Pasal :

Ketahuilah bahwa urutan tasyahud adalah dianjurkan bukan wajib, seandainya dia mendahulukan sebagian dari sebagian yang lain, maka hal tersebut dibolehkan menurut madzhab shahih yang terpilih yang dinyatakan oleh jumhur dan dikatakan oleh asy-Syafi’i dalam al-Um. Ada yang berkata, “Tidak boleh, sama dengan lafazh al-Fatihah.” Yang menunjukkan pembolehan adalah didahulukannya as-Salam di atas lafazh tasyahud di sebagian riwayat dan diakhirkannya ia di sebagian yang lain sebagaimana telah kami jelaskan (Orang yang shalat tidak boleh merubah urutan tasyahud dengan sengaja sementara dia mengetahui urutannya yang shahih. Siapa yang melakukan itu berarti dia -tanpa ragu- tidak melakukan tasyahud yang diperintahkan oleh Nabi Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dan beliau ajarkan kepada para sahabat, lebih dari itu dia telah main-main untuk mendapat resiko masuk dalam sabda Nabi, “Setiap amal yang tidak didasari ajaran agama kami, maka ia tertolak.” Adapun dalil yang disodorkan oleh an-Nawawi yaitu didahulukan dan diakhirkannya sebagian lafazh tasyahud, maka ia tidak memadai untuk dijadikan sebagai dalil karena dua alasan. Pertama: Pembahasan tentang didahulukan dan diakhirkan di sini hanya pada bentuk kalimat yang satu sedangkan dalilnya hadir pada bentuk kalimat yang berbeda-beda, jelas ini adalah qiyas dengan perbedaan. Kedua: Pendahuluan dan pengakhiran tidak terjadi pada semua lafazh, akan tetapi pada sebagian saja seperti yang anda lihat. Kalau begitu bagaimana ia layak dijadikan dalil dibolehkannya memutarbalikkan tasyahud dan menjungkir-balikkannya? Kebenaran yang dengannya kami beragama kepada Allah adalah bahwa tidak ada pendahuluan dan pengakhiran pada sedikit pun dari kalimat-kalimat tasyahud yang shahih ini. Semuanya adalah benar keluar dari Nabi Sallallahu ‘Alaihi Wasallam yang tidak berbicara dari hawa nafsu dan orang yang shalat boleh mengucapkan mana yang dia inginkan dan tidak halal baginya main-main dengan membuat lafazh tasyahud baru dari dirinya). Adapun al-Fatihah, maka lafazh dan urutannya adalah mukjizat, jadi tidak boleh dirubah.

Tidak boleh tasyahud dengan bahasa non Arab bagi orang yang mampu dengan bahasa Arab dan bagi yang tidak mampu, maka dia bertasyahud dengan lisannya dan belajar sebagaimana kami sebutkan di takbiratul ihram (Aku telah menjelaskan di sana bahwa tidaklah sah bertakbir dengan bahasa non Arab, sama halnya di sini, tasyahud dengan non Arab juga tidak sah dan siapa yang tidak mampu bertasyahud dengan bahasa Arab, maka hendaknya dia bertasbih, bertahmid dan bertakbir seukuran tasyahud. Inilah yang diwasiatkan oleh Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam kepada orang yang tidak bisa membaca al-Fatihah, dan tasyahud tentu lebih layak. Wallahu a’lam).

Sunnahnya adalah bertasyahud dengan suara pelan (sirr) berdasarkan kesepakatan kaum Muslimin.

Hal ini ditunjukkan oleh hadits yang kami riwayatkan dalam Sunan Abu Dawud dan Sunan at-Tirmidzi dan Sunan al-Baihaqi dari Abdullah bin Mas’ud radiyallahu ‘Anhu , dia berkata :

مِنَ السُّنَّةِ أَنْ يُخْفِيَ التَّشَهُّدَ.

“Termasuk sunnah membaca tasyahud secara samar (sirr).” (Shahih : Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Kitab ash-Shalah, Bab Ikhfa’ at-Tasyahhud, 1/324, no. 986; at-Tirmidzi, Kitab ash-Shalah, Bab Yukhfi at-Tasyahhud, 2/84, no. 291; Ibnu Khuzaimah no. 706; al-Hakim 2/267; al-Baihaqi 2/146: dari dua jalan, dari Muhammad bin Ishaq, dari Abdurrahman bin al-Aswad, dari bapaknya, dari Abdullah dengan hadits tersebut.

Ini adalah sanad dhaif dari tadlis Ibnu Ishaq dengan lafazh riwayat, ‘dari’. Akan tetapi al-Hakim 2/230 dan al-Baihaqi 2/146 meriwayatkan dari jalan Abdul Wahid bin Ziyad, al-Hasan bin Ubaidullah menyampaikan kepada kami dari Abdur-rahman bin al-Aswad dari bapaknya dari Abdullah dengan hadits tersebut. Al-Hafizh berkata, “Ini adalah mutaba’ah yang kuat bagi Ibnu Ishaq.” Ia juga mempunyai syahid dalam al-Hakim 2/230 dari hadits Aisyah. Hadits ini dihasankan oleh at-Tirmidzi dan disetujui oleh al-Mundziri, an-Nawawi dan al-Asqalani dan dishahihkan oleh adz-Dzahabi, Ahmad Syakir dan al-Albani) At-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan.” Al-Hakim berkata, “Shahih.”

Apabila seorang sahabat berkata, “Termasuk sunnah”, maka hal itu sama dengan Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda (Ibnu Allan dalam al-Futuhat 2/239 berkata, “Ia mauquf dari segi lafazh dan marfu’ dari segi hukum,” lain halnya dengan perkataan sahabat Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, ‘Maka ini adalah marfu’ secara lafazh dan hukum’.”). Ini adalah madzhab yang shahih, yang terpilih dan yang dinyatakan oleh jumhur ulama dari kalangan fuqaha, ahli hadits, ushuliyin dan ahli kalam.

Seandainya dia mengeraskan tasyahud, maka ia makruh, namun shalatnya tetap sah tanpa perlu sujud sahwi.

Sumber : Ensiklopedia Dziikir Dan Do’a, Imam Nawawi, Pustaka Sahifa Jakarta. Disadur oleh Wandy Hazar S.Pd.I.