasta) (Lihat, Syarah Muslim, 4/217) atau sebatas dapat digunakan sujud sebagaimana yang dikatakan oleh al-Imam al-Baghawiy, asy-Syafi’i dan Ahmad (Lihat, Syarh as-Sunnah, 2/447).

2. Batasan tinggi sutrah

Dalam masalah ini para ulama’ berselisih menjadi dua pendapat:
Pertama: Sebagaian ulama’ mengatakan bahwa batas minimal tinggi sutra adalah sehasta, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam beberapa haditsnya, di antaranya:

  • Hadits riwayat Thalhah, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabila salah seorang di antara kamu meletakkan di antara dia (sesuatu) setinggi pelana onta, maka hendaklah dia shalat dan jangan menghiraukan siapapun yang lewat di belakangnya (sutrah).” (HR. Muslim, 4/216, 217)
  • Hadits riwayat ‘Aisyah, dia berkata: “Rasulullah pernah ditanya ketika perang Tabuk tentang sutrah orang shalat, maka beliau menjawab: seperti tinggi pelana onta.” (HR. Muslim, 4/216, 217).
  • Hadits riwayat Abu Dzar, dia berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “ Apabila salah seorang di antara kamu shalat, maka akan tertutupi jika di antara dia seperti pelana onta. Dan jika di antara dia seperti itu, maka keledei, wanita dewasa, dan anjing hitam dapat memutuskan (membatalkan) shalatnya.” (HR. Muslim, 4/216, 217).

    Maka hadits di atas menunjukkan bahwa batas minimal tinggi sutrah yang dapat menutupi orang shalat dan menjaganya dari orang yang lewat adalah seperti tingginya pelana onta, yaitu sehasta dan dalam bentuk apa saja sebagaimana yang dikatakan oleh Qatadah, ‘Atha’, Ibnu Juraid (Lihat, HR. Abdur Razaq, 2/9; Abu Dawud, 1/109; dan Ibnu Khizaimah, 2/11) dan tidaklah cukup baginya apabila kurang dari yang demikian kecuali dalam situasi yang tidak memungkinkan.

Kedua:Sebagian ulama’ mengatakan tidak ada batasan tinggi dalam sutrah, artinya apa saja dapat dijadikan sebagai sutrah meskipun dalam bentuk garis. Hal ini didasarkan atas riwayat Abu Hurairah dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Jika salah seorang di antara kalian shalat, maka jadikanlah tempat wajahnya (dalam sujud) sesuatu (sebagai sutrah). Jika tidak ada hendaklah dia menancapkan tongkat, jika tidak ada maka hendaklah dia membuat garis sehingga tidak tidak ada sesuatupun yang lewat dapat mengganggunya.” (HR. Ahmad, dalam Fath ar-Rabbaniy: 3/127; Abu Dawud, 1/`27; Ibnu Majah, 1/303)

Namun demikian hadits ini tidak dapat digunakan sebagai hujjah (dalil) dalam masalah ini, dikarenakan beberapa hal:

  • Bahwa hadits di atas berbicara tentang seseorang yang tidak mendapat sutrah sebagaimana mestinya, maka dengan demikian tidak dapat dijadikan alasan kecuali dengan syarat tersebut.
  • Dari sisi sanad, hadits ini mudhtharib (guncang), karena dalam riwayat ini kadangkalanya perawinya mengatakan hadits ini diriwayatkan dari Abi Amr bin Harits dari bapaknya dari Abu Hurairah dan kadangkalanga mengatakan hadits ini diriwayatkan dari Abi Amr bin Muhammad bin harits dari bapaknya dari Abu Hurairah dan kadangkalanya mengatakan hadits ini diriwayatkan dari Harits bin Amar dari Abu Hurairah dan lain-lain. (Lihat, Muqaddimah Ibnu Shalah, hal. 85; Talkhish al-Habir, 1/286 dan an-Naktun ‘ala Ibnu Shalah, 2/772).

Dari argumentasi-argumentasi di atas jelaslah bagi kita bahwa pendapat yang kuat adalah yang mengatakan bahwa batasan tinggi minimal sutrah adalah sehasta, artinya dalam kondisi memungkinkan untuk mendapatkan sutrah setinggi tersebut maka tidak dibenarkan mencukupkan dengan garis atau sesuatu yang tingginya kurang dari sehasta kecuali dalam kondisi terpaksa. Yang jelas bagi setiap orang tidak diperkenankan shalat kecuali dengan menggunakan sutrah dalam kondisi apapun dan dalam bentuk apapun.