Ketahuilah bahwa qunut pada shalat Shubuh adalah sunnah berdasarkan hadits shahih padanya dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa berqunut Shubuh sampai akhir hayat. (Munkar : Diriwayatkan oleh Abdur Razzaq no. 4964; Ibnu Abi Syaibah no. 7002; Ahmad 3/162; at-Thahawi dalam al-Ma’ani 1/244; ad-Daruquthni 2/39; al-Hakim dalam al-Arbai’n; al-Baihaqi 2/201; al-Baghawi no. 639: dari beberapa jalan, dari Abu Ja’far ar-Razi, dari ar-Rabi’ bin Anas, dari Anas dengan hadits tersebut.

Abu Ja’far adalah rawi jujur akan tetapi hafalannya buruk, rawi sepertinya hanya layak pada hadits syahid. Jika tidak, maka haditsnya dhaif. Hadits ini mempunyai syawahid yang disebutkan oleh ad-Daruquthni dan al-Baihaqi, akan tetapi semuanya sangat lemah sekali tidak layak untuk diperhatikan, kemudian ia bertentangan dengan riwayat Anas yang shahih bahwa Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam tidak berqunut, kecuali apabila beliau berdoa untuk kebaikan atau kebinasaan suatu kaum. Hadits ini didhaifkan oleh Ibnul Jauzi, Ibnu Taimiyah, Ibnu at-Turkumani, Ibnul Qayim dan al-Albani dan az-Zaila’i cenderung kepadanya. Al-Asqalani berkata, “Hujjah tidak tegak dengan hadits seperti ini.” Aku tidak ingin panjang lebar. Siapa yang menginginkan keterangan lebih luas silakan membaca Zad al-Ma’ad 1/271 dan adh-Dha`ifah no. 1238). Diriwayatkan oleh al-Hakim Abu Abdullah di kitab al-Arbain, dia berkata, “Hadits shahih.”

Ketahuilah bahwa qunut Shubuh menurut kami adalah disyariatkan, ia merupakan sunnah muakkad. Seandainya seseorang meninggalkannya maka shalatnya tidak batal akan tetapi dia harus melakukan sujud sahwi, baik dia meninggalkannya dengan sengaja atau karena lupa. (Saya berkata, “Telah jelas bagimu bahwa hadits yang mereka jadikan sebagai pijakan dalam mensyariatkan qunut Shubuh adalah dhaif dan munkar. Jadi ia tidak dianjurkan, bahwa melakukannya secara terus menerus adalah sesuatu yang dibuat-buat dan itu perbuatan yang dibenci. Seandainya kita menerima bahwa hadits tersebut adalah shahih tidak berillat, maka mana dalil yang menunjukkan bahwa qunutnya dengan اللهُمَّ اهْدِنِي فِيْمَنْ هَدَيْتَ… إلخ ? Seandainya kita menerima bahwa dalil qunut dengan doa tersebut adalah shahih, lalu mana dalil yang menunjukkan bahwa meninggalkannya mengharuskan sujud sahwi? Ini adalah tiga mukadimah yang tidak mampu mereka dukung dengan dalil).

Adapun shalat lima waktu selain Shubuh, apakah terdapat qunut padanya? Terdapat tiga pendapat dari asy-Syafi’i, yang paling shahih lagi masyhur adalah bahwa apabila kaum Muslimin ditimpa musibah, maka mereka berqunut untuk itu di semua shalat. Jika tidak, maka tidak. Kedua, mereka berqunut secara mutlak, dan ketiga, tidak qunut secara mutlak. (Imam Rabbani Syaikhul Islam yang kedua Ibnul Qayyim berkata dalam Zad al-Ma’ad 1/272, “Sikap obyektif yang disetujui oleh seorang ulama yang obyektif adalah bahwa Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan basmalah dengan keras (jahr) dan dengan pelan (sirr), beliau juga kadang berqunut dan kadang meninggalkannya. Membaca basmalah dengan pelan (sirr) lebih sering beliau lakukan daripada membacanya dengan keras (jahr), meninggalkan qunut lebih sering beliau lakukan daripada melakukannya, karena beliau hanya berqunut pada saat-saat penting untuk mendoakan kebaikan suatu kaum atau untuk kebinasaan suatu kaum yang lain, kemudian Nabi meninggalkan qunut manakala orang-orang yang beliau doakan itu terbebas dari tahanan musuh dan mereka hadir kepada beliau atau orang-orang yang beliau doakan telah masuk Islam dan datang kepada beliau dengan taubat. Qunut Nabi dilakukan karena alasan, begitu alasan tersebut lenyap, maka beliau meninggalkan qunut dan beliau tidak mengkhususkan qunut dengan shalat Shubuh saja, akan tetapi beliau bequnut pada shalat Shubuh dan Maghrib… Ahli hadits adalah orang-orang yang bersikap pertengahan di antara orang-orang yang tidak menyukai qunut secara mutlak dengan orang-orang yang menganjurkannya pada saat musibah dan lainnya. Mereka lebih berbahagia dengan mengamalkan hadits daripada kedua kelompok tersebut, mereka berqunut di mana Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam berqunut dan mereka meninggalkannya di mana beliau meninggalkannya, mereka meneladani beliau pada perbuatannya, baik yang aktif maupun yang pasif. Mereka berkata, “Perbuatan aktifnya adalah sunnah dan pasifnya juga sunnah.” Aku berkata, “Akan tetapi harus ditegaskan bahwa qunut ini hanya untuk berdoa guna (kebaikan) kaum Muslimin atau (kebinasaan) atas musuh mereka bukan dengan doa qunut yang masyhur اللهُمَّ اهْدِنِي فِيْمَنْ هَدَيْتَ… إلخ karena doa ini adalah qunut witir. Wallahu a’lam). Wallahu a’lam.

Menurut kami, dianjurkan qunut pada pertengahan kedua dari bulan Ramadhan pada rakaat terakhir shalat witir. Kami juga mempunyai pendapat di kalangan teman-teman bahwa qunut dilakukan padanya di seluruh bulan Ramadhan dan pendapat ketiga, setiap waktu dalam setahun; dan yang terakhir ini adalah madzhab Abu Hanifah. Yang terkenal dari madzhab kami adalah yang pertama. (Ini sama dengan sebelumnya, dianjurkan melakukannya pada satu waktu dan meninggalkannya pada waktu yang lain untuk mengikuti sunnah perbuatan aktif dan pasif dan doanya adalah doa yang masyhur اللهُمَّ اهْدِنِي فِيْمَنْ هَدَيْتَ… Kemudian ia dianjurkan di setiap waktu dalam satu tahun dan pengkhususannya dengan setengah yang kedua bulan Ramadhan tidaklah berdasar, karena dalil tentang itu adalah dhaif di samping mauquf). Wallahu a’lam. Bersambung……!!!

Sumber: Ensiklopedia Dziikir Dan Do’a, Imam Nawawi, Pustaka Sahifa Jakarta. Disadur oleh Wandy Hazar S.Pd.I.