Kita meyakini bahwa dalil yang mutlak dan hukum tertinggi adalah Al-Kitab dan As-Sunnah, tiada lain. Dan segala pertentangan di antara kaum muslimin penyelesaiannya hanya dengan kembali kepada Allah dan Rasul-Nya. Apabila Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan suatu perkara, maka tidak ada pilihan lain bagi setiap orang dalam melaksanakannya. Keterjagaan dari kesalahan tidak dimiliki oleh seorang pun setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kecuali oleh ijma’ umat. Ijma’ umat inilah yang dijaga oleh Allah sehingga tidak mungkin mereka ijma’ atas suatu kesesatan. Dan ijma’ itu pun harus mempunyai landasan syari’at yang pernah dilaksanakan. Kita meyakini pula bahwa mengakui adanya perubahan sumber hukum dari wahyu kepada hawa nafsu, sebagaimana digaungkan oleh golongan sekuler, merupakan suatu kesyirikan terhadap Allah dan kekufuran atas keesaan-Nya.

Firman Allah Subhaanahu Wata’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Hujurat: 1).

Para shahabat dilarang untuk berpendapat dalam suatu masalah mendahului Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam atau meninggalkan suatu permasalahan hingga Allah memutuskan melalui lisan Rasul-Nya.

Firman Allah Subhaanahu Wata’ala,

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ

“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari Kemudian.” (An-Nisa’: 59).

Disebutkan bahwa mengembalikan pemecahan masalah kepada Allah dan Rasul-Nya termasuk dasar keimanan kepada Allah dan Hari Akhir.

Firman Allah Subhaanahu Wata’ala,

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا

“Dan tidakkah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’minah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Al-Ahzab: 36).

Apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu keputusan maka tidak boleh bagi siapa pun untuk menyelisihinya atau mempunyai pilihan lain atau mendahulukan pendapatnya sendiri. Akan tetapi wajib bagi setiap orang yang beriman secara sempurna untuk menjadikan pendapatnya dan pilihannya senantiasa sesuai dengan petunjuk dan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Firman Allah Subhaanahu Wata’ala,

لَا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا قَدْ يَعْلَمُ اللَّهُ الَّذِينَ يَتَسَلَّلُونَ مِنْكُمْ لِوَاذًا فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian (yang lain). Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur-angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” (An-Nur: 63).

Menyalahi perintah Rasul artinya menyelisihi jalannya, manhajnya, sunnahnya dan syari’atnya. Maka hendaknya setiap ucapan dan perbuatan senantiasa diukur dengan ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan perbuatannya. Apabila sesuai, maka diterima dan apabila tidak sesuai maka akan tertolak. Termasuk fitnah yang berbahaya, sesuatu yang kadang terdetik dalam hati orang-orang yang menyalahi perintahnya, berupa kekufuran, kemunafikan dan perbuatan bid’ah.

Firman Allah,

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ وَلَوْلَا كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah. Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan.” (Asy-Syura: 21).

Allah Subhaanahu Wata’ala mencela orang yang tidak mengikuti apa yang telah disyari’atkan Allah untuk Nabi-Nya dari urusan agama yang mulia ini, tapi justru mengikuti apa yang diperintahkan oleh setan-setan dan thaghut-thaghut, dari mulai mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram dan sejenisnya yang pernah mereka lakukan pada masa jahiliyah. Kalaulah bukan karena mereka ditangguhkan hingga hari Pembalasan, niscaya adzab mereka akan dipercepat di dunia ini.

Firman Allah Subhaanahu Wata’ala,

إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

“Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Yusuf: 40).

Allah menyeru agar mengesakan-Nya dalam hal penentuan hukum dan menjelaskan bahwa hal itu termasuk pengesaan-Nya dalam ibadah. Inilah agama yang lurus yang tidak dipahami oleh sebagian besar manusia.