Bahaya ini bisa berawal dari istri dan bisa pula bermula dari suami, kedua belah pihak sama-sama memiliki peluang dalam kadar yang sama dan porsi seimbang dalam memberi andil terjadinya perceraian. Penulis kurang setuju bila biang perceraian dibebankan atau ditimpakan kepada salah satu pihak, misalnya suami atau istri, sedangkan pihak yang lain bebas darinya, ini timbangan subyektif yang tidak adil. Intinya suami atau istri berpeluang menjadi aktor atau aktris bagi bubarnya rumah tanggahnya sendiri.

Bila berawal dari istri

Terkadang istri bertingkah polah yang memancing suaminya untuk mengucapkan kata cerai kepadanya, melawan dan membangkang kepada suami dalam hal-hal yang ma’ruf, merongrong suami dengan menuntut ini dan itu di luar batas kemampuannya, melalaikan tugas-tugas dan kewajibannya sebagai istri, berakhlak buruk dan membuat malu dan sederet tingkah laku yang tidak terpuji.

Semua itu membuat suami seolah-olah hidup dengan setan, dia merasa rumahnya bukan lagi surga tetapi neraka, akhirnya kata cerai bergelayut di benaknya, padahal secara umum kaum laki-laki lebih bisa berpikir panjang dan menimbang lebih cermat, kalau dia sudah memikirkan kata cerai, ini biasanya benang sudah kusut sehingga sangat sulit untuk diurai ujung pangkalnya.

Patut bagi istri menelaah diri dengan merenungkan adakah yang diperbuatnya selama sehari ini atau seminggu ini yang membuat jengkel, mengakibatkan kecewa dan memicu amarah suami? Hendaknya dia terus berusaha mencari titik-titik ridha suaminya selama tidak melenceng dari bingkai tuntunan agama dan membangun alur komunikasi kesepahaman dengan suami sehingga hubungan terjaga dengan baik.

Seyogyanya istri tidak sombong dengan menolak mengaku salah padahal sudah jelas-jelas dia salah, tidak usah berkelit atau mencari pembenaran, sikap seperti ini justru memicu kejengkelan suami, lha siapa yang tidak jengkel pada orang yang tidak mau mengaku salah padahal sudah jelas-jelas salah, akibatnya masalahnya memburuk, padahal sebelumnya bisa diatasi dengan sangat mudah, minta maaf dengan tulus, buang ego atau gengsi, gunakan cara-cara yang baik, sekalipun harus merayunya dan memberinya sesuatu, maka seketika kejengkelan suami mereda dan masalah pun berakhir dengan mulus dan selamat.

Bila berawal dari suami

Setali tiga uang, suami pun terkadang menjadi biang keladi bagi kekisruhan rumah tangga sehingga melukai hati istri dan menimbulkan kekecewaan berat dari istri, padahal istri sudah maksimal dan tulus berupaya membuat suaminya bahagia, tapi apa balasan suaminya? Sangat mengecewakan. Kalau sudah begini, salah siapa bila istri merajuk meminta cerai kepada suami? Istri mana yang tahan diperlakukan secara zhalim, tidak adil, tidak dihargai dan tidak dihormati oleh suami?

Kesewenang-wenangan suami dan menyia-nyikan hak-hak istri merupakan korek api penyulut api perceraian. Biasanya istri yang dikecewakan oleh suaminya akan melampiaskan kekecewaaannya tersebut dengan melakukan perlawanan atau pembangkangan terhadap suami, banyak membantah kata-kata suaminya, dalam benaknya tertulis, ‘Memang kamu saja yang bisa memperlakukan itu terhadapku? Aku pun bisa.’ Wah, kalau sudah begini bakalan terjadi perang.

Wanita adalah manusia perasa, saat rasa tertekan dalam rumah sudah diluar ambang kemampuan daya pikulnya, maka bukan lagi perasaan yang bekerja tetapi pertimbangan untung rugi yang berpijak kepada nalar. “Lebih baik berpisah dan hidup sendiri daripada harus memikul penderitaan dalam cengkeraman suami macam dia.” Begitu kira-kira yang ada dalam pikirannya.

Keadaan dan situasi semacam ini jelas sangat buruk bagi kehidupan rumah tangga, tidak ada jalan lain bila suami masih berhasrat mempertahankan biduk rumah tangganya kecuali memperbaiki diri, karena tidak bisa jadi sikap istri merupakan pembalasan dari sikapnya. Suami yang baik adalah suami yang bisa membuat istri selalu ingin berada di sampingnya dan dalam pelukannya, karena saat itu dia merasa dia mendapatkan ketenangan dan kedamaian. Seseorang yang kita perlakukan dengan sayang dan cinta, maka dia akan memperlakukan kita juga demikian.

Jalin kesepahaman

Tentu tidak ada suami atau istri yang tidak pernah membuat jengkel dan kecewa pasangannya, mana ada manusia yang seluruh sifat dan lakunya bisa diterima seluruhnya? Sehingga tidak bijak bila setiap kali jengkel dan kecewa langsung mematok kata cerai sebagai obatnya. Waduh, kalau sudah demikian, mana ada rumah tangga yang utuh? Betapa penuh sesak kantor-kantor pengadilan Agama menyidangkan tuntutan atau kasus perceraian.

Jalinlah ikatan kesepahaman dengan baik yang berpijak kepada komunikasi terbuka yang adil. Bangun pondasi saling menasihati dan mengingatkan dengan baik dan bijak. Buka dada lebar-lebar untuk menerima nasihat bila ia memang pada tempatnya, dengan begitu kehidupan Anda berdua akan berjalan dengan baik dan sebagaimana yang Anda harapkan.

Keluarga yang baik, pasangan suami istri yang mulia akan selalu mengedepankan keselarasan dan keharmonisan, bukan sebaliknya. Kedua belah pihak sama-sama punya tekad dan komitmen bertahan dan memperbaiki sampai akhirnya maut hadir menjemput. Kebersamaan ini jauh lebih mahal untuk Anda korbankan dengan kompensasi apa pun. Benar kebersamaan yang merupakan jembatan bagi Anda berdua untuk kembali bersama di surgaNya kelak. Allahumma amin.