Melalui tema yang sangat membangkitkan ini, tema yang memberikan maksud tertentu, yaitu bahwa sesungguhnya perempuan di muka bumi ini diperbudak dan hak-haknya diinjak-injak. Buku pun ditulis, berbagai seminar dan konferensi diselenggarakan, seruan keras dan berbagai unjuk rasa dilakukan serta berbagai pertemuan dan lokakarya diadakan.

Kaum perempuan di tengah-tengah gelombang seruan ini mengira bahwa mereka benar-benar selama ini telah diperbudak. Maka mereka pun segera bangkit tanpa berfikir panjang, menuntut pembebasan dari perbudakan tersebut. Padahal, kalau sekiranya kaum perempuan mengetahui bahwa orang-orang yang menyerukan pembebasan perempuan, di Timur maupun di negara-negara barat, sebenarnya tujuan awal dan target akhir mereka adalah kaum perempuan terbebaskan dari nilai-nilai moral dan akhlak serta tercampakkan hingga terperangkap di dalam kebejadan moral yang sama sekali tidak layak dengan kemuliaan dan kehormatannya sebagai manusia setelah bangkit di balik seruan pembebasan yang mempunyai target rendahan, ia memberikan pembelaan dan kedudukan kepadanya, berjuang mati-matian untuk merealisasikan tujuan dan targetnya. Oleh karena dukungan dan konstribusi kaum perempuan di dalam mensukseskan seruan pembebasan ini, maka banyak sekali tujuan-tujuan yang telah mereka capai di berbagai belahan bumi ini.

Di Eropa dan Amerika, dengan bertameng pembebasan kaum perempuan, kaum perempuan sampai pada batas telanjang bulat di diskotik berpesta-pora menghibur para pahlawan pembebasan kaum perempuan; atau menjadi pembantu di restoran yang selalu siap menyajikan makan dan minuman untuk kaum pria dengan bisikan, rayuan dan penodaan kehormatan.

Atau menjadi karyawan di tempat-tempat hiburan malam menyajikan minuman keras untuk para pelanggan dan untuk para pengunjung tempat-tempat wanita tunasusila.

Bahkan lebih keji dari itu lagi, ada di antara perempuan yang menjual kehormatan dirinya kepada laki-laki jalang dengan simbol kebebasan.

Sungguh saya telah menyaksikan dengan kedua mataku di salah satu negeri di Eropa, wanita-wanita cantik yang mengenakan pakaian sangat tidak sopan bertengger di pinggir jalan-jalan umum menawarkan dirinya secara terang-terangan kepada setiap laki-laki yang melintasinya dengan tanpa ada rasa malu sedikit pun. Seakan-akan masalah ini sudah biasa, tidak berhak untuk diingkari atau dianggap aneh. Itulah tujuan akhir yang menjadi target para penyeru kebebasan kaum wanita, yaitu wanita menjadi mainan kaum pria si mata jalang, ia mempermainkannya dengan sesuka hatinya dan menikmatinya dengan cara yang tidak benar. Lalu pada akhirnya dan sesudah terpenuhi semua kebutuhan biologisnya maka si laki-laki itu pun meninggalkannya seorang diri dengan menanggung pahitnya rasa hina, pelecehan dan kenistaan.

Adalah merupakan hal yang tidak dapat diragukan lagi adalah bahwasanya seruan kepada pembebasan kaum wanita tidak mempunyai arti lain selain menyebarkan kebejadan moral di masyarakat dengan cara mengeksploitasi tubuh kaum wanita di panggung-panggung sandiwara dan perfilman, koran, televisi, majalah-majalah wanita dan tabloid-tabloid lain yang ungkapan-ungkapannya tiada lain selain ungkapan-ungkapan jorok, pemikiran kotor dan gambar-gambar wanita cabul.

Wanita pun dieksploitasi untuk mempromosikan berbagai barang hasil produksi dengan cara-cara yang tidak sejalan dengan kehormatan kaum wanita sebagai manusia yang mempunyai kehormatan.

Sebagai buah dari seruan pembebasan kaum wanita dari norma agama dan moral-akhlaq agar bergelimang di dalam buaian hedonesme, ada baiknya penulis menukil di sini apa yang dinukil oleh Dr. Muhammad al-Bahi di dalam bukunya “Al-Fikr al-Islami wal Mujtama’ al-Mu’ashir Musykilatul Usrah wat Takaful” halaman 201 yang ia nukil dari seorang koresponden Berita Harian berbahasa Ingris, untuk kita jadikan bahan renungan dan pelajaran.

Koresponden itu mengatakan dengan judul “Tempat perlindungan“rasa malu”: Di belakang jembatan rel Kereta Api yang berdampingan dengan terminal Dousldourf di Jerman dibangun sebuah gedung raksasa yang merupakan gedung terbesar di Eropa, kalau pun bukan yang terbesar di dunia. Di luarnya tidak tampak ada anak-anak yang tengah bermain dan tertawa-tawa ketika naik-turun gedung itu. Dan di dalamnya pun tidak ada kaum ibu yang membawa problema kehidupan sehari-hari.

Justru, di ruang tamu utama yang terbuka di bagian depan gedung itu penuh dengan kaum laki-laki sepanjang 24 jam setiap hari. Dan di samping jendela-jendelanya tampak gadis-gadis sedang duduk dengan pakaian dalam yang sangat transparan dengan wajah bersolek tebal.

Gedung tersebut merupakan sebuah percontohan khusus untuk sebuah upaya terakhir yang dilakukan di Jerman Barat untuk menanggulangi problematika “hubungan seks ilegal”.

Secara singkat: Gedung raksasa ini adalah tempat persinggahan anak-anak perempuan jalanan, yang dikenal di kalangan penduduk setempat dengan “pabrik seks”, dan pada kalangan tentara Inggris yang mangkal di sana dikenal dengan nama “Sarang Burung”.

Gedung itu dihuni oleh 200 remaja putri, mereka hidup dengan peraturan yang sangat ketat dan harus patuh kepada satu prinsip sebagaimana para mahasiswa yang tinggal di rumah kaum remaja. Mereka membayar uang iuran alakadarnya yang bernilai kurang lebih 2 (pound) dalam sehari untuk pembayaran satu kamar kecil untuk setiap orang, dana kebersihan dan makan yang mereka peroleh dari dapur umum.

Gedung ini dibagi menjadi empat bagian atau empat rumah, dan masing-masing dikelola oleh sepasang suami istri yang bertugas melakukan pengawasan secara ketat.

Nama-nama para gadis yang menghuni gedung raksasa ini, tercatat di kantor kepolisian setempat dan pada pihak kesehatan yang berwajib. Pihak kesehatanlah yang melakukan pemeriksaan kesehatan kepada mereka dua kali dalam seminggu. Siapa pun di antara mereka terindikasi mengidap penyakit, maka segera dilakukan pengobatan di salah satu balai kesehatan. Kebanyakan mereka berasal dari Jerman, adapula sebagian kecil berasal dari Prancis. Siapa saja di antara mereka melakukan kontrak di tempat lain di kota itu, maka ia dikenai sangsi hukuman berat berupa pekerjaan yang sangat berat pula.

Agar aktivitas di ruang tamu utama gedung ini tidak mengundang perhatian setiap pejalan kaki yang melintasinya, maka dibentangkanlah lembaran panjang veiber plastik untuk melindungi aktivitas di dalamnya.

Di situ terdapat kaum laki-laki yang mencapai sekitar 100 orang untuk melacur yang berasal dari berbagai kalangan. Ada yang berasal dari kalangan orang kaya, ada pula orang tua dan laki-laki remaja. Bahkan ada di antara mereka yang sudah mencapai usia 67 tahun.

Di ruang tamu utama yang terbuka inilah gadis-gadis remaja melintas untuk memamerkan diri mereka di hadapan para tamu dengan menggunakan payung untuk memancing daya tarik dan sekaligus berfungsi sebagai pelindung mereka dari rintik-rintik hujan yang terus turun di ruang tamu utama yang terbuka itu. Para gadis remaja itu melintas dengan mengerakan sepatu berhak tinggi, dan kebanyakan mereka masih berusia 20 tahunan. Di antara mereka ada yang mengenakan celana panjang super span. Di saat melintas masing-masing menyebutkan dengan suara berbisik harga bagi masing-masing gadis.

Sebagian lagi ada yang duduk-duduk di area terbuka dengan pakaian dalam yang transparan atau dengan pakaian tidur yang sangat pendek, mereka menampakan dirinya dengan perlahan di saat sinar terang menyinari dari belakang mereka dengan senyuman sambil memberi isyarat kepada kaum pria yang ada di ruang tamu terbuka untuk mengajak mereka kencan di biliknya.

Sungguh pemandangan ini adalah pemandangan yang berdosa, mirip dengan pasar budak/hamba sahaya di bawah langit berawan yang mencurahkan hujan rintik-rintik.

Karena saya ingin mengetahui lebih jauh, maka saya pun naik ke salah satu kamar di lantai pertama gedung itu. Saya di sambut oleh seorang perempuan yang berusia sekitar 30 tahun, ia hanya mengenakan pakaian pendek transparan yang bercorak bunga, pakaian yang biasa digunakan tidur. Kamar sederhana (kecil) yang dihuni oleh perempuan ini berisikan satu lemari pakaian, satu boks, satu meja dan satu kursi, seperangkat televisi, tape recorder dan satu pesawat telpon. Dan kebanyakan mereka sudah mempunyai pelanggan rutin yang sering menghubungi mereka untuk menentukan waktu kencan.

Di saat saya turun, saya melihat 4 orang wanita sedang minum kopi di ruang khusus bagi mereka yang tidak boleh dimasuki oleh siapa pun sekali pun dengan bayaran. Saya melihat hujan masih turun sementara para gadis-gadis di ruang tamu terbuka masih menawarkan dirinya kepada para kaum laki-laki, suatu penawaran yang mencabik-cabik kemanusiaan di bawah payung berwarnanya.

Saya segera berbicara kepada Doktor pimpinan yayasan ini, saya bertanya siapa saja pendukung kuat yang mempunyai pemikiran yayasan ini. Pimpinan yayasan pengelola gedung ini menjelaskan sebab-sebab dan proses hingga sampai pada keadaan seperti ini dan hasilnya adalah sebagai berikut:

“Awalnya di sini kami menemukan sekitar 4000 wanita yang menjual dirinya di pinggiran jalan “Dousldourf”. Tidak semua mereka sebagai wanita pekerja, di antara mereka masih berstatus sebagai mahasiswa di berbagai perguruan tinggi dan ada pula yang berstatus sebagai istri yang mempunyai keinginan keras untuk menambah penghasilan.

Hampir saja perkara ini tidak dapat dikendalikan, namun demikian tidak mungkin pula bagi wanita-wanita terhormat untuk berkeliaran di jalanan dengan rasa aman dari prasangka buruk dan pandangan yang keliru terhadap mereka. Masalah lalu lintas pun hampir menjadi macet disebabkan banyak sekali kendaraan (mobil) yang berjalan lambat atau berhenti untuk melakukan transaksi dengan perempuan-perempuan jalan itu, hingga pada akhirnya ada seorang perempuan pengelola tempat hiburan malam mengusulkan agar dibangun suatu gedung sebagai tempat tinggal perempuan-perempuan jalanan itu. Usulan perempuan itu pun disetujui oleh pihak yang berwajib, maka terwujudlah gedung besar itu”.

Itulah suatu gambaran atau salah satu akibat dari pembangkangan perempuan dari nilai-nilai agama dan akhlak mulia dengan dalih pembebasan yang terjadi di negara-negara Eropa, Amerika dan lain-lainnya yang sejalan.

Seruan yang ditegakkan di bawah motto yahudi ini mengatakan: “Manakala perempuan terbiasa melakukan keburukan, maka ia akan melakukan revolusi terhadap segenap umat di dunia ini”. Ia telah merambah ke Dunia Islam dan banyak sekali orang yang telah terpengaruh dengannya, bahkan terjadi polemik besar di kalangan para penulis dan para pemikir. Dan mereka telah melakukan tuntutan atau sedang melakukan tuntutan pembebasan wanita muslimah untuk meniru dan ber-uswah kepada wanita non muslimah.

Sesungguhnya sebagian mereka berpendapat bahwa setiap perbuatan baik atau perbuatan buruk apa saja yang dilakukan di masyarakat yang maju dari sisi teknologinya maka itulah yang baik dan yang berguna. Jika demikian, menurut pandangan mereka, maka bagi masyarakat lain hendaknya meninggalkan semua bentuk nilai dan moral dan sebagai gantinya adalah melakukan semua tradisi dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang telah mencapai kemajuan material itu!

Biasanya orang yang mempunyai pandangan seperti itu tidak mempunyai perhatian kepada masalah agama ataupun akhlak. Selain sangat mustahil sekali untuk melakukan peleburan suatu masyarakat dengan segala nilai dan moralitasnya pada suatu masyarakat yang lain yang berbeda nilai dan moralitasnya, sesungguhnya pendapat di atas tidak layak sama sekali untuk dihormati, karena tidak sejalan dengan logika akal sehat.

Sebagian lagi ada yang beranggapan (karena kebodohannya) bahwa sesungguhnya wanita muslimah itu hak-haknya telah dicabik-cabik. Padahal sebenarnya kalau orang-orang seperti mereka itu mau mempelajari hak-hak yang diberikan oleh Islam kepada kaum wanita yang belum pernah mereka peroleh dalam suatu masa atau di suatu masyarakat mana pun, niscaya mereka tidak melakukan seruan untuk membebaskan kaum wanita yang seolah-olah kaum wanita telah diperbudak. Lain halnya kalau yang mereka inginkan adalah apa yang diinginkan oleh para pendukung pembebasan kaum wanita, yaitu melucuti kewanitaan kaum wanita, menanggalkan kemuliaan dan kehormatannya hingga sama seperti wanita-wanita kafir yang tidak bermoral dan tidak menganut nilai-nilai luhur. Hal ini tentu tidak diridhai oleh seorang yang tulus membela masyarakat, dan itu adalah pemikiran yang wajib diperangi oleh setiap orang yang mempunyai kecemburuan terhadap agamanya, agar wanita muslimah tetap tampil beda dengan segala kesucian harga dirinya dan kesopanan dalam berpakaiannya daripada wanita-wanita kafir.

Cukuplah menjadi pelajaran bagi wanita muslimah agar tidak berjalan di belakang fatamorgana, kondisi psikologis yang diderita oleh wanita kafir. Mereka selalu dihantui oleh rasa gundah, gelisah, hati terasa hancur dan kehilangan segala-galanya sebagai hasil dari apa yang disebut pembebasan kaum wanita.

Di Denmark muncul berbagai unjuk rasa yang dilakukan oleh mahasiswi-mahasiswi berbagai perguruan tinggi dalam rangka menentang pelecehan pers terhadap kaum wanita karena telah diperalat dalam setiap hal yang dapat meruntuhkan martabatnya. Mereka meneriakkan: “Kami menolak dijadikan sebagai sesuatu (komoditi), kami ingin tetap berada di rumah. Maka kembalikanlah kewanitaan kami. Kami menolak hedonisme!!”.

Konon, seorang artis film Flouranda Bulkan disebutkan bahwa Rio De Janeiro benar-benar telah berobah secara total setelah sebelumnya ia meninggalkan kemanusiaannya. Ia bertobat total dan ia mengungkapkan sambil menangis pada jumpa pers di Roma: “Saat ini semua menghendaki mode dan hidup di atas mode, adapun saya sama sekali tidak mau mengikuti mode, yang saya inginkan adalah kewanitaan bukan yang lain. Sesungguhnya sesuatu yang menyudutkan saya adalah slogan yang bernama emansipasi wanita, sesungguhnya gerakan ini tidak akan berhasil merubah kenyataan. Yang ada, laki-laki akan tetap laki-laki dan wanita akan tetap sebagai wanita.”

Perempuan saat ini telah menjadi jelek dan menjijikkan. Seorang wanita bernama Cocoshaniyl mampu mewujudkan imperium bagi kaum wanita, namun ia sama sakali tidak pernah merobah menjadi laki-laki. Ia tetap sebagai seorang perempuan, bertindak seperti anak perempuan kecil atau lebih buruk dari itu. Jadi, jika begitu, kenapa harus tertipu dengan simbol “Kebebasan wanita”.

Sekarang, wanita telanjang di tepi-tepi pantai itu dianggap kemajuan (modern), wanita telanjang bulat di panggung sandiwara disebut seni…! Demikianlah tindak kajahatan itu makin berkembang, moral dan akhlak makin rapuh di bawah slogan “pembebasan kaum wanita” yang tidak melahirkan kecuali kesengsaraan. Dan wanita tetap akan hanyut di lembah kenistaan dan kesengsaraan selagi tunduk kepada slogan atau simbol “kebebasan kaum wanita” ini, simbol yang merupakan rekayasa musuh nilai-nilai moral dan akhlak di muka bumi ini.