Oleh: Drs. Hartono Ahmad Jaiz
(Editor: Abdurrahman Nuryaman)

KHUTBAH PERTAMA :

إِنَّ الْحَمْدَ لله نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بلله مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ الله فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا اله إلا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

يَاأَيُّهاَ الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا الله حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ الله كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا الله وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا . يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَن يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

أَمَّا بَعْدُ:
فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ الله وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه و سلم وَشَرَّ الْأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ، وَكُلَّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ. اللهم صَل عَلَى مُحَمدٍ، وَعَلَى أله وَصَحْبِهِ وَسَلمْ.

Jama’ah Jum’at yang Dirahmati Allah

Sudah terlalu sering kita mendengar ungkapan keberatan dan syubhat-syubhat dari mereka yang tidak mau berhenti dari melakukan bid’ah, bahkan membela semua amal bid’ah mereka. Syubhat-syubhat dan berbagai pembelaan dikumandangkan lewat mimbar-mimbar ta’lim bahkan dimuat dalam berbagai media massa. Berikut sejumlah syubhat yang biasa mereka agungkan beserta jawaban Ahlus Sunnah terhadapnya.

Syubhat Pertama : Pemahaman mereka yang keliru terhadap Sabda Nabi Sallallahu ‘Alahi Wasallam :

مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ.

“Barangsiapa yang memberikan suatu contoh perbuatan baik dalam Islam, maka dia mendapatkan pahala perbuatan tersebut dan pahala orang yang mengamalkannya setelahnya, tanpa mengurangi se-dikit pun dari pahala-pahala mereka. Dan barangsiapa yang mem-berikan suatu contoh perbuatan buruk, maka dia menanggung dosa-nya dan dosa-dosa orang yang melakukannya setelahnya, tanpa mengurangi sesuatu pun dari dosa-dosa mereka.” (Diriwayatkan oleh Muslim, no. 1017).

Sebagian ahli bid’ah memaknai kataسَنَّ dalam hadits ini dengan: اخْتَرَع yang artinya, menciptakan atau membuat. Sehingga makna سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَة dalam pandangan mereka adalah, “Barang-siapa yang membuat suatu perbuatan baik.” Padahal makna sabda Rasulullah Sallallahu ‘Alahi Wasallam di atas adalah, “Barangsiapa yang memberikan contoh baik dengan melakukan amal yang telah tsabit (tetap) berdasarkan Sunnah Nabi Sallallahu ‘Alahi Wasallam.” Inilah makna yang shahih, dan ini dilihat dari beberapa segi :

Pertama : Sebab wurud hadits ini -atau dengan bahasa yang lebih mudah-, sebab Nabi Sallallahu ‘Alahi Wasallam bersabda demikian adalah sebagai-mana riwayat yang rinci dalam Shahih Muslim no. 1017, dari sahabat Jarir bin Abdillah radiyallahu ‘anhu di mana dia menceritakan, yang secara ringkas sebagai berikut:

“Kami tengah berada di samping Nabi Sallallahu ‘Alahi Wasallam menjelang siang, lalu tiba-tiba datanglah sekelompok orang yang bertelanjang kaki dan telanjang badan dengan hanya mengenakan pakaian dari kulit yang dibakar sampai berlobang, sambil menenteng pedang. Umum-nya mereka dari Kabilah Mudhar, bahkan semua mereka dari Mudhar. Maka wajah Rasulullah Sallallahu ‘Alahi Wasallam berubah merah ketika melihat keadaan mereka yang melarat. Beliau masuk lalu kembali keluar, dan memerintahkan Bilal untuk adzan dan kemudian iqamah. Kemudian beliau shalat (mengimami kaum Muslimin), lalu berdiri dan bersabda :

يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabbmu yang telah menciptakan kamu dari yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) namaNya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (An-Nisa: 1)

Lalu membaca ayat yang terdapat di dalam surat al-Hasyr :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسُُ مَّاقَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللهَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah.” (Al-Hasyr: 18)

Lalu sabda beliau :

تَصَدَّقَ رَجُلٌ مِنْ دِيْنَارِهِ، مِنْ دِرْهَمِهِ، مِنْ ثَوْبِهِ، مِنْ صَاعِ بُرِّهِ، مِنْ صَاعِ تَمْرِهِ.

“Hendaklah seseorang bersedekah dari uang dinarnya, dari uang dirhamnya, dari pakaiannya, dari sha’ gandumnya, dari sha’ kurmanya.”

Sampai beliau bersabda, وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ “Sekalipun hanya dengan separuh dari sebutir kurma.”

Maka seorang lelaki datang membawa sekantong (sedekahnya) sampai telapak tangannya tidak sanggup membawanya. Dan kemudian orang-orang pun silih berganti berdatangan membawa sedekahnya, sampai aku (kata Jarir) melihat dua tumpuk makanan dan pakaian, sehingga aku melihat wajah Rasulullah Sallallahu ‘Alahi Wasallam berbinar bagaikan tersepuh emas.

Dan ketika itulah Rasulullah Sallallahu ‘Alahi Wasallam bersabda :

مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ .

“Barangsiapa yang memberikan suatu contoh perbuatan baik dalam Islam, maka dia mendapatkan pahala perbuatan tersebut dan pahala orang yang mengamalkannya setelahnya, tanpa mengurangi sedikit pun dari pahala-pahala mereka.”

Begitulah riwayat Jarir radiyallahu ‘anhu secara ringkas.

Jama’ah Jum’at yang Dirahmati Allah

Perhatikanlah baik-baik momen dan kondisi di mana Rasulullah Sallallahu ‘Alahi Wasallam bersabda tadi; seorang laki-laki datang membawa sedekahnya yang kemudian diikuti oleh para sahabat yang lain. Dan yang dilakukan laki-laki tersebut adalah suatu sunnah yang sudah ada, bukan bid’ah yang dia buat, maka jelaslah bahwa سُنَّةً حَسَنَةً dalam hadits di atas adalah menghidupkan perbuatan baik yang disyariatkan Nabi Sallallahu ‘Alahi Wasallam dan bukan bid’ah yang dibuat-buat.

Kedua : Sabda Nabi Sallallahu ‘Alahi Wasallam مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً tidak mungkin dimaknai dengan membuat suatu ajaran baru dari pokok dasarnya. Hal itu karena baik dan buruknya sesuatu, tidak akan diketahui kecuali dengan dalil syar’i, dan akal sama sekali tidak mempunyai kapasitas untuk mengatakan ini baik atau ini buruk dalam ajaran Agama. Hanya ahli bid’ah dan orang-orang yang mendewakan akal yang menggunakan barometer akal untuk mengatakan ini baik dan ini buruk dalam Syari’at.

Ketiga : Sabda Nabi Sallallahu ‘Alahi Wasallam, مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً tidak mungkin dimaknai dengan, “Barangsiapa yang membuat suatu bid’ah yang baik dalam Islam.” Karena bila demikian maka sabda Nabi Sallallahu ‘Alahi Wasallam, كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ akan bermakna, كُلُّ سُنَّةٍ ضَلَالَة (semua sunnah adalah sesat), dan ini adalah kesesatan yang sangat berbahaya.

Syubhat Kedua : Ahli bid’ah berdalil dengan atsar berikut :

مَا رَآهُ الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهَ حَسَنٌ، وَمَا رَأَوْهُ سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللهَ سَيِّئٌ.

“Apa yang dilihat oleh kaum Muslimin sebagai suatu yang baik, maka dia adalah baik di sisi Allah, dan apa yang dilihat oleh kaum Muslimin sebagai suatu yang buruk, maka ia adalah suatu yang buruk di sisi Allah.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan lainnya).

Syubhat ini kita jawab dengan beberapa hujjah :

Pertama : Atsar ini tidak marfu’ kepada Nabi Sallallahu ‘Alahi Wasallam akan tetapi hanya mauquf sampai Ibnu Mas’ud radiyallahu ‘anhu.

Imam az-Zaila’i dalam Nashb ar-Rayah 4/133 berkata, “Gharib dengan sanad marfu’, dan saya tidak mendapatkannya kecuali mauquf kepada Ibnu Mas’ud.” Hal senada dikatakan juga oleh Ibnul Jauzi, Ibnu Abdul Hadi dan Ibnul Qayyim.

Karena itu, atsar ini tidak boleh dijadikan sebagai hujjah untuk menolak hadits Nabi Sallallahu ‘Alahi Wasallam yang marfu’, shahih, dan qath’i ibahwa, “Semua bid’ah adalah sesat.”

Kalaupun bisa dijadikan sebagai hujjah, maka atsar ini sama sekali tidak bertentangan dengan hadits-hadits Nabi Sallallahu ‘Alahi Wasallam yang lain. Ini adalah dari beberapa sisi:

1. Bahwa makna dari “Apa yang dilihat oleh kaum Muslimin sebagai suatu yang baik, maka dia adalah baik di sisi Allah” adalah: apa yang disepakati oleh para sahabat (ijma’ ash-Shahabah); sebagaimana yang jelas terlihat dari rangkaian kalimatnya. Ini diperkuat oleh riwayat lengkap perkataan Abdullah bin Mas’ud di atas. Kata beliau sebagaimana di dalam al-Musnad no. 3589,

إِنَّ اللهَ نَظَرَ فِي قُلُوْبِ الْعِبَادِ فَوَجَدَ قَلْبَ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم خَيْرَ قُلُوْبِ الْعِبَادِ، فَاصْطَفَاهُ لِنَفْسِهِ فَابْتَعَثَهُ بِرِسَالَتِهِ، ثُمَّ نَظَرَ فِي قُلُوْبِ الْعِبَادِ بَعْدَ قَلْبِ مُحَمَّدٍ فَوَجَدَ قُلُوْبَ أَصْحَابِهِ خَيْرَ قُلُوْبِ الْعِبَادِ، فَجَعَلَهُمْ وُزَرَاءَ نَبِيِّهِ يُقَاتِلُوْنَ عَلَى دِيْنِهِ؛ فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهَ حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللهَ سَيِّئٌ.

“Sesungguhnya Allah melihat ke dalam hati hamba-hamba(Nya) dan mendapatkan bahwa hati Muhammad Sallallahu ‘Alahi Wasallam adalah hati yang paling baik, maka Allah memilihnya untuk dirinya lalu mengutusnya dengan risalahNya. Allah kemudian melihat ke dalam hati hamba-hamba(Nya) setelah hati Nabi Muhammad, maka Allah mendapat-kan bahwa hati-hati para sahabatnya adalah hati-hati hamba yang paling baik, maka Allah menjadikan mereka sebagai para wazir (orang-orang dekat) NabiNya, dan mereka berperang di atas AgamaNya; maka apa yang dilihat oleh kaum Muslimin sebagai suatu yang baik, dia adalah baik di sisi Allah, dan apa yang dilihat oleh kaum Muslimin sebagai suatu yang buruk, maka ia adalah suatu yang buruk di sisi Allah.”

Penggalan terakhir dari atsar ini juga diriwayatkan oleh al-Hakim, dan terdapat tambahan berbunyi,

وَقَدْ رَأَى الصَّحَابَةُ جَمِيْعًا أَنْ يَسْتَخْلِفُوْا أَبَا بَكْرٍ.

“Dan sesungguhnya para sahabat semuanya berpandangan (sama) untuk mengangkat Abu Bakar sebagai khalifah.”

2. Sisi pertama tadi diperkuat oleh kenyataan bahwa atsar ini, oleh banyak ulama hadits diletakkan dalam bab ijma’. Sebagai contoh: Imam al-Bazzar, di dalam Kasif al-Astar 1/81, meletakkannya dalam Bab al-Ijma’, begitu pula al-Haitsami di dalam Majma’ az-Zawa`id 1/177.

3. Atsar ini dijadikan sebagai dalil dalam masalah ijma’ oleh para ulama.

Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata, “Atsar ini mengandung hikayat tentang ijma’nya para sahabat dalam mendahulukan Abu Bakar.”

Ibnul Qayyim dalam al-Furusiyah hal. 60, setelah menyebutkan atsar tersebut, ketika membantah orang-orang yang berdalil dengannya untuk membela adanya bid’ah yang baik, mengatakan, “Kalaupun atsar ini shahih secara marfu’, maka ini adalah dalil bahwa apa yang disepakati oleh kaum Muslimin dan dipandang oleh me-reka sebagai suatu yang baik, maka ia adalah baik di sisi Allah, dan bukan yang dianggap baik oleh sebagian mereka. Sehingga berdasarkan keterangan ini, atsar tersebut adalah hujjah yang melawan kalian.”

Ibnu Qudamah dalam Raudhah an-Nazhir hal. 86 mengatakan, “Khabar ini adalah dalil yang menunjukkan bahwa ijma’ adalah hujjah, dan tidak ada khilaf atasnya.”

Lebih jelas lagi Imam asy-Syathibi dalam al-I’tisham berkata, “Zahir atsar ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang oleh kaum Muslimin secara global sebagai suatu yang baik, dan umat ini tidak akan bersepakat atas kebatilan, maka kesepakatan (ijma’) mereka tersebut adalah suatu yang baik, yang juga menunjukkan bahwa itu juga baik secara syar’i; karena ijma’ mengandung dalil syar’i.”

Begitu pula Imam Ibnu Hazm dalam al-Ihkam Fi Ushul al-Ah-kam 6/197, setelah beliau menyebutkan atsar Ibnu Mas’ud tersebut, beliau berkata, “Ini adalah ijma’ yang tidak boleh ditolak apabila telah diyakini (sebagai suatu ijma’), dan bukan apa yang hanya dipandang baik oleh sebagian kaum Muslimin saja…”

Semua perkataan para ulama ini, adalah sebagian kecil di antaranya, sangat jelas bahwa yang dimaksud oleh Ibnu Mas’ud dengan perkataannya tersebut, “… Apa yang dilihat oleh kaum Muslimin sebagai suatu yang baik maka dia adalah baik di sisi Allah”, adalah apa yang di ijma’kan (disepakati) oleh kaum Muslimin. Dan di sini kita katakan kepada mereka yang menjadikan atsar ini sebagai dalil untuk mengatakan bahwa ada bid’ah hasanah, “Bisakah anda mendatangkan satu bid’ah saja yang disepakati oleh semua kaum Muslimin bahwa itu adalah baik?”

Kedua : Sangat tidak masuk akal bila atsar Ibnu Mas’ud ini dijadikan dalil untuk membenarkan atau menganggap baik suatu bid’ah, karena Ibnu Mas’ud adalah seorang sahabat Nabi Sallallahu ‘Alahi Wasallam yang paling gigih berpegang kepada sunnah Nabi Sallallahu ‘Alahi Wasallam, itu pertama, dan kedua, beliau adalah seorang sahabat yang paling keras melarang bid’ah. Beliaulah yang mengatakan :

اِتَّبِعُوْا وَلَا تَبْتَدِعُوْا فَقَدْ كُفِيْتُمْ.

“Kalian ikutilah Nabi Sallallahu ‘Alahi Wasallam dan jangan membuatbuat bid’ah, karena sungguh kalian telah dicukupkan (dengan Agama yang sempurna).” (Diriwayatkan oleh ad-Darimi).

Jama’ah Jum’at yang Dirahmati Allah

Syubhat Ketiga : Mereka mengatakan, “Kata كُلُّ (setiap atau semua) dalam hadits كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَة (setiap bid’ah adalah kesesatan), tidak berlaku sebagaimana umumnya, berdasarkan Firman Allah Subhanahu Wata’ala, “Yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya,” (Al-Ahqaf: 25), dan buktinya, angin (yang menjadi subyek dalam rangkaian potongan ayat tersebut) tidak menghancurkan segala sesuatu. Ini menunjukkan bahwa kata كُلُّ bukan se-bagaimana keumumannya.”

Kita jawab :

Kata كُلُّ (setiap atau semua) di sini adalah sebagaimana ke-umumannya, karena dia berkaitan dengan lafazh “dengan perintah Tuhannya,” sehingga angin tersebut menghancurkan segala sesuatu yang diperintahkan Tuhannya, dan bukan berarti menghancurkan segala sesuatu yang ada di dunia.

Lihat tafsir ayat ini dalam Tafsir ath-Thabari maupun Tafsir al-Qurthubi.

Syubhat Keempat : Pemahaman mereka yang keliru terhadap perkataan Umar bin al-Khaththab radiyallahu ‘anhu :

نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هذه.ِ

“Ini adalah sebaik-baik bid’ah.”

Diriwayatkan oleh al-Bukhari.

Kita Jawab :

Pertama : Umar bin al-Khaththab radiyallahu ‘anhu mengatakan kalimat ini, ketika beliau mengumpulkan kaum Muslimin kala itu untuk melak-sanakan Shalat Tarawih di bawah pimpinan seorang imam, dan Shalat Tarawih bukan suatu yang bid’ah, bahkan itu adalah sesuatu yang sunnah, yang pernah dilakukan oleh Nabi Sallallahu ‘Alahi Wasallam secara berjama-‘ah. Maka Shalat Tarawihnya sendiri dan berjama’ahnya adalah sunnah yang tsabit, dan sama sekali bukan suatu yang bid’ah.

Kedua : Bila ini telah kita pahami, maka perkataan Umar tersebut, “Ini adalah sebaik-baik bid’ah”, adalah bid’ah lughawi (bahasa) dan bukan bid’ah syar’i. Karena semua bid’ah syar’i adalah tercela, tidak ada yang baik.

Mengenai ini al-Hafizh Ibnu Rajab berkata dalam Jami’ al-Ulum wa al-Hikam, “Apa yang terdapat di dalam perkataan ulama salaf yang menyatakan sebagian bid’ah itu baik, maka itu hanya bid’ah lughawiyah dan bukan bid’ah syar’iyah.” Dan Ibnu Rajab kemudian menyebutkan perkataan Umar bin al-Khaththab tersebut.

Jama’ah Jum’at yang Dirahmati Allah

Syubhat Kelima : Dibukukannya al-Qur`an dalam bentuk satu kitab, yang tidak pernah dilakukan di zaman Rasulullah Sallallahu ‘Alahi Wasallam.

Jawaban kita :

Pertama : Pada zaman Rasulullah Sallallahu ‘Alahi Wasallam, al-Qur`an telah ditulis dalam bentuk lembaran-lembaran. Ini berdasarkan Firman Allah Subhanahu Wata’ala :

رَسُوْلٌ مِّنَ اللهِ يَتْلُوْا صُحُفًا مُّطَهَّرَةً

“(Yaitu) seorang Rasul dari Allah (Muhammad) yang membacakan lembaran-lembaran yang disucikan (al-Qur`an).” (Al-Bayyinah: 2)

Juga berdasarkan sabda Nabi Sallallahu ‘Alahi Wasallam :

لَا تَكْتُبُوْا عَنِّيْ، وَمَنْ كَتَبَ عَنِّيْ غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ.

“Janganlah kalian menulis (segala sesuatu) dariku, dan barangsiapa yang menulis dariku selain al-Qur`an, maka hendaklah dia meng-hapusnya.” (Diriwayatkan oleh Muslim no. 3004).

Hanya saja ketika itu masih tertulis pada pelepah kurma, pada lembaran-lembaran dan lempengan batu putih (yang biasa dipakai menulis kala itu), sebagaimana yang tersirat jelas dari perkataan Zaid bin Tsabit, ketika diperintahkan untuk membukukan al-Qur`an. (Lihat Shahih al-Bukhari no. 4986).

Kedua : Dibukukannya al-Qur`an dalam satu kitab adalah berdasarkan kesepakatan para sahabat Nabi Sallallahu ‘Alahi Wasallam dan telah diketahui oleh kita semua, bahwa kesepakatan (ijma’) para sahabat adalah hujjah yang sama sekali tidak mengandung keraguan.

Di sini mungkin ada yang bertanya, “Jika demikian, lalu kenapa Rasulullah tidak melakukan hal itu?”

Kita jawab: Karena adanya penghalang untuk mengumpulkan al-Qur`an yaitu, karena al-Qur`an terus turun sedikit demi sedikit semasa hidup Rasulullah Sallallahu ‘Alahi Wasallam, dan belum sempurna turun semuanya di mana terkadang ada ayat yang dimansukh oleh Allah dan sebagai-nya, dan ketika al-Qur`an telah sempurna turun semuanya maka penghalang itu telah tiada ditandai dengan wafatnya Nabi Sallallahu ‘Alahi Wasallam, maka para sahabat pun melakukan pengumpulan al-Qur`an.

Jama’ah Jum’at yang Dirahmati Allah

Syubhat Keenam : Sebagian orang berdalil dengan perkataan Imam asy-Syafi’i rahimhullah, “Bid’ah itu ada dua: Bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela; maka apa yang sesuai dengan as-Sunnah, itu adalah terpuji, dan apa yang bertentangan dengan as-Sunnah, maka itu adalah tercela.

Jawaban Kita :

Pertama : Perkataan Imam asy-Syafi’i ini -kalau dia shahih, karena di antara ulama ada yang mempermasalahkan keshahihan penisbatannya kepada beliau- tidak boleh bertabrakan atau bahkan mentakhshish keumuman hadits Rasulullah Sallallahu ‘Alahi Wasallam.

Sebagian murid Imam asy-Syafi’i menukil dari beliau, “Bahwa-sanya perkataan seorang sahabat tidak bisa dijadikan sebagai hujjah -sekalipun perkataan beliau yang dinukil ini mengandung kritik dari segi keabsahan-.” Kalau perkataan seorang sahabat Nabi Sallallahu ‘Alahi Wasallam saja tidak bisa dijadikan sebagai hujjah, maka bagaimana perka-taan Imam asy-Syafi’i bisa menjadi hujjah?

Kedua : Bagaimana mungkin Imam asy-Syafi’i berpandangan ada bid’ah hasanah padahal beliaulah yang paling sengit menentang istihsan (yaitu, memandang baik sesuatu lalu dijadikan landasan hukum)? Bahkan terkenal satu riwayat dari beliau, bahwa beliau berkata, “Barangsiapa yang melakukan istihsan maka dia telah membuat syari’at.” Oleh karena itu, maka barangsiapa yang ingin menafsirkan perkataan Imam asy-Syafi’i, hendaklah dia mengikuti manhaj beliau yang tegak di atas as-Sunnah.

Ketiga : Perkataan Imam asy-Syafi’i ini sebenarnya sama dengan yang dimaksud oleh Umar ketika mengatakan,
“نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هذِهِ (Ini adalah sebaik-baik bid’ah).” Hal itu karena ketika Imam asy-Syafi’i menyebutkan perkataannya tersebut, beliau berdalil dengan perkataan Umar itu sendiri, itu pertama, dan yang kedua, ketika beliau menyebutkan bid’ah hasanah, beliau lalu mengatakan, “… seperti tindakan Umar yang menghidupkan Shalat Tarawih secara berjama’ah”, dan sudah kita katakan bahwa Shalat Tarawih secara berjama’ah bukan suatu yang bid’ah, melainkan sunnah yang tsabit dari sabda dan perbuatan Nabi Sallallahu ‘Alahi Wasallam.

بَارَكَ الله لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ وَجَعَلَنَا الله مِنَ الَّذِيْنَ يَسْتَمِعُوْنَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُوْنَ أَحْسَنَهُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هذا وَأَسْتَغْفِرُ الله لِيْ وَلَكُمْ وَلِجَمِيْعِ الْمُسْلِمِيْنَ

KHUTBAH KEDUA :

اَلْحَمْدُ لله الَّذِيْ أَرْسَلَ رَسُوْلَهُ بِالْهُدَى وَدِيْنِ الْحَـقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُوْنَ
أَشْهَدُ أَنْ لَا اله إِلاَّ الله وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ الله
قَالَ الله تعالى :(( يَاأَيُّهاَ الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا الله حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ ))
اللهم صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى أله وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ.
أَمَّا بَعْدُ:

Jama’ah Jum’at yang Dirahmati Allah

Tentu masih ada sejumlah syubhat yang dimunculkan oleh para penganut bid’ah, akan tetapi apa yang kami sebutkan di sini, kami anggap sudah cukup mewakili apa yang selama ini mereka jadikan sebagai dasar, dan semua jawaban terhadap setiap syubhat yang kami angkat di sini, mudah-mudahan memberikan kita tambahan ilmu dan keyakinan bahwa bid’ah itu tidak ada yang hasanah, tidak ada yang baik. Semua bid’ah adalah sesat sebagaimana yang disabdakan Nabi Sallallahu ‘Alahi Wasallam.

Dan bila kita telah berkeyakinan bahwa semua bid’ah itu adalah sesat, maka masing-masing kita dituntut untuk meninggalkan dan bahkan memerangi bid’ah sebagaimana yang dilakukan oleh para ulama.

Jama’ah Jum’at yang Dirahmati Allah

Sebagai akhir dari khutbah ini, saya ingin mengingatkan kita semua akan sebuah hadits Nabi Sallallahu ‘Alahi Wasallam yang mungkin di antara kita ada yang belum pernah mendengarnya, atau belum pernah men-dapatkannya. Nabi Sallallahu ‘Alahi Wasallam bersabda :

إنَّ اللهَ حَجَبَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعَ بِدْعَتَهُ.

“Sesungguhnya Allah menutup hijab taubat dari setiap pelaku bid’ah sampai dia meninggalkan bid’ahnya.” (Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dan sanadnya hasan, dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib Wa at-Tarhib no. 54).

إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

اللهم صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. اللهم بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
اللهم اغْـفِـرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْـفِـرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ، رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. اللهم إِنَّا نَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى. اللهم إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيْعِ سَخَطِكَ. وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. وَصَلى الله عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ.

( Dikutip dari buku : Kumpulan Khutbah Jum’at Pilihan Setahun Edisi Kedua, Darul Haq, Jakarta. Diposting oleh Wandy Hazar S.Pd.I )