Pasal :

Ketahuilah bahwa waktu qunut Shubuh menurut kami adalah sesudah bangkit dari ruku’ pada rakaat kedua. Malik berkata, “Qunut sebelum ruku’.” Sahabat-sahabat kami berkata, “Seandainya pengikut madzhab Syafi’ (Di naskah lain, “Asy-Syafi’i.”) berqunut sebelum ruku’, maka qunutnya tidak dianggap menurut pendapat yang shahih.” Kami juga memiliki pendapat bahwa ia dianggap. Kalau menurut pendapat yang shahih, maka dia mengulang qunut setelah ruku’ dan sujud sahwi. Ada pula yang berkata, “Tidak perlu sujud sahwi.” (Yang benar adalah bahwa perkara ini mempunyai perincian, intinya adalah bahwa qunut pada shalat fardhu hanya disyariatkan pada saat terjadi musibah saja dan ditinggalkan pada selainnya dan ia dilakukan setelah ruku’ tanpa ada doa khusus, doanya adalah untuk kebaikan kaum Muslimin dan kebinasaan atas orang-orang kafir, doa apa pun yang mudah. Adapun qunut witir, maka ia disyariatkan sepanjang tahun, termasuk sunnah melakukannya pada satu waktu dan meninggalkannya pada lain waktu dan yang lebih shahih adalah bahwa sebelum ruku’ bukan sesudahnya, dan dengan doa masyhur yang akan datang. Inilah yang benar yang didukung oleh sunnah yang shahih. Wallahu a’lam).

Adapun lafazhnya, maka yang terpilih adalah mengucapkan padanya.

Apa yang kami riwayatkan dalam hadits shahih di Sunan Abu Dawud, Sunan at-Tirmidzi, Sunan an-Nasa`i, Sunan Ibnu Majah, Sunan al-Baihaqi dan lain-lain dengan sanad yang shahih dari al-Hasan bin Ali radhiallahu ‘anhuma, dia berkata, “Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepadaku kalimat-kalimat yang aku ucapkan di dalam witir, (Perhatikanlah, al-Hasan mengkhususkannya dengan witir bukan lainnya).

اَللّهُمَّ اهْدِنِيْ فِيْمَنْ هَدَيْتَ، وَعَافِنِيْ فِيْمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلَّنِيْ فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ، وَبَارِكْ لِيْ فِيْمَا أَعْطَيْتَ، وَقِنِيْ شَرَّ مَا قَضَيْتَ؛ فَإِنَّكَ تَقْضِيْ وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ، وَإِنَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ.

‘Ya Allah berilah aku petunjuk di antara orang-orang yang telah Engkau beri petunjuk, berilah aku keafiyatan di antara orang-orang yang telah Engkau beri afiyat, uruslah aku di antara orang-orang yang telah Engkau urus. Berilah berkah pada apa yang Engkau berikan kepadaku, jauhkanlah aku dari keburukan yang Engkau putuskan, sesungguhnya Engkaulah yang menetap-kan keputusan dan tidak ada orang yang memberikan hukuman atasMu, sesungguhnya orang yang Engkau cintai tidak akan terhina. Mahasuci Engkau wahai Rabb kami dan Engkau Mahatinggi’.” (Shahih: Diriwayatkan oleh Abdur Razzaq no. 4984 dan 4985; ath-Thayalisi no. 1177 dan 1179; Ibnu Abi Syaibah no. 6888; Ahmad 1/1999 dan 200; ad-Darimi 1/373; Ibnu Majah, Kitab Iqamat ash-Shalah, Bab al-Qunut Fi al-Witr, 1/373, no. 1178; Abu Dawud, Kitab ash-Shalah, Bab al-Qunut Fi al-Witr, 1/452, no. 1425; at-Tirmidzi, Kitab ash-Shalah, Bab al-Qunut Fi al-Witr, 2/328, no. 464; an-Nasa`i, Kitab Qiyam al-Lail, Bab ad-Du’a` Fi al-Witr, 3/248, no. 1744; Abu Ya’la no. 6759, 6762 dan 6765; Ibnu Hibban no. 945; ath-Thabrani 3/73 no. 2701 dan 2712 dan dalam ad-Du’a no. 736 dan 748; Abu Nu’aim 8/264; al-Baihaqi 2/209; al-Baghawi no. 640: dari beberapa jalan, dari Barid bin Abu Maryam, dari Abul Haura, dari al-Hasan dengan hadits tersebut.

Ini adalah sanad shahih rawi-rawinya tsiqat dan hadits ini memiliki jalan-jalan yang lain, ia didhaifkan oleh Ibnu Hazm tanpa alasan, dihasankan oleh at-Tirmidzi dan disetujui oleh al-Baghawi dan al-Mundziri. Ia dishahihkan oleh al-Hakim, an-Nawawi, al-Asqalani, Ahmad Syakir dan al-Albani).

At-Tirmidzi berkata, “Ini adalah Hadits hasan, dan kami tidak mengetahui dari Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam dalam doa qunut beliau yang lebih baik daripada doa ini.”

Dalam riwayat lain disebutkan oleh al-Baihaqi bahwa Muhammad bin al-Hanafiyah, putra Ali bin Abu Thalib radiyallahu ‘anhu berkata :

إِنَّ هذَا الدُّعَاءَ هُوَ الدُّعَاءُ الَّذِي كَانَ أَبِيْ يَدْعُوْ بِهِ فِي صَلاَةِ الْفَجْرِ فِي قُنُوْتِهِ.

“Sesungguhnya doa inilah yang diucapkan oleh bapakku pada shalat Shubuh, pada qunutnya.” (Dhaif: Diriwayatkan oleh al-Baihaqi 2/209 dari jalan al-Ala’ bin Shalih, Barid bin Abu Maryam menyampaikan kepadaku… lalu dia menyebutkan hadits dengan sanad sebelumnya, dia menambahkan di akhirnya. Barid berkata, “Lalu aku me-nyebutkan hal itu kepada Muhammad bin al-Hanafiyah…” Lalu dia menyebutkan tambahan ini.
Ini dhaif, ia memiliki dua Illat. Pertama: Bahwa al-Ala’ bin Shalih -rawi di mana tidak ada yang membela kejujurannya- meriwayatkan tambahan ini secara sendiri dan tidak diikuti oleh banyak orang rawi yang tsiqat yang berjumlah banyak di mana mereka meriwayatkannya dari Buraidah. Seandainya dia adalah rawi tsiqah yang akurat niscaya seseorang tetap bimbang menerima riwayat tambahannya secara menyendiri yang tidak diriwayatkan oleh beberapa rawi tsiqat, lebih-lebih Ibnul Madini berkata, “Dia meriwayatkan hadits-hadits munkar.” Al-Bukhari berkata, “Tidak diikuti.” Dan adz-Dzahabi memaparkan hadits munkar miliknya, tapi al-Asqalani menyatakannya melakukan kekeliruan. Rawi seperti dia tidak ada kemungkinan haditsnya shahih. Dan Illat yang kedua adalah bahwa ia mauquf, hujjah tidak tegak dengannya). Bersambung…..!!!

Sumber : Ensiklopedia Dziikir Dan Do’a, Imam Nawawi, Pustaka Sahifa Jakarta. Diposting oleh Wandy Hazar S.Pd.I.