Hal-Hal yang Berhubungan Dengan Sutrah

Berkaitan dengan hukum-hukum dalam permasalahan sutrah, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, di antaranya:

  • Sutrah dalam shalat berjama’ah adalah tanggung jawab seorang imam. Jika dia tidak mengambil sutrah maka yang demikian adalah kesalahan dia dan bukan kesalahan makmum karena dalam shalat berjama’ah seorang makmum tidak wajib baginya sutrah sehinga tidak berhak mencegah orang yang lewat di depannya. Maka tidak benar jika dikatakan bahwa sutrah imam juga merupakan sutrah makmum, karena kalau demikian jika ada seseorang yang lewat di antara makmum maka sutrahnya imam mempunyai pengaruh dalam shalatnya sehingga dia wajib mencegahnya, dan yang demikian sangat tidak mungkin dikarenakan orang yang ada di belakang imam tidak hanya seorang melainkan berbaris-baris. Sebagaimana tidak benar juga jika dikatakan bahwa seorang imam adalah sutrah bagi orang yang ada di belakangnya. Dan dalil yang dapat dijadikan alasan adalah riwayat Ibnu Abbas yang menceritakan suatu ketika dia dan Fadl melewati di antara shaf pertama dengan menunggang keledai betina, namun tidak seorangpun dari Shahabat yang melarang dan mengingkarinya, bahkan Nabipun tidak mengingkari. (Lihat, HR. Muslim, 4/224).
  • Seorang makmum masbuq (tertinggal satu raka’at atau lebih dalam shalat berjama’ah) maka baginya diperbolehkan mendekat ke tempat yang dapat dijadikan sutrah setelah imam salam, baik ke depan, ke sisi kanan atau ke sisi kiri, jika jaraknya dekat. Dan jika agak jauh maka baginya tetap berdiri dan berusaha menghindar dari orang yang melewatinya. Hal ini dikarenakan pada asalnya seorang makmum yang masbuq seharusnya tetap shalat sebagaimana yang diperintahkan, dan dalam kondisi demikian tidak wajib baginya sutrah sebagaimana seorang yang menjadikan tunggangannya sebagai sutrah lalu tunggangannya menjauhinya, maka dalam kondisi demikian bukan kesalahannya. Sebagaimana yang dinukil az-Zarqaani dari imam Malik. (Lihat, Syarah aj-Jarqaani ‘ala Muhtashar Khalil, 1/208)
  • Jika seorang tidak mendapatkan sutrah setinggi yang ditentukan yaitu minimal sehasta, maka baginya tetap mengambil sutrah apapun bentuknya, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang seseorang shalat dengan tidak memakai sutrah dan tidak ada hadits yang jelas menerangkan tentang pengertian mu’aharah ar-rahl.
    Allah Ta’ala berfirman: “Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu ” (QS. at-Taghabun: 16).
    Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabila aku telah perintahkan kepada kalian suatu perkara, maka kerjakanlah darinya semampu kalian.” (HR. al-Bukhari, 13/251).
  • Tidak diperbolehkan shalat menghadap ke kubur, sebagaimana hadits riwayat Abi Murtsid, dia berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bewrsabda: “Janganlah kalian shalat menghadap ke kubur dan janglah kalian duduk di atasnya.” (HR. Muslim, 7/37).
  • Tidak ada perbedaan dan pengkhususan dalam penggunaan sutrah dalam shalat. Dan ini sebagai bantahan terhadap sebagian orang yang mengatakan bahwa sutrah tidak disyari’atkan di Makkah.