Mukadimah

Madzhab fikih merupakan upaya ijtihad dalam masalah-masalah furu’ (cabang) syariat Islam yang berguna membantu menyelesaikan persoalan-persoalan amaliah dengan singkat dan mudah.

Madzhab fikih tumbuh untuk memenuhi hajat kaum muslimin yang mendesak kepada ilmu tentang hukum-hukum agama dan menerapkan hukum-hukum tersebut terhadap masalah-masalah baru. Kebutuhan kepada fikih ini selalu tegak di setiap masa dan tempat untuk menata hubungan soaial masyarakat melalui pengetahuan tentang hak dan kewajiban individu di dalamnya secara syar’i, penjelasan tentang kemaslahatan yang baku maupun kondisional dan menanggulangi mudharat yang baku maupun insidentil.

Madzhab fikih merupakan buah ijtihad di mana masalah-masalah baru yang tidak mengenal kata henti menuntut keberadaannya yang tidak terjangkau secara langsung oleh dalil-dalil yang berbatas, maka keberadaan madzhab fikih adalah demi mengadakan solusi syar’i terhadap masalah baru.

Madzhab-madzhab fikih tumbuh dari pusat ilmu Islam yaitu Madinah Nabawiyah pada zaman sahabat dan sahabat Nabi saw yang paling terkenal sebagai sumber hukum adalah tujuh orang, mereka adalah Umar, Ali, Ibnu Mas’ud, Aisyah, Zaid bin Tsabit, Ibnu Umar dan Ibnu Abbas.

Dari Madinah fatwa-fatwa mereka menyebar sehingga madrasah-madrasah fikih tumbuh di berbagai kota, ilmunya bersumber kepada tujuh sahabat tersebut, ilmu ulama-ulama Madinah berpijak kepada Ibnu Umar, Zaid dan rekan-rekan keduanya, ilmu ulama-ulama Makkah berasal dari Ibnu Abbas, sementara ulama-ulama Irak dari Ibnu Mas’ud yang diutus oleh Umar sebagai guru bagi orang-orang di sana, di antara murid-murid Ibnu Mas’ud adalah Alqamah bin Mas’ud, Ibrahim an-Nakha’i, syaikh Hammad bin Sulaiman, syaikh Imam Abu Hanifah.

Demikianlah Imam Abu Hanifah mewarisi ilmu Ibnu Mas’ud, sementara Imam Malik mewarisi ilmu para sahabat yang menetap di Madinah. Asy-Syafi’i sendiri mengambil dari Malik, dia mendengar al-Muwattha` darinya dan setelahnya dia berkawan dengan Muhammad bin al-Hasan, murid Imam Abu Hanifah. Imam Ahmad mengambil hadits dan fikih dari asy-Syafi’i lalu bekeliling kota-kota besar dan meriwayatkan dari para ulama-ulamanya.

Dari awal abad kedua hijriyah sampai pertengahan abad keempat hijriyah, ini merupakan masa emas ijtihad, di alam Islami muncul tiga belas mujtahid, ijtihad-ijtihad mereka ditulis dan pendapat-pendapat mereka diikuti, mereka adalah Sufyan bin Uyainah di Makkah, Malik bin Anas di Madinah, al-Hasan al-Bashri di Bashrah, Abu Hanifah dan Sufyan ats-Tsauri di Kufah, al-Auza’i di Syam, asy-Syafi’i dan al-Laits bin Saad di Mesir, Dawud azh-Zhahiri, Ibnu Jarir, Abu Tsaur dan Ahmad di Baghdad dan Ishaq bin Rhawaih di Naisabur. Namun kebanyakan dari madzhab-madzhab ini hanya tersisa dalam perut-perut buku karena punahnya pengikut-pengikutnya di samping murid-murid mereka tidak mencatat fikih imam-imam mereka secara cermat dan tidak melayani mereka sebaik-baiknya, sekali pun dari sisi ilmu dan ijtihad mereka tidak kalah dari empat Imam yang terkenal. Yang tersisa saat ini di dunia Islam adalah empat madzhab: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali.

Mengapa terjadi perbedaan di antara madzhab-madzhab fikih? Para ulama telah menjelaskan sebab-sebab perbedaan fuqaha` dan salah satu buku terbaik dalam bab ini adalah Raf’u al-Malam an al-Aimmah al-A’lam karya Imam Ibnu Taimiyah. Dalam buku tersebut penulisnya berkata, “Wajib atas kaum muslimin setelah bersikap loyal kepada Allah dan rasulNya bersikap loyal kepada orang-orang beriman sebagaimana hal tersebut telah dikatakan oleh al-Qur`an al-Karim khususnya para ulama para pewaris nabi-nabi…Hendaknya diketahui tidak seorang pun dari para imam yang diterima secara umum oleh umat sengaja menyelisihi Rasulullah saw dalam salah satu sunnahnya, tidak dalam masalah kecil, tidak dalam masalah besar, mereka bersepakat dengan yakin atas wajibnya mengikuti Rasulullah saw, bahwa setiap orang mungkin diambil pendapatnya dan ditinggalkan kecuali Rasulullah saw, jika ada satu pendapat dari salah seorang dari mereka di mana hadits shahih menyelisihinya maka dipastikan adanya alasan dalam pendapatnya tersebut.”

Imam Ibnu Taimiyah juga menjelaskan bahwa para imam fuqaha` adalah mujtahidun yang ikhlas bukan pelaku bid’ah, seorang mujtahid meraih satu pahala jika salah dan dua pahala jika benar.

Perbedaan dalam perkara-perkara furu’ adalah sesuatu yang bisa diterima, para sahabat sendiri berbeda pendapat dalam masalah ini, hal ini karena di antara dalil-dalil yang hadir ada yang keshahihannya dan petunjuknya bersifat pasti sehingga tidak membuka ruang perbedaan, ada pula dalil-dalil yang keshahihannya dan petunjuknya zhanni sehingga membuka ruang untuk perbedaan pemahaman.

Para Imam ahli ijtihad menyepakati bahwa diri mereka bukanlah orang-orang yang terjaga dari salah, mereka mengakui kemungkinan kekeliruan pada ijtihad mereka, yang ma’shum hanyalah Rasulullah saw, hujjah ada pada apa yang difirmankan oleh Allah dan disabdakan oleh Rasulullah saw. Mengamalkan dalil yang shahih telah menjadi kesepakatan para ulama ahli ijtihad. Inilah titik yang harus dipahami oleh kaum muslimin pengikut madzhab-madzhab fikih.

Kaum muslimin di antara sikap ekstrim sempit dan ekstrim longgar, ada yang mewajibkan setiap muslim berpegang teguh kepada salah satu madzhab tidak keluar darinya dalam kondisi apa pun, ini adalah sikap mewajibkan tanpa dasar. Ada yang mewajibkan setiap muslim, baik dia alim atau jahil, berilmu atau bodoh, agar mengambil langsung dari al-Qur`an dan sunnah, idealnya memang demikian, namun tidak semua muslim mampu melakukannya.

Memegang satu madzhab dengan tidak meninggalkannya sekali pun dalil yang shahih menyelisihinya merupakan ta’ashshub itu sendiri, inilah yang menyeret kaum muslimin ke dalam kubangan perpecahan dan persengketaan, pengikut satu madzhab berkelahi dengan pengikut madzhab yang lain, akibatnya madzhab fikih menjelma sebagai agama dalam agama. Sesuatu yang sama sekali tidak diharapkan oleh para Imam dan Ulama pemilik madzhab itu sendiri.

Satu hal yang bisa menjadi titik awal baik bagi kaum muslimin adalah hendaknya kalimat mereka bersatu di atas akidah yang shahih, akidah Rasulullah saw dan para sahabat serta para Imam yang mengikuti mereka dengan baik, akidah yang bersih dari syirik, penyimpangan dan bid’ah, selanjutnya segala tingkah laku kaum muslimin harus ditata sehingga ia sejalan dengan petunjuk sunnah yang shahih.

Madzhab-madzhab fikih bukan kapak pemecah belah selama dimengerti dengan baik dan tidak disikapi dengan ta’ashshub buta, madzhab-madzhab fikih adalah kekayaan ilmiah agung lagi kaya yang tersusun melalui proses itjihad yang berlangsung berabad-abad dan memakan biaya, waktu, kerja keras dan pemikiran besar. Sekarang bagaimana kaum muslimin memanfaatkannya bukan menjadikannya sebagai tangga untuk bercerai-berai. Walllahu al-Musta’an.

Dari al-Mausu’ah al-Muyassarah, isyraf Dr. Mani’ al-Juhani.