DALIL KESEMBILAN BELAS: PEMBAHASAN DAN BANTAHANNYA

Maliki menyebutkan dalil kesembilan belas, dengan berkata,
“Apa saja yang didukung dalil-dalil syar’i, pembuatannya tidak dimaksudkan untuk melanggar syariat, dan tidak ada unsur kemungkarannya, maka termasuk ajaran agama. Perkataan orang fanatik bahwa hal ini tidak pernah dilakukan ulama salaf bukan menjadi dalil. Ini diketahui betul oleh orang-orang yang mempelajari ushul fiqh. Allah dan Rasul-Nya menamakan bid’ah memberi petunjuk sebagai Sunnah dan menjanjikan pahala bagi pelakunya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Barangsiapa melakukan kebiasaan baik dalam Islam, lalu dikerjakan orang sesudahnya, ia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun’.”

Dalil ini pengulangan dalil kelima belas. Jika dalil kelima belas telah dipaparkan Maliki dan dibantah secara global dan rinci. Dalil kesembilan belas ini merupakan ringkasan dalil kelima belas. Kita layani Maliki di pengulangan perkataannya yang membosankan. Kita katakan, perayaan Maulid tidak didukung dalil syar’i, baik dalil umum maupun khusus. Pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, masa sahabat, masa tabi’in, dan masa tabi’ tabi’in, tidak ada ada seorang pun yang menyelenggarakan perayaan Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, baik dalam bentuk massal maupun perorangan. Juga tidak ada pembacaan syair-syair pujian untuk beliau di perayaan Maulid pada setiap tahun. Syair-syair pujian hanya dibacakan pada moment dan kondisi tertentu. Hadits yang menunjukkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa pada hari Senin setiap pekan dan analisis bahwa hari Senin hari kelahiran beliau bukan dalil disyariatkannya perayaan Maulid. Sebab puasa satu hari setiap pekan tidak sama dengan perayaan Maulid setiap tahun. Di perayaan Maulid terdapat berbagai kemungkaran, syirik, dan kebatilan yang hanya diketahui Allah. Puasa hari Senin merupakan kebaikan mutlak, sedang perayaan Maulid jika tidak merupakan kejahatan mutlak maka madharatnya tidak sebanding dengan kebaikannya jika ada. Ketika ditanya tentang puasa hari Senin dan Kamis, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّهُمَا يَوْمَانِ تُعْرَضُ اْلأَعْمَالُ فِيْهِمَا عَلَى اللهِ، فَأُحِبُّ أَنْ يُعْرَضَ عَمَلِيْ وَأَنَا صَائِمٌ.

“Hari Senin dan Kamis merupakan hari semua amal dihadapkan kepada Allah. Aku ingin amalku dihadapkan, sementara aku dalam keadaan puasa.”

Jadi, puasa Senin hukumnya sunnah disebabkan beberapa hikmah. Hikmahnya yang paling penting ialah hari itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dilahirkan, hari turunnya Al-Qur’an, dan perbuatan hamba diperlihatkan kepada Allah pada hari itu. Kami katakan kepada Maliki, perayaan Maulid merupakan bid’ah yang bertentangan dengan syariat, tidak punya landasan hukum dalam Islam, tidak pernah dikerjakan generasi yang layak menjadi rujukan, orang-orang yang jejak mereka perlu diikuti, diteladani, dan dijadikan petunjuk: para sahabat, tabi’in, dan tabi’ tabi’in. Perayaan Maulid merupakan bid’ah yang diciptakan makhluk terjelek di muka bumi: orang-orang Qaramithah dan Rafidhah. Jika perayaan Maulid itu baik, tentu sudah dikerjakan sejak dulu oleh orang-orang yang lebih antusias pada kebaikan daripada kita, orang-orang yang lebih tahu jalan menuju kebaikan daripada kita, orang-orang yang lebih bertakwa dalam mengikuti petunjuk daripada kita, orang-orang yang lebih jujur cintanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam daripada kita, dan apa saja yang beliau cintai, yaitu manhaj kebaikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat dengan meninggalkan manhaj sebagai jalan jelas untuk kita: malamnya bagai siang dan siapa saja menyimpang darinya maka binasa. Setelah ayat terakhir turun kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagi kalian.” (Al-Maidah: 3).

Tidak dibenarkan mengadakan perayaan Maulid dengan dalih ingin menyempurnakan agama dan nikmat, serta meridhai Islam sebagai agama kita. Apakah Tuhan Anda lupa? Allah Mahatinggi dan Mahasuci. Ataukah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidak serius menyampaikan risalah dan lupa menyampaikan perintah melaksanakan perayaan Maulid? Apakah beliau sengaja mengharamkan kita mendapat pahala agung dan kedekatan dengan Allah Ta’ala saat beliau tidak mau menjelaskan kepada kita keutamaan besar pada perayaan Maulid dan kebaikan luas, seperti anggapan dan dugaan tokoh bid’ah, Muhammad Alwi Maliki? Mahasuci Engkau ya Allah, ini tuduhan keji.

Adapun pernyataan Maliki bahwa perayaan Maulid tidak mengandung unsur kemungkaran, maka tidak benar, baik secara global atau rinci. Maliki sendiri tahu kebohongannya dan kebatilan ucapannya.

Di perayaan Maulid terjadi hubungan bebas antara laki-laki dengan wanita, pementasan musik, tarian, dan nyanyian, baik sendiri-sendiri atau massal. Juga pemborosan jamuan makan dengan berbagai macam makanan dan minuman. Juga ada penggalangan dana dengan cara menipu orang-orang yang tidak berakal sehat.

Walaupun Maliki dapat membersihkan perayaan Maulid dari berbagai kemungkaran. Pada kenyataannya, seabrek kemungkaran itu merupakan ciri khas perayaan Maulid. Jika Maliki tidak mengakui hal-hal ini di praktek perayaan Maulid, ia tidak mampu mengingkari hal lain yang lebih parah lagi. Yaitu syair-syair pujian yang dibacakan di perayaan Maulid. Syair-syair tersebut sangat berlebihan dan mengangkat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada derajat rububiyah dan uluhiyah. Menurut syair-syair itu, beliau punya hak tidak memberi dan hak memberi, kekuasaan tidak terbatas atas segala sesuatu, beliau tempat berlindung, pemelihara, tempat bergantung, memiliki kunci-kunci langit dan bumi, cahaya yang tidak ada bayangannya di matahari dan bulan, semua makhluk diciptakan demi beliau, kuburan beliau lebih mulia dari Ka’bah, malam kelahiran beliau lebih mulia dari Lailatul Qadar, beliau memiliki hak membagi lahan di surga, dan mengetahui lima perkara yang merupakan hak prerogatif Allah, padahal Allah Ta’ala berfirman,

“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat dan Dia Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada di rahim. Dan tiada seorang pun dapat mengetahui apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Luqman: 34).

Juga klaim bahwa perbuatan manusia diperlihatkan kepada beliau dan hal-hal lain yang tidak pernah dikatakan Abu Jahal, Abu Lahab, Ubay bin Khalaf, tokoh kafir, syirik, dan durhaka lain. Mereka saja mengakui rububiyah Allah dan mengemukakan alasan atas ibadah mereka kepada berhala, “Kami tidak menyembah mereka, melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (Az-Zumar: 3).

Maliki juga tidak mampu mengingkari berbagai khayalan dan ilusi di perayaan Maulid, yaitu kehadiran ruh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kewajiban berdiri bagi hadirin sebagai penghormatan pada beliau. Keyakinan semacam ini membuka pintu-pintu bagi setan berikut pembantu-pembantunya dari kalangan jin dan manusia untuk merusak umat dan menjauhkan mereka dari wirid-wirid bersih di syariat Islam. Juga menimbulkan dampak buruk, yaitu terpecah-belahnya umat, kerusakan akidah mereka, dan menjamurnya kelompok-kelompok sesat di antara mereka, seperti Qadiyani, Ismailiyah, Nushairiyah, berbagai tarikat kaum sufi, dan Rafidhah.

Apakah setelah ini Maliki bisa berkata perayaan Maulid tidak mengandung kemungkaran? Setelah kita membongkar seabrek kemungkaran dan syirik di perayaan Maulid dan Maliki dengan akal yang dianugerahkan Allah kepadanya mampu membedakan kebenaran dengan kebatilan, maka apakah setelah ini ia mengakui bahwa perayaan Maulid itu bid’ah, tidak didukung dalil-dalil syar’i, bertentangan dengan tujuan syariat, mengandung kerusakan dan kemungkaran, serta membuka seluas-luasnya pintu-pintu syirik kepada Allah?