Mewujudkan kebaikan untuk orang lain lebih-lebih yang membutuhkan, membantu teman lebih-lebih yang memerlukan, memberi sohib lebih-lebih yang ditimpa kemalangan, ditambah melakukannya dengan hati rela dan jiwa lapang merupakan kedermawanan, kemanusiaan menganjurkannya dan memandangnya sebagai kemuliaan dan keluhuran, dan sebelum itu Islam telah mengajak, mendorong dan memerintahkannya.

Banyak orang terkenal dengan kedermawanannya, namun dari sederetan nama, tak satu pun yang melebihi dan mengungguli seorang laki-laki bernama Muhammad bin Abdullah. Beliau ini adalah orang yang paling dermawan, paling murah telapak tangannya, telapak tangan beliau adalah awan kebaikan, tangan beliau berisi hujan kedermawanan, beliau lebih cepat dalam perkara kebaikan daripada angin yang berhembus.

Khadijah istri beliau menyifati beliau di saat beliau datang kepadanya dalam keadaan cemas pasca turunnya wahyu kepadanya untuk pertama kali, Khadijah menenangkan hati suaminya dengan ucapannya, “Sesungguhnya engkau menjalin silaturrahim, memikul beban kebenaran, membantu orang papa, memuliakan tamu dan membantu dalam perkara-perkara kebenaran.”

Begitulah Khadijah menyifati suaminya dengan sifat-sifat yang sangat agung yang membuktikan kedermawanan beliau yang besar dan kemurahan hatinya yang mendalam.

Semua itu sebelum Allah mengangkatnya sebagai Rasul, lalu bagaimana dengan kemurahan hati beliau setelah Allah mengangkatnya menjadi Nabi dan Rasul? Bagaimana kedermawanan beliau setelah Rabbnya Azza wa Jalla mendidiknya dan membaguskan pendidikannya?

Tidak pernah di suatu hari pun beliau menolak memberikan apa yang ada ditangannya kepada seseorang, sebaliknya beliau tetap memberi sekalipun dalam kondisi sulit, berinfak sekalipun dalam keadaan miskin, memberi dengan pemberian orang yang tidak khawatir terhadap kemiskinan, beliau adalah sayyid orang-orang yang murah hatinya secara mutlak.

Hal ini diakui oleh musuh-musuh beliau sebelum para sahabatnya, salah seorang dari mereka berkata saat dia takjub kepada kemurahan hati beliau, lalu dia masuk Islam dan tidak bisa tidak kecuali menyintai beliau, dia berkata, “Di hari Hunain Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam memberiku padahal saat itu beliau adalah orang yang paling aku benci, beliau terus memberiku sehingga beliau menjadi orang yang paling aku cintai.” Demikian kata Shafwan bin Umayyah.

Pelayannya Anas bin Malik menyifati beliau, dia berkata, “Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling baik, orang yang paling dermawan dan orang yang paling berani.”

Jabir bin Abdullah berkata, “Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam tidak pernah dimintai sesuatu lalu beliau menjawab, ‘Tidak.”

Beliau tidak menolak orang yang datang untuk sebuah hajat sekalipun beliau sendiri memerlukannya. Sahal bin Saad berkisah bahwa seorang wanita datang kepada Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam memberikan kain bersulam kepada beliau, dia berkata, “Aku menyulamnya dengan tanganku sendiri, aku ingin engkau memakainya.”

Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam menerimanya karena beliau juga membutuhkannya, beliau keluar kepada kami dan kain tersebut beliau pakai sebagai kain sarung, lalu seorang laki-laki dari kami berkata, “Ya Rasulullah, berikan ia kepadaku.” Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam menjawab, “Baik.” Lalu Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam duduk di majlis, kemudian beliau pulang dan melipatnya kemudian beliau memberikannya kepada orang tersebut, maka orang-orang berkata, “Kamu tidak sopan, Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam memakainya karena beliau membutuhkannya, kemudian kamu memintanya dan kamu mengetahui bahwa beliau tidak menolak permintaan.” Laki-laki itu menjawab, “Demi Allah, aku memintanya bukan untuk aku pakai, akan tetapi aku memintanya untuk kain kafanku.” Sahal berkata, “Maka kain itu menjadi kafannya.”

Bila itu dalam keadaan sulit lalu bagaimana dalam kondisi lapang?

Beliau lebih berbahagia dalam memberi daripada penerima dalam menerima. Mengumpulkan harta rampasan perang dan membagi-bagikannya dalam sesaat, tanpa mengambil sedikit pun dirinya, beliau memberi kambing yang memenuhi di antara dua gunung.

Manakala harta dari Bahrain tiba, harta terbesar yang datang kepada Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, “Beber ia di masjid.” Maka paman Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam al-Abbas datang, dia berkata, “Ya Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam, berilah aku karena aku dulu menebus diriku dan Aqil.” Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam menjawab, “Ambillah.”

Maka al-Abbas menciduk harta itu dengan kedua tangannya dan meletakkan di kainnya, kemudian dia mengangkatnya namun dia tidak mampu, maka dia berkata, “Perintahkan seseorang untuk mengangkatnya ke pundakku.” Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam menjawab, “Tidak.” Maka al-Abbas berkata, “Engkau saja yang mengangkat.” Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam menjawab, “Tidak.”

Lalu dia mengurangi, kemudian dia mengangkatnya namun dia tidak mampu, maka dia berkata, “Perintahkan seseorang untuk mengangkatnya ke pundakku.” Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam menjawab, “Tidak.” Maka al-Abbas berkata, “Engkau saja yang mengangkat.” Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam menjawab, “Tidak.”

Kemudian dia mengurangi dan dia mengangkatnya di pundaknya, kemudian dia pergi, Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam terus memandangnya sampai dia tidak terlihat, beliau heran terhadap keinginannya terhadap harta. Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam meninggalkan tempat sementara harta tersebut tidak tersisa satu dirham pun.

Sungguh telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik untuk kalian.” Al-Ahzab: 21. “Dan sesungguhnya engkau di atas akhlak yang agung.” Al-Qalam: 4. Wallahu a’lam. (Izzudin Karimi).