Kita beriman bahwa Allah Maha Esa dalam rububiyah-Nya, dan bahwasanya Dia sendirilah yang menciptakan segala sesuatu dan pemilik segalanya serta pengatur bagi semuanya.

Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman,

أَمْ خُلِقُوا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ أَمْ هُمُ الْخَالِقُونَ (35) أَمْ خَلَقُوا السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بَلْ لَا يُوقِنُونَ

“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri). Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu; sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan).” (Ath-Thur: 35-36).

Maksudnya, mungkinkah mereka ada tanpa adanya yang mengadakannya, ataukah mereka sendiri yang mengadakan diri mereka? Ataukah bukan pertama juga bukan yang kedua? Allahlah yang menciptakan mereka dan menumbuhkan mereka setelah pada mulanya mereka tidak berwujud sesuatu.

Allah berfirman,

أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ

“Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, Rabb semesta alam.” (Al-A’raf: 54).

Maksudnya, Dialah yang memiliki dan mengaturnya, tiada yang mampu mencegah kehendak-Nya serta, tiada sekutu bagi-Nya dalam kerajaan-Nya dan Dia tidak pula hina yang membutuhkan pertolongan.

قَالَ رَبُّنَا الَّذِي أَعْطَى كُلَّ شَيْءٍ خَلْقَهُ ثُمَّ هَدَى

“Musa berkata, “Rabb kami ialah (Rabb) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk”.” (Taha: 50).

Dialah yang menciptakan makhluk, mentakdirkannya dan membentuknya sekehendak-Nya. Dialah yang telah memberikan kepada ciptaan-Nya segala apa yang sesuai baginya dan memberikan apa yang pantas baginya serta menyiapkan mereka untuk itu.

Dalil Keesaan Allah Dalam Rububiyah

Sesungguhnya dalil-dalil tentang wujud (adanya) Allah sebanyak jumlah ciptaan-Nya. Setiap ciptaan Allah di langit dan bumi dengan sendirinya adalah dalil nyata tentang adanya Allah Subhaanahu Wata’ala, dan kesendirian-Nya dalam penciptaannya dan pengaturannya, dimulai dari biji yang terkecil di dunia hingga benda-benda langit yang terbesar.

Dalil Naluri

Yang pertama adalah dalil naluri atau fitrah. Sesungguhnya pengakuan atas rububiyah Allah Subhaanahu Wata’ala adalah sesuatu yang sifatnya naluriah, yang ada pada diri seorang yang jiwanya baik ataupun seorang pendosa. Pengakuan ini merupakan perasaan yang pasti ada pada jiwa setiap manusia, sebagai pengakuan atas adanya Penciptanya dan penghambaan kepada-Nya. Tidak seorang pun bisa menolak perasaan ini dan tidak seorang pun mampu mengingkarinya.

Yang dimaksud dengan fitrah atau naluri di sini menurut para ahli tafsir adalah perjanjian yang diambil Allah akan rububiyah-Nya atas Bani Adam sebelum mereka diwujudkan. Naluri ini merupakan hujjah yang tegak atas mereka, tidak mungkin tidak mengetahuinya atau mengingkarinya dengan alasan bertaklid kepada orang tua dan kakek-kakek terdahulu.
Firman Allah Subhaanahu Wata’ala,

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ (172) أَوْ تَقُولُوا إِنَّمَا أَشْرَكَ آبَاؤُنَا مِنْ قَبْلُ وَكُنَّا ذُرِّيَّةً مِنْ بَعْدِهِمْ أَفَتُهْلِكُنَا بِمَا فَعَلَ الْمُبْطِلُونَ

“Dan (ingatlah), ketika Rabbmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Rabbmu”. Mereka menjawab, ”Betul (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, ”Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Rabb).” atau agar kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Ilah sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu”.” (Al-A’raf: 172-173).

Kadang perasaan yang bersifat fitrah ini tertutupi oleh kesejahteraan dan kesehatan yang dimiliki, atau karena telah dikuasai oleh kelalaian. Namun apabila segala kemudahan tersebut sedang berubah kondisinya menjadi kesusahan dan kesulitan, maka niscaya seorang yang mulhid atau kafir sekalipun akan segera tunduk dan kembali mengakui rububiyah Tuhannya ini.

Firman Allah Subhaanahu Wata’ala,

هُوَ الَّذِي يُسَيِّرُكُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ حَتَّى إِذَا كُنْتُمْ فِي الْفُلْكِ وَجَرَيْنَ بِهِمْ بِرِيحٍ طَيِّبَةٍ وَفَرِحُوا بِهَا جَاءَتْهَا رِيحٌ عَاصِفٌ وَجَاءَهُمُ الْمَوْجُ مِنْ كُلِّ مَكَانٍ وَظَنُّوا أَنَّهُمْ أُحِيطَ بِهِمْ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ لَئِنْ أَنْجَيْتَنَا مِنْ هَذِهِ لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ

“Dialah yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan, (berlayar) di lautan. Sehingga apabila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya, datanglah angin badai, dan (apabila) gelombang dari segenap penjuru menimpanya, dan mereka yakin bahwa mereka telah terkepung (bahaya), maka mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan keta’atannya kepada-Nya semata-mata. (Mereka berkata), “Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur”.” (Yunus: 22).

Dan firman-Nya,

وَإِذَا غَشِيَهُمْ مَوْجٌ كَالظُّلَلِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ فَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمَا يَجْحَدُ بِآيَاتِنَا إِلَّا كُلُّ خَتَّارٍ كَفُورٍ

“Dan apabila mereka dilamun ombak yang besar seperti gunung, mereka menyeru Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai di daratan, lalu sebagian mereka tetap menempuh jalan yang lurus. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami selain orang-orang yang tidak setia lagi ingkar.” (Luqman: 32).

Sesungguhnya orang-orang mulhid dan kafir yang sesat tidak mampu mengingkari kenyataan ini dari dirinya serta tidak bisa menolaknya dalam hatinya, meski lisannya mengucapkan kata-kata pengingkaran terhadapnya karena kesombongan dan kezhalimannya, sebagaimana difirmankan Allah Subhaanahu Wata’ala mengisahkan tentang kaum Fir’aun,

وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنْفُسُهُمْ ظُلْمًا وَعُلُوًّا فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُفْسِدِينَ

“Dan mereka mengingkarinya karena kezhaliman dan kesombongan, padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan.” (An-Naml: 14).

Dan firman-Nya,

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ خَلَقَهُنَّ الْعَزِيزُ الْعَلِيمُ

“Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka, ”Siapakah yang menciptakan langit dan bumi”, niscaya mereka akan menjawab, ”Semuanya diciptakan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui”.” (Az-Zukhruf: 9).

Dan firman-Nya,

قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمَّنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ

“Katakanlah, ”Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan yang mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka menjawab, ”Allah”. Maka katakanlah, ”Mengapa kamu tidak bertaqwa (kepada-Nya)?” (Yunus: 31).

Dalil-Dalil yang Ada Dalam Ciptaan

Dalil kedua adalah adanya mahkluk-makhluk Allah. Makhluk dengan seluruh bilangannya adalah dalil-dalil yang menunjukkan bahwa Allah Subhaanahu Wata’ala sebagai penciptanya. Setiap apa yang diciptakan oleh Allah di langit dan di bumi merupakan bukti nyata yang menghapus segala keraguan dan membungkam segala kekufuran serta menjawab segala pengingkaran orang-orang sombong dan yang mengingkarinya, karena dalam setiap makhluk mengandung kesaksian atas rububiyah dan uluhiyah Allah terhadap segala ciptaannya tersebut.

Semua ciptaan ini -dengan kebesaran dan kesempurnaannya- tidak mungkin diciptakan tanpa adanya sesuatu, sebagaimana masing-masing tidak mungkin pula mengadakan dirinya sendiri. Ini jelas diakui oleh naluri dan diketahui dengan segera tanpa membutuhkan dalil-dalil lebih lanjut. Maka, jelaslah bahwa mereka diciptakan oleh Allah Yang Maha Perkasa dan Maha Mengetahui, yang telah menciptakan dan menyempurnakan penciptaan-Nya dan yang menentukan kadar masing-masing dan memberi petunjuk.

Sesungguhnya penetapan akan Dzat Pencipta di dalam Al-Qur’an, dengan tanda-tanda kekuasaannya itu sendiri mengharuskan pengetahuan akan hal itu melahirkan pengetahuan akan dzat sang penciptanya, sebagaimana mengetahui adanya cahaya berarti pula mengetahui adanya matahari sebagai sumbernya, tanpa membutuhkan kepada kiyas dan yang lainnya.

Firman Allah Subhaanahu Wata’ala,

أَمْ خُلِقُوا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ أَمْ هُمُ الْخَالِقُونَ

“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri).” (Ath-Thur: 35).

Ijma’ Umat-Umat

Di antara dalil tentang adanya sang Pencipta adalah ijma semua umat akan hal itu. Tidak ada suatu kaum atau kelompok dari Bani Adam yang diketahui telah mengingkari hakikat ini, kecuali hanya kelompok kecil yang pengingkaran dan pendapat mereka tidak dianggap sebagai pengingkaran atas ijma’ ini.

Setiap aliran telah menyebutkan apa yang mereka kumpulkan dari pernyataan orang-orang terdahulu maupun pada jaman terakhir dalam masalah paham, kepercayaan, agama dan isme-isme lainnya, tidak didapati satu pun yang mengakui adanya sekutu bagi Allah dalam hal penciptaan alam, atau yang mempunyai sifat-sifat yang setara dengan-Nya. Kecuali orang yang menolak tauhid rububiyah secara keseluruhan.

Allah berfirman,

قَالَتْ رُسُلُهُمْ أَفِي اللَّهِ شَكٌّ فَاطِرِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ

“Berkata rasul-rasul mereka, “Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi.” (Ibrahim: 10).

Dalam masalah ini para rasul menyeru kaumnya sebagaimana menyeru orang yang tidak mempunyai keraguan atau tidak pantas terdetik keraguan dalam hatinya. Maka barangsiapa meragukan rububiyah Allah berarti tidak mempercayai lagi hal-hal lain sampai pada masalah yang nyata sekalipun.

Dalil-Dalil Akal

Telah dijelaskan di muka bahwa bukti-bukti rububiyah Allah adalah sejumlah makhluk ciptaan-Nya. Bukti-bukti yang ada dalam ciptaan Allah ini bertopang pada tiga dasar yang diakui oleh akal serta bersesuaian dengan Kitab dan Sunnah, tidak memberi sedikit pun kemungkinan bagi seseorang, apapun rasnya, agamanya ataupun keilmuannya untuk menolaknya. Tiga dasar tersebut adalah:

Pertama: Setiap ciptaan ada yang menciptakannya.

Sesuatu yang tidak ada tidak mungkin bisa menciptakan sesuatu. Ini merupakan kepastian akal dan kebenaran yang diakui syari’at. Akal sehat tentu mengakui kebenarannya dan telah dikuatkan pula oleh kitab Rabb semesta alam.

Firman Allah, “Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri) . Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu; sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan).” (Ath-Thur: 35-36).

Bagaimana mungkin seorang yang berakal menentang kebenaran ini, padahal sandal yang dipakainya, baju yang dikenakannya, kendaraan yang mengangkutnya, payung yang menaunginya dari panas dan hujan, bahkan makanan dan minumannya serta segala sesuatu yang ada di sekitarnya semuanya menjadi bukti kebenaran tersebut. Tentu akalnya tidak akan menerima kalau dikatakan bahwa semua benda-benda tersebut muncul tanpa ada yang menciptakannya.

Apabila kita mau menerapkan dasar pertama ini dan mengimplementasikan pada peristiwa yang terjadi setiap hari di alam yang luas ini, niscaya akal kita akan meyakini bahwa semuanya itu mempunyai pencipta.

Kedua: Ciptaan merupakan cerminan dari kemampuan penciptanya dan sifat-sifatnya.

Karena di antara ciptaan dan penciptanya ada suatu ikatan yang kuat. Setiap ciptaan yang ada menunjukkan adanya kemampuan penciptanya untuk menciptakannya. Bila kita lihat lampu listrik maka kita ketahui bahwa pembuatnya mempunyai kaca dan kabel serta mempunyai kemampuan untuk membentuk kaca dan kabel tersebut sehingga menjadi bentuk lampu yang kita lihat, dan dia mengerti tentang kelistrikan.

Demikian pula kita bisa mengetahui kemampuan dan sifat-sifat pencipta dari bekas perbuatannya yang ada di depan kita. Karenanya bisa dikatakan bahwa ciptaan merupakan cerminan atas kemampuan dan karakter pembuatnya.

Al-Qur’an telah menunjukkan dasar akal ini dan mengajak kita untuk memikirkan alam langit dan bumi serta segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah supaya kita bisa mengetahui dengannya berbagai karakter dan sifat-sifat Dzat Yang Maha Pencipta dan Maha Bijaksana.

Allah berfirman,

اللَّهُ الَّذِي يُرْسِلُ الرِّيَاحَ فَتُثِيرُ سَحَابًا فَيَبْسُطُهُ فِي السَّمَاءِ كَيْفَ يَشَاءُ وَيَجْعَلُهُ كِسَفًا فَتَرَى الْوَدْقَ يَخْرُجُ مِنْ خِلَالِهِ فَإِذَا أَصَابَ بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ إِذَا هُمْ يَسْتَبْشِرُونَ (48) وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلِ أَنْ يُنَزَّلَ عَلَيْهِمْ مِنْ قَبْلِهِ لَمُبْلِسِينَ (49) فَانْظُرْ إِلَى آثَارِ رَحْمَتِ اللَّهِ كَيْفَ يُحْيِي الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا إِنَّ ذَلِكَ لَمُحْيِي الْمَوْتَى وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“Allah, Dialah yang mengirim angin, lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit menurut yang dikehendaki-Nya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal; lalu kamu lihat hujan keluar dari celah-celahnya, maka apabila hujan itu turun mengenai hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya tiba-tiba mereka menjadi gembira. Dan sesungguhnya sebelum hujan diturunkan kepada mereka, mereka benar-benar telah berputus asa. Maka perhatikanlah bekas-bekas rahmat Allah, bagaimana Allah menghidupkan bumi yang sudah mati. Sesungguhnya (Rabb yang berkuasa seperti) demikian benar-benar (berkuasa) menghidupkan orang-orang yang telah mati. Dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Ar-Rum: 48-50).

Peristiwa turunnya air hujan, membasahi bumi yang kering kemudian menghidupkannya setelah kematiannya menunjukkan adanya Pencipta dan kebesaran kekuasaan-Nya, khususnya dalam hal menghidupkan yang mati. Juga menunjukkan rahmat-Nya. Mengenal sifat-sifat Dzat Yang Maha Pencipta dengan melihat kepada perbuatan-Nya dan akibat-akibatnya merupakan manhaj akal dan syari’at, diakui kebenarannya oleh akal dan ditetapkan pula oleh nash-nash syar’i, serta menjadi dasar yang penting yang tegak di atasnya hakikat-hakikat keimanan.

Dengan menerapkan dasar ini akan kita dapati bahwa alam semesta yang besar ini membuktikan adanya Dzat yang menciptakannya, dan bahwa Penciptanya senantiasa ada dan abadi. Keagungan ciptaan ini juga menunjukkan bahwa yang menciptakannya mempunyai kemampuan yang agung. Kehidupan yang ada di alam menunjukkan bahwa penciptanya Maha hidup. Keteraturan yang ada di alam menunjukkan bahwa penciptanya Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui. Ketetapan dan keserasian yang ada pada alam menunjukkan bahwa penciptanya Maha Aadil, Maha Esa dan Maha Kuasa.

Semua makhluk tersebut menunjukkan dengan pasti bahwa dia adalah ciptaan Dzat Yang Maha Pencipta, Maha Bijaksana, Maha Mengetahui, Maha Agung, Mahakuasa, Mahahidup, tidak ada yang melemahkannya. Dengan demikian berarti kita telah menjawab keraguan golongan atheis atas keberadaan Dzat Yang Maha Pencipta, Maha Bijaksana, Maha Mengetahui, Maha Agung, Maha Kuasa, Maha Hidup, tidak ada yang melemahkannya.

Ketiga: Suatu ciptaan tidak mungkin dilakukan oleh yang tidak mampu menciptakannya.

Ini merupakan kepastian akal yang diyakini kebenarannya oleh akal sehat yang ditetapkan pula oleh nash-nash syar’i. Tidak mungkin orang bisu bisa berbicara dengan fasih. Tidak mungkin seekor hewan yang tidak berakal atau seorang yang idiot bisa meluncurkan satelit untuk mengeksploitasi luar angkasa dan mengerti hakikat-hakikatnya. Tidak mungkin seorang baduwi yang hidup di padang pasir dengan menggembalakan unta dan kambingnya bisa mengoperasi otak untuk mengeluarkan sesuatu yang mengotorinya, atau menulis buku tentang atom.

Demikian pula tidak mungkin batu yang mati mempunyai kemampuan untuk menciptakan, memberi rizki, menghidupkan, mematikan dan memberikan manfaat atau madharat kepada yang dikehendakinya.

Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman,

أَيُشْرِكُونَ مَا لَا يَخْلُقُ شَيْئًا وَهُمْ يُخْلَقُونَ (191) وَلَا يَسْتَطِيعُونَ لَهُمْ نَصْرًا وَلَا أَنْفُسَهُمْ يَنْصُرُونَ (192) وَإِنْ تَدْعُوهُمْ إِلَى الْهُدَى لَا يَتَّبِعُوكُمْ سَوَاءٌ عَلَيْكُمْ أَدَعَوْتُمُوهُمْ أَمْ أَنْتُمْ صَامِتُونَ (193) إِنَّ الَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ عِبَادٌ أَمْثَالُكُمْ فَادْعُوهُمْ فَلْيَسْتَجِيبُوا لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (194) أَلَهُمْ أَرْجُلٌ يَمْشُونَ بِهَا أَمْ لَهُمْ أَيْدٍ يَبْطِشُونَ بِهَا أَمْ لَهُمْ أَعْيُنٌ يُبْصِرُونَ بِهَا أَمْ لَهُمْ آذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا قُلِ ادْعُوا شُرَكَاءَكُمْ ثُمَّ كِيدُونِ فَلَا تُنْظِرُونِ

“Apakah mereka mempersekutukan (Allah dengan) berhala-berhala yang tak dapat menciptakan sesuatu pun Sedangkan berhala-berhala itu sendiri buatan orang. Dan berhala-berhala itu tidak mampu memberi pertolongan kepada penyembah-penyembahnya dan kepada dirinya sendiri pun berhala-berhala itu tidak dapat memberi pertolongan. Dan jika kamu (hai orang-orang musyrik) menyerunya (berhala) untuk memberi petunjuk kepadamu, tidaklah berhala-berhala itu dapat memperkenankan seruanmu; sama saja (hasilnya) buat kamu menyeru mereka ataupun kamu berdiam diri. Sesungguhnya berhala-berhala yang kamu seru selain Allah itu adalah makhluk (yang lemah) yang serupa juga dengan kamu. Maka serulah berhala-berhala itu lalu biarkanlah mereka memperkenankan permintaanmu, jika kamu memang orang-orang yang benar. Apakah berhala-berhala mempunyai kaki yang dengan itu dapat berjalan, atau mempunyai tangan yang dengan itu ia dapat memegang dengan keras, atau mempunyai mata yang dengan itu ia dapat melihat, atau mempunyai telinga yang dengan itu ia dapat mendengar? Katakanlah, “Panggillah berhala-berhalamu yang kamu jadikan sekutu Allah, kemudian lakukanlah tipu daya (untuk mencelakakan)ku, tanpa memberi tangguh (kepadaku).” (Al-A’raf: 191-195).

Firman Allah Subhaanahu Wata’ala,

وَاتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ آلِهَةً لَا يَخْلُقُونَ شَيْئًا وَهُمْ يُخْلَقُونَ وَلَا يَمْلِكُونَ لِأَنْفُسِهِمْ ضَرًّا وَلَا نَفْعًا وَلَا يَمْلِكُونَ مَوْتًا وَلَا حَيَاةً وَلَا نُشُورًا

“Kemudian mereka mengambil ilah-ilah selain Dia (untuk disembah), yang tidak menciptakan sesuatu apapun, bahkan mereka sendiri pun diciptakan dan tidak kuasa untuk (menolak) sesuatu kemudharatan dari dirinya dan tidak (pula untuk mengambil) sesuatu kemanfa’atan dan tidak kuasa mematikan, menghidupkan dan tidak (pula) membangkitkan.” (Al-Furqan: 3).

Firman Allah Subhaanahu Wata’ala,

قُلْ أَرَأَيْتُمْ شُرَكَاءَكُمُ الَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَرُونِي مَاذَا خَلَقُوا مِنَ الْأَرْضِ أَمْ لَهُمْ شِرْكٌ فِي السَّمَاوَاتِ أَمْ آتَيْنَاهُمْ كِتَابًا فَهُمْ عَلَى بَيِّنَتٍ مِنْهُ بَلْ إِنْ يَعِدُ الظَّالِمُونَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا إِلَّا غُرُورًا

“Katakanlah, “Terangkanlah kepada-Ku tentang sekutu-sekutumu yang kamu seru selain Allah. Perlihatkanlah kepada-Ku (bagian) manakah dari bumi yang telah mereka ciptakan ataukah mereka mempunyai saham dalam (penciptaan) langit atau adakah Kami memberi kepada mereka sebuah Kitab sehingga mereka mendapat keterangan-keterangan yang jelas daripadanya. Sebenarnya orang-orang yang zhalim itu sebagian dari mereka tidak menjanjikan kepada sebagian yang lain, melainkan tipuan belaka”. (Fathir: 40).

Bila dasar ini kita terapkan niscaya dari semua makhluk yang ada tidak kita dapati sesuatu pun yang pantas untuk disebut sebagai pencipta, karena tidak ada yang mempunyai karakter sebagai Maha Bijaksana, Maha Mengetahui, Maha Mengerti, Maha Agung, Maha Kuasa, Maha Pemberi Petunjuk, Maha hidup, Maha Abadi. Apabila di antara makhluk yang ada tidak didapati satu pun yang tepat untuk menyandang sebutan sebagai pencipta, maka jelaslah bahwa pencipta makhluk tersebut bukanlah sesuatu yang diciptakan atau tabiat yang diciptakan.

Perlu kita ketahui, bahwa pengikraran terhadap tauhid rububiyah semata tidaklah cukup sehingga ditambah dengan pengikraran terhadap tauhid ilahiyah, yaitu mengesakan Allah dalam beribadah kepada-Nya dan berlepas diri dari kesyirikan; karena orang-orang musyrik mengikrarkan tauhid rububiyah ini, tapi tidak memasukkan mereka ke dalam Islam.

Firman Allah Subhaanahu Wata’ala, “Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka, “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka akan menjawab, “Semuanya diciptakan oleh yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (Az-Zukhruf: 9).

Firman Allah Subhaanahu Wata’ala,

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ

“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka, “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka akan menjawab, “Allah”. (Az-Zumar: 38).

Untuk itu, para ulama menyatakan, bahwa (pengikraran terhadap) tauhid rububiyah mengharuskan (pengikraran terhadap) tauhid ilahiyah.

Selanjutnya kami akan menerangkan tentang tauhid Ilahiyah.