Tanya :

Assalamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakatuh,

Pertama-tama saya ucapkan banyak terima kasih kepada situs ALSOFWAH yang telah menyediakan rubrik konsultasi mudah-mudahan ini bisa bermanfaat bagi saya dan kaum muslimin diseluruh peloksok dunia,dan semoga ALSOFWAH tetap istiqomah dalam menuju ridho Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Amiin.

saya ingin konsultasi mengenai MLM (Multi Level Marketing) bagaimana hukum secara umum ditinjau dari syariat islamiyyah, karena sekarang lagi marak-maraknya bisnis tersebut? Dan yang satu lagi yang sekarang ini lagi marak-maraknya MLM (Multi Level Marketing) Tienshi dari Cina, Ini juga bagaimana? Karena saya baca difatwa MUI Indonesia itu menghalalkan sistem Tienshi. Mohon jawaban dari ALSOFWAH supaya rekan-rekan yang sudah menjalankan bisnis tersebut manjadi tenang dengan kehalalan usaha tersebut. Demikian pertanyaan saya dan sekali lagi saya ucapkan Jazakumullahu Khoiron Katsiiro.

Wassalamu’alaikum Warhamatullaahi Wabarakatuh

Hormat Saya : Sauri. R
Di Riyadh, Saudi Arabia

Jawab :

Ykh.sdr/Sauri. R
Wa’alaikum Salam Warahmatullahi Wabarokaatuh

Terima kasih atas atensinya, mudah-mudahan harapan dan do’a anda dikabulkan, Amin…
Mengenai pertanyaan anda, berikut kami lampirkan tulisan tentang hal tersebut, di mana setelah itu, mudah-mudahan anda bisa memberikan pertimbangan tersendiri.

Mukaddimah
Menjawab pertanyaan seputar hukum MLM memang agak pelik sebab untuk menjatuhkan vonis atasnya tidak bisa digeneralisir dan dipukul rata begitu saja, karena akan berakibat salah bahkan fatal.

Di sisi yang lain, jenis bisnis dengan cara MLM ini tidaklah sedikit macamnya, sehingga akan butuh tenaga, waktu dan kehati-hatian di dalam memberikan vonis terhadap masing-masingnya. Dengan jumlahnya yang bak jamur tersebut, kiranya sulit untuk memberikan vonis terhadap satu persatu darinya. Setiap perusahaan memiliki spesifikasi tersendiri. Karena itu, menilai satu persatu perusahaan yang menggunakan sistem ini rasanya tidak mungkin, kecuali jika perusahaan tersebut memberikan penjelasan utuh baik melalui buku yang diterbitkan atau presentasi langsung tentang perusahaan tersebut.

Karena itu, di sini kami berusaha untuk memberikan kaidah umum saja yang kiranya dapat membantu seorang Muslim di dalam menyikapi hal seperti itu. Sebagaimana diketahui, bahwa bisnis MLM masuk dalam kategori Mu’amalat yang di dalam kaidah ushul Fiqh dikatakan, Hukum asal di dalam segala sesuatu (termasuk mu’malat) adalah pembolehan. Kemudian dari sini, berkembang kaidah lainnya yang diperselisihkan oleh para ulama; Apakah hukum asal di dalam mu’amalat itu pembolehan atau pelarangan?. Pendapat yang rajih adalah bahwa hukum asalnya adalah pembolehan.

Mari kita simak dulu beberapa ungkapan dari Syaikh Nashir as-Sa’diy Rahimahullah mengenai sisi ini:
“Prinsip yang universal terhadap semua bentuk perintah (Ma`mûrât) dan larangan (Manhiyyât) dalam agama adalah bahwa Allah Ta’ala, Pembuat Syari’at tidak memerintahkan kecuali terhadap hal yang baik, memiliki kemaslahatan dan berguna bagi umat manusia, baik bagi dien, badan dan urusan dunia mereka. Demikian pula, Dia tidak melarang dan mengharamkan kecuali terhadap setiap hal yang buruk dan berbahaya bagi manusia, baik bagi dien ataupun urusan dunia mereka. (Baca: Q.s.,al-A’raf:157,33,29). Jadi, setiap perintah-perintah syari’at dan hal-hal yang mubah (boleh) di dalamnya adalah baik, penuh keadilan, memiliki kemaslahatan dan berguna sedangkan setiap larangan-larangan dan hal-hal yang diharamkan di dalamnya adalah kebalikan dari hal itu.

Maka, bilamana pada perdagangan dan mu’amalat (transaksi) terkoleksi di dalamnya unsur keridlaan yang diakui (standar berdasarkan syari’at), kejujuran dan keadilan; maka ia dibolehkan oleh Allah Ta’ala, termasuk di dalamnya syarat-syarat, watsâ`iq (perjanjian/bukti penguat), independensi dan perkongsian. Hal-hal tersebut merupakan prinsip yang agung yang mencakup semua mu’amalat dengan syarat terlebih dahulu dilakukan penyaringan, pembetulan, terhindar dari hal yang menafikannya melalui beberapa kaidah dan ketentuan-ketentuan berikut ini:
Kaedah Pertama, terbebas dari unsur Riba
Kaedah Ke-dua, Mu’amalat yang mengandung unsur Gharar (ketidakjelasan/manipulatif) dan berbahaya
Kaedah Ke-tiga, Menjual dengan tujuan mengelabui dan menipu
Kaedah Ke-empat, Mu’amalat antara dua orang yang bertransaksi berlangsung dengan keridlaan secara syar’i (menurut standar syari’at)
Kaedah Ke-lima, ‘Aqad dilakukan oleh pemiliknya atau orang yang mewakilinya
Kaedah Ke-enam dan Ke-tujuh, Bila ‘Aqad menyebabkan ditinggalkannya suatu kewajiban atau dilanggarnya hal yang diharamkan; maka ia adalah haram dan tidak benar/sah.”

Kasb Halal
Sebagai seorang Muslim, tentunya menjadi suatu keniscayaan untuk mencari dan meraih rizki dengan cara yang halal. Rizki (Kasb) yang halal akan diberkahi oleh Allah sedangkan rizki yang tidak halal alias haram, akan dilaknat, tidak berkah dan akan berdampak kepada bawaan darah daging si pemakannya. Dalam hal ini, terdapat hadits yang amat jelas sekali memberikan gambaran kepada kita, yaitu (artinya), “Sesungguhnya yang halal itu adalah jelas dan yang haram juga adalah jelas, sementara di antara keduanya terdapat hal-hal yang ‘Syubhat’ (samar-samar) yang tidak banyak orang mengetahuinya; barangsiapa yang menjauhi hal-hal yang syubhat, maka ia telah berlepas diri untuk dien dan kehormtannya, dan barangsiapa yang terjerumus ke dalam syubhat, maka ia telah terjerumus ke dalam hal yang haram…”

Hadits diatas menunjukkan kepada kita bahwa di dunia ini hanya ada tiga kategori saja: 1. Halal. 2. Haram. 3. Syubhat. Artinya, yang halal itu sudah jelas sejelas-jelasnya dirinci baik di dalam al-Qur’an maupun as–Sunnah, termasuk diantaranya jual beli, hukum asalnya adalah halal, yaitu berdasarkan firman-Nya (artinya), “Dan Allah telah menghalalkan jual beli .”
Yang haram juga sudah jelas dan dijelaskan sejelas-jelasnya baik di dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah, seperti riba, daging babi, dsb. Terkait dengan riba, -misalnya- Allah berfirman (artinya), “…Dan Dia mengharamkan riba.” Kemudian yang terakhir, kategori ke-tiga, yang statusnya berada di antara kedua hal tersebut namun sayang sekali, banyak orang yang tidak mengetahuinya padahal titik tekannya adalah agar dijauhi sebab bila terjerumus ke dalamnya, berarti sudah terjerumus ke dalam hal yang haram. Oleh karena itu, sikap yang selamat adalah menghindarinya sekali pun masih berpretensi halal.

Memang, saat ini mencari pekerjaan sangat sulit sekali karena tidak banyak peluangnya sementara pencarinya demikian banyak. Kondisi ini diperparah lagi oleh orang-orang Jahat yang memanfa’atkannya untuk menipu mereka yang mengalami kesulitan tersebut. Berbagai modus dilakukan dan tidak sedikit dari mereka yang terjerat. Diantara sebabnya adalah kurangnya kehati-hatian dari si pencari pekerjaan itu sendiri di dalam memilah dan memilih pekerjaan, akibat keluguannya dan terutama sekali akibat tipisnya atau bahkan tidak ada sama sekali kadar iman di dalam dadanya padahal inilah yang paling penting sekali bagi seorang Muslim.

Iman ini akan membimbing seorang Muslim di dalam menapaki kehidupannya sehingga yang dicarinya hanyalah ‘keridlaan Allah’ semata. Ketika menerima sesuatu, maka dia tidak berangkat dari hawa nafsu yang karena kebutuhan, menyerobot apa saja tanpa memperhatikan rambu-rambu lagi. Dan, inilah yang kiranya tidak banyak dimiliki oleh umat Islam yang mayoritasnya hidup di bawah garis kemiskinan. Karena tidak adanya kadar keimanan ini, bagi mereka yang penting adalah mendapatkan pekerjaan; apapun ia, tidak peduli halal atau haram; riba atau tidak; syubhat atau tidak; berbahaya atau tidak, dan seterusnya. Ini merupakan hal yang amat dilematis sekali.

Sikap Seorang Muslim Di Dalam Mu’amalat
Seorang Muslim harus selalu meluruskan niatnya dan menjadikannya ikhlash semata mengharap ridla Allah dari segala perbuatannya, baik terkait dengan masalah ‘ibadah ataupun mu’malat sehingga semua aktifitas yang dilakukannya akan mendapatkan nilai ‘ibadah. Kemudian –terkait dengan mu’amalat-, dia harus mengetahui bahwa hukum asal di dalam mu’malat –termasuk juga di dalamnya usaha dengan system MLM- adalah pembolehan selama tidak ada dalil yang melarangnya.

Dalam hal ini, kaidah dalam mu’amalat berbeda dengan kaidah di dalam hal ‘ibadah dimana disebutkan bahwa Hukum asal di dalam ‘ibadah adalah tawqifiyyah alias sebatas dalil dan sumbernya. Untuk lebih mendekatkan pemahaman kita, dikatakan bahwa di dalam mu’amalat yang perlu dipertanyakan pertama kali adalah ‘apakah ada larangannya?’, bila tidak ada yaah diteruskan alias boleh-boleh saja hingga mendapatkan dalil pasti yang melarangnya. Sedangkan di dalam hal ‘ibadah, dikatakan bahwa yang perlu dipertanyakan pertama kali adalah ‘apakah ada dalil atau perintahnya?’, bila tidak ada, tidak boleh dilakukan hingga mendapatkan dalil pasti yang memerintahkannya.

Setelah itu, kaidah-kaidah yang dikemukakan oleh Syakh as-Sa’diy diatas perlu dipegang selalu ketika berhadapan dengan masalah mu’amalat, termasuk masalah MLM ini.

Apa yang dinyatakan oleh Syaikh as-Sa’diy tersebut tidak lain adalah pokok-pokok dari ketentuan-ketentuan di dalam bab mu’amalat, yang perinciannya sebagai berikut :

Pertama, Mengetahui hukum asal di dalam mu’amalat, yaitu pembolehan, menurut pendapat yang rajih. Dari sini, selama tidak ada dalil pasti baik dari al-Qur’an maupun dari hadits yang melarang suatu mu’amalat, maka ia dibolehkan.

Kedua, larangan melakukan kezhaliman.
Kezhaliman artinya meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Dalam hal ini, yang dimaksud dengannya menurut syari’at adalah melanggar larangan dan meninggalkan perintah. Setiap hal yang melampaui batas terhadap syari’at, maka ia adalah suatu kezhaliman yang diharamkan, baik dengan mengadakan penambahan ataupun pengurangan. Jadi, tindakan merugikan orang lain juga termasuk suatu kezhaliman. Dalam hal ini, Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam bersabda, “Janganlah kalian membuat bahaya pada diri sendiri dan orang lain” (H.R.Ibnu Mâjah dan ad-Dâruquthniy)
Maksudnya, bila di dalam MLM itu terdapat aspek kezhaliman ini, maka ia tidak dibolehkan atau hal itu perlu dihilangkan dulu.

Ketiga, larangan Gharar (manipulasi, ketidakjelasan, penipuan, pengibulan)
Definisi Gharar adalah sesuatu yang tidak diketahui bagaimana mendapatkan/terjadinya atau tidak diketahui hakikat dan ukurannya.
Adapun ketentuan (batasan) Gharar dalam mu’amalat adalah sebagai berikut :
a. Tingkat Gharar-nya berat dan dominan terhadap suatu ‘aqad/transaksi, sedangkan bila ringan saja, maka tidak mencegah untuk berlakunya ‘aqad.
b. Dimungkinkan menghindari terjadinya Gharar dengan tanpa kesulitan; bila terjadinya Gharar tidak dapat dihindari kecuali dengan susah payah, maka para ulama sepakat bahwa hal ini ditolerir dan dima’afkan, seperti bila terjadi Gharar (ketidakjelasan) pada sesuatu yang berada di dalam perut binatang atau pada bahan-bahan bangunan pembuatan tembok.
c. Terjadinya Gharar karena adanya kebutuhan yang bersifat umum; sebab hajat manusia yang bersifat umum sama kedudukannya dengan hal-hal yang bersifat darurat. Batasan hajat di sini adalah setiap hal yang bilamana tidak dilakukan oleh manusia, maka mereka semua ketika itu juga akan mengalami kerugian/resiko, atau akibatnya penuh resiko. Jadi, bila ada hajat manusia untuk bermu’amalat dengan hal yang didalamnya Gharar yang tidak bisa ditinggalkan sama sekali (karena hanya dengan itu bisa berjalan), maka Gharar ini menjadi sesuatu yang dima’afkan.
d. Gharar yang terjadi itu memang dari aslinya, bukan sebagai akibat. Sebab, bila Gharar terjadi sebagai akibat, maka ia dima’afkan.
Artinya, bila pada MLM itu terdapat ketidakjelasan, manipulasi, tidak transparan, maka ia tidak dibolehkan.

Keempat, larangan melakukan riba.
Riba secara bahasa artinya penambahan, sedangkan di dalam istilah, maka secara global ia masuk dalam dua hal:
Pertama, Riba Jahiliyyah, yaitu hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan. Riba ini juga sering disebut riba Qardl, tapi ada yang mendefinisikan riba Qardl ini sebagai suatu manfa’at atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (Muqtaridl).
Kedua, Riba jual beli, yaitu :
A. riba Fadll, yaitu pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.
B. Riba Nasi`ah, yaitu penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. riba dalam nasi`ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan atau tambahan antara yang diserahkan sat ini dengan yang diserahkan kemudian.
Yang dimaksud dengan barang ribawi adalah : a. Emas dan Perak, baik itu dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lainnya. b. Bahan makanan pokok seperti Beras, Gandum dan Jagung serta bahan makanan tambahan seperti sayur-sayuran dan buah-buahan.
Artinya, bila di dalam MLM itu terdapat unsur ribanya, maka jelas ia tidak dibolehkan.

Kelima, larangan judi.
Artinya, bila di dalam MLM itu terdapat unsur judi, maka jelas diharamkan.
MLM adalah sarana untuk menjual produk (barang atau jasa), bukan sarana untuk mendapatkan uang tanpa ada produk atau produk hanya kamuflase. Sehingga yang terjadi adalah Money Game atau arisan berantai yang sama dengan judi.
Kaidah mengetahui sesuatu judi atau bukan adalah bahwa sesuatu itu menimbulkan antara dua hal; al-Ghurm (kerugian, kehilangan) dan al-Ghunm (keuntungan, perolehan). Di satu sisi, seseorang berharap dapat yang diinginkan tetapi di sisi lain bila tidak dapat, ia akan merugi

Keenam, perintah agar jujur dan mengemban amanah.
Sifat jujur dan amanah di dalam hal apa saja diperintahkan oleh agama. Dan di dalam mu’amalat secara mutlak diperlukan sehingga terjadi transparansi, sehingga timbullah apa yang disinggung oleh Syaikh as-Sa’diy, yakni timbulnya keridlaan yang sesuai dengan syari’at. Hal ini pada akhirnya, akan melahirkan rasa saling percaya. Artinya, di dalam MLM itu jangan sampai karena semangat menjual barang, lalu harus berbohong sedikit-sedikit atau menutupi cela produk untuk meyakinkan seseorang yang sedang diprospek. Apalagi ‘korban’nya adalah orang yang awam dan kurang wawasan, akhirnya sering terjadi gharar atau unsur penipuan halus.

Ketujuh, kaidah Suddudz Dzaroo`i’ (menutup rapat-rapat pintu untuk beralasan melakukan perbuatan maksiat). Artinya, bila implikasi dari MLM itu kemudian akan menyebabkan dilakukannya perbuatan maksiat, maka ia tidak dibolehkan. Ini sama dengan kaidah ke-enam dan ke-tujuh yang disebutkan oleh Syaikh as-Sa’diy, yaitu bilamana menyebabkan ditinggalkannya suatu kewajiban atau dilanggarnya sesuatu yang diharamkan, maka hal itu diharamkan dan tidak boleh dilakukan. Misalnya, bila MLM itu menjual produk yang diharamkan, maka tidak boleh hukumnya ikut serta di situ. Atau dari akibatnya, ikut serta dalam melakukan perbuatan dosa dan maksiat, seperti bila diketahui secara yakin bahwa MLM itu menyumbangkan dana tertentu buat upaya kristenisasi, misalnya, atau untuk hal-hal lainnya yang merugikan kepentingan agama dan umat, maka juga tidak boleh.

Bila sudah mengetahui hal itu semua, kemudian masih tersisa keraguan pada diri seorang Muslim, maka hendaknya dia tinggalkan keraguan itu kepada hal yang tidak lagi membuatnya ragu. Ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam (artinya), “Tinggalkanlah sesuatu yang meragukanmu kepada hal yang tidak membuatmu ragu.” (HR. at-Turmudziy)

Beberapa Catatan Atas MLM
Sebenarnya, penyusun bukanlah orang yang mengetahui secara persis bagaimana operasional MLM (Multi Level Marketting) yang sebenarnya di lapangan, karena kami tidak pernah menjadi anggota dari salah satu pun darinya sehingga tidak dapat mengikuti perkembangannya. Terus terang, hingga saat ini lebih mengambil sikap menjauhi dan berhati-hati sekali. Jadi, apa yang kami paparkan berikut ini adalah berdasarkan beberapa tulisan, artikel dan beberapa informasi yang berhasil kami koleksi dari berbagai rujukan terkait.

Pertama, sebagaimana yang kami jelaskan sebelumnya bahwa untuk memberikan vonis terhadap MLM itu tidak dapat dipukul rata. Di samping itu juga tidak dapat dengan sendirinya legitimate lantaran keanggotaannya di APLI, ataupun dibenarkan ikut berpartisipasi lantaran ia memakai label ‘Syari’ah’.
Kedua, Fenomena menjamurnya MLM tidak lain karena bisnis seperti ini bagi pengusaha adalah sangat menguntungkan dengan adanya penghematan biaya (minimizing cost) dalam iklan, promosi dan lainnya. Disamping, menguntungkan para distributor sebagai simsâr (makelar) yang ingin bebas bekerja. MLM juga menghilangkan biaya promosi karena distribusi dan promosi ditangani langsung oleh distributor dengan sistem berjenjang (pelevelan).

Dalam MLM ada unsur jasa, artinya seorang distributor menjualkan barang yang bukan miliknya dan ia mendapatkan upah dari prosentasi harga barang dan jika dapat menjual sesuai target dia mendapat bonus yang ditetapkan perusahaan.

Ketiga, Jumlah upah atau imbalan jasa yang harus diberikan kepada makelar atau distributor adalah menurut perjanjian, sesuai dengan firman Allah Ta’ala: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah ‘aqad-‘aqad (perjanjian-perjanjian) itu”. (Q,.s.al-Mâ-idah: 1). Dan juga hadits Nabi Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam (artinya), “ Kaum Muslimin itu terikat oleh syarat-syarat yang mereka sepakati.”
Tetapi syarat ini dibatasi oleh kaidah lain, yaitu bahwa setiap syarat yang tidak sesuai dengan syarat Allah, maka ia batal (tidak berlaku).

Keempat, Bisnis MLM ini dalam kajian fiqih kontemporer dapat ditinjau dari dua aspek:
Pertama, produk barang atau jasa yang dijual.
Kedua, cara penjualan (marketing).
Mengenai produk barang yang dijual: apakah halal atau haram tergantung kandungannya; apakah terdapat sesuatu yang diharamkan Allah menurut kesepakatan (ijma’) ulama atau tidak. Begitu pula jasa yang dijual; adakah unsur babi, khamr, bangkai, darah, perzinaan, kemaksiatan dan perjudian. Lebih mudahnya sebagian produk barang dapat dirujuk pada sertifikasi halal dari LP-POM MUI, meskipun produk yang belum disertifikasi halal tidak bisa dikatakan haram, tergantung pada kandungannya.

Perusahaan yang menjalankan bisnisnya dengan sistem MLM tidak hanya sekedar menjalankan penjualan produk barang tetapi juga produk jasa yaitu jasa marketing yang berlevel-level (bertingkat-tingkat). Imbalan yang diperoleh berupa marketing fee, bonus dan sebagainya tergantung level, prestasi penjualan dan status keanggotaan distributor. Jasa perantara penjualan ini (makelar) dalam terminologi fiqih disebut “samsarah/simsâr” atau perantara perdagangan (orang yang menjualkan barang atau mencarikan pembeli), atau perantara antara penjual dan pembeli untuk memudahkan jual beli.

Pekerjaan samsarah/ simsâr berupa makelar, distributor, agen dan sebagainya dalam fiqih Islam termasuk kategori ‘aqad Ijârah, yaitu suatu transaksi memanfa’atkan jasa orang dengan suatu imbalan. Pada dasarnya, para ulama seperti Ibnu ‘Abbas, Imam al-Bukhâriy, Ibnu Sîrîn, ‘Atha’ dan Ibrahim an-Nakha-’iy memandang boleh jasa ini.

Terhadap pekerjaan makelar ini, dalam hal ini distributor, perlu persyaratan-persyaratan yang telah kami sebutkan diatas (diantaranya kaedah-kaedah yang disinggung Syaikh as-Sa’diy), di samping perjanjian antara kedua belah pihak harus jelas menurut ketentuan yang berlaku selama sesuai dengan hukum Allah.

Kelima, Ciri khas sistem MLM terdapat pada jaringannya, sehingga perlu diperhatikan segala sesuatu menyangkut jaringan tersebut: Transparansi penentuan biaya untuk menjadi anggota dan alokasinya dapat dipertanggungjawabkan. Penetapan biaya pendaftaran anggota yang tinggi tanpa memperoleh kompensasi yang diperoleh anggota baru sesuai atau yang mendekati biaya tersebut adalah celah dimana perusahaan MLM mengambil sesuatu tanpa hak.

Transparansi peningkatan anggota pada setiap jenjang (level) dan kesempatan untuk berhasil pada setiap orang. Peningkatan posisi bagi setiap orang dalam profesi memang terdapat di setiap usaha. Sehingga peningkatan level dalam sistem MLM adalah suatu hal yang dibolehkan selagi dilakukan secara transparan, tidak menzhalimi pihak yang ada di bawah, setingkat maupun di atas.

Hak dan kesempatan yang diperoleh sesuai dengan prestasi kerja anggota. Seorang anggota atau distributor biasanya mendapatkan untung dari penjualan yang dilakukan dirinya dan dilakukan down line-nya. Perolehan untung dari penjualan langsung yang dilakukan dirinya adalah sesuatu yang biasa dalam jual beli, adapun perolehan prosentase keuntungan diperolehnya disebabkan usaha down line-nya adalah sesuatu yang dibolehkan sesuai perjanjian yang disepakati bersama dan tidak terjadi kezhaliman.

Keenam, Dalam menjalankan bisnis dengan sistem MLM perlu mewaspadai dampak negatif psikologis yang mungkin timbul sehingga membahayakan kepribadian, bahaya itu antara lain:
– Obsesi yang berlebihan untuk mencapai target penjualan tertentu karena terpacu oleh sistem ini.
– Suasana tidak kondusif yang kadang mengarah pada hidup hedonis sekuler ketika mengadakan acara rapat dan pertemuan bisnis.
– Melalaikan tugas dan keluar dari pekerjaan tetap karena terobsesi akan mendapat harta yang banyak dalam waktu singkat
– Sistem ini cenderung memperlakukan member atau orang lain berdasarkan prospektifitas dan target-target penjualan kuantitatif material yang mereka capai.

Hal-hal tersebut, pada akhirnya dapat mengkondisikan seseorang berjiwa tidak pernah puas, materialis dan melupakan tujuan asasinya untuk dekat kepada Allah di dunia dengan ibadah agar selamat di akhirat. (baca: Q,.s.al-Qashash: 77, al-Muthaffifîn: 26)

MLM Islami?
Tazkia Research Center memberikan catatan; MLM yang didirikan oleh tokoh-tokoh Islam seperti Ahad-Net, MQ-Net atau MS-Net, insya Allah sudah memenuhi karakter MLM Islami. Namun bukan berarti hanya tiga MLM itu yang Islami. Sebagai pegangan yang sederhana, agar tidak menyalahi syari’ah, MLM harus memenuhi beberapa syarat di antaranya:
1. Adanya transaksi riil atas barang yang diperjualbelikan.
2. Tidak ada excessive mark-up harga barang, sehingga para anggota terzalimi dengan harga barang yang sangat tinggi, tidak sepadan dengan kualitas dan manfa’at yang diperoleh.
3. Harga barang diketahui dengan jelas ketika transaksi.
4. Bonus yang diberikan harus jelas angka nisbahnya sejak awal.
5. Tidak ada eksploitasi dalam aturan pembagian bonus antara orang yang awal menjadi anggota dengan yang akhir.
6. Pembagian bonus semestinya mencerminkan usaha masing-masing anggota.
7. Barang atau jasa yang diperdagangkan bukan barang yang haram.

Lebih dari itu kita harus memperhatikan:
1. Sistem MLM ini tidak mendorong kepada pemborosan.
2. Tidak menitikberatkan pada barang-barang yang tersier ketika umat masih bergelut dengan pemenuhan kebutuhan primer.

Penutup

Sebagai seorang Muslim, kita harus berhati-hati sekali dan tidak bertindak ceroboh hanya karena keinginan dan obsesi sesa’at namun di kemudian hari menghancurkan dan mencelakakan kehidupan kita.

Setiap Muslim perlu mempelajari seluk beluk setiap usaha MLM yang ingin digelutinya kemudian dicocokkan dengan kriteria dan kaedah-kaedah fiqih diatas, niscaya akan menjadi jelas semuanya.

Demikian artikel sederhana ini kami buat dan rangkum dari berbagai referensi, semoga dapat bermanfa’at dan menjadi bahan pertimbangan.

Apa yang benar, semata ia berasal dari Allah dan apa yang salah atau keliru, maka semata ia berasal dari diri penyusun pribadi dan dari syaithan, sedangkan Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari hal itu. Kepada Allah, penyusun mohon ampunan-Nya.

Sebagai penutup, penyusun mohon doa yang ikhlas dan tulus dari para pembaca, kiranya Allah memudahkan urusannya dan memberkahi setiap amalnya selama karena Allah.

SUMBER:
– Fatwa Syaikh Nashir as-Sa’diy. Lihat Fiqh Wa Fatawa al-Buyu’, editor: Abu Muhammad Asyraf bin ‘Abdul Maqshud.
Fiqh as-Sunnah, Sayyid Sâbiq, vol.III, hal. 159
– Fikih Kontemporer karya DR.Setiawan Budi Utomo
– Fatwa Syariahonline
Al-Hawaafiz at-Tijaariyyah at-Taswiiqiyyah wa Ahkaamuha Fi al-Fiqh al-Islaamiy karya Khalid bin ‘Abdullah al-Mushlih
Bank Syari’ah: Suatu Pengenalan Umum karya Muhammad Syafi’i Antonio
Konsultasi Ekbis Syari’ah, diasuh oleh Tazkia Research Center, Republika, Senin, 24 Mei 2004