Kita meyakini kebenaran dalil dari As-Sunnah yang suci. Keyakinan terhadapnya merupakan keharusan agama, tidak tegak Islam seseorang kecuali dengan menunaikannya. Dan kita meyakini bahwa As-Sunnah lebih agung dari sekadar untuk dipertentangkan atau didiamkan.

Umat telah berijma’ bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terbebas dari kesalahan dalam khabar yang disampaikannya. Ini menunjukkan bahwa setiap yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam setelah mendapat persetujuan Allah adalah benar dan sesuai dengan apa yang ada di sisi Allah Ta’ala. Karenanya wajib berpegang teguh kepadanya. Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman,

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (3) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm: 3-4).

وَلَوْ تَقَوَّلَ عَلَيْنَا بَعْضَ الْأَقَاوِيلِ (44) لَأَخَذْنَا مِنْهُ بِالْيَمِينِ (45) ثُمَّ لَقَطَعْنَا مِنْهُ الْوَتِينَ (46) فَمَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ عَنْهُ حَاجِزِينَ

“Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya. Maka sekali-kali tidak ada seorang pun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami) dari pemotongan urat nadi itu.” (Al-Haqah: 44-47).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memerintahkan kepada umatnya untuk berpegang teguh kepada sunnahnya dan memperingatkan mereka agar tidak menyelisihinya. Para shahabat mentaati perintah tersebut dan senantiasa menjadikannya panutan dalam ucapan, perbuatan dan persetujuan mereka. Kalau seandainya perbuatan mereka itu salah, niscaya Allah tidak akan mengakui dan membiarkannya, karena pengakuan dan persetujuan pada masa turunnya wahyu merupakan suatu dalil yang sederajat dengan wahyu. Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman,

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ

“Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”.” (Ali Imran: 31).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِيْ فَلَيْسَ مِنِّي.

“Barangsiapa yang tidak suka akan sunnahku maka bukan termasuk dari golonganku.” (Muttafaq ‘Alaih).

Allah Subhaanahu Wata’ala telah memerintahkan untuk beriman kepada Rasul-Nya dan mewajibkan kepada seluruh manusia untuk mentaatinya. Ini menjamin keterjagaan beliau dari kesalahan dan keabsahan dalil yang berasal dari beliau. Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman,

فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالنُّورِ الَّذِي أَنْزَلْنَا وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

“Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada cahaya (Al-Qur’an) yang telah Kami turunkan, Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (At-Taghabun: 8).

Dan firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling daripada-Nya, sedang kamu mendengar (perintah-perintahnya), dan janganlah kamu menjadi sebagaimana orang-orang (munafik) yang berkata, “Kami mendengarkan, padahal mereka tidak mendengarkan.” (Al-Anfal: 20-21).

Dan firman-Nya,

قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ

“Katakanlah, “Ta’atilah Allah dan Rasul-Nya; Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir”.” (Ali Imran: 32).

Dan firman-Nya, “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (Al-Hasyr: 7).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam –yang telah terjaga dari kesalahan- telah mengkhabarkan bahwa telah diwahyukan Al-Qur’an dan semisalnya bersamanya kepadanya, segala yang diterangkannya dan disyari’atkannya adalah berasal dari Allah Subhaanahu Wata’ala, bukan dari dirinya sendiri. Ketaatan kepadanya merupakan ketaatan kepada Allah Subhaanahu Wata’ala. Menentangnya berarti menentang Allah Subhaanahu Wata’ala. Diriwayatkan oleh Al- Miqdad bin Ma’dikarib bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَلاَ إِنِّي أُوْتِيْتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ، أَلاَ يُوْشِكُ رَجُلٌ شَبْعَانُ عَلَى أَرِيْكَتِهِ يَقُوْلُ: عَلَيْكُمْ بِهَذَا الْقُرْآنِ، فَمَا وَجَدْتُمْ فِيْهِ مِنْ حَلاَلٍ فَأَحِلُّوْهُ، وَمَا وَجَدْتُمْ فِيْهِ مِنْ حَرَامِ فَحَرِّمُوْهُ ، وَإِنَّ مَا حَرَّمَ رَسُوْلُ اللهِ كَمَّا حَرَّمَ اللهُ.

“Ketahuilah bahwa aku telah diberi Al-Qur’an dan semisalnya bersamanya (As-Sunnah), dikhawatirkan akan ada seorang yang kekenyangan berada di atas dipannya berkata, “Hendaknya engkau berpegang pada Al-Qur’an. Apa yang engkau dapati di dalamnya dihalalkan, maka halalkanlah, dan apa yang engkau dapati di dalamnya diharamkan maka haramkanlah.” Dan sesungguhnya apa yang diharamkan oleh Rasulullah seperti apa yang diharamkan oleh Allah.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Al-Hakim).

Diriwayatkan oleh Al-Irbadh bin Sariyah, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri di antara kami, beliau bersabda, “Apakah seorang di antara kalian, sambil bertelekan di atas dipannya mengira bahwa Allah tidak mengharamkan sesuatu melainkan apa yang hanya ada di dalam Al-Qur’an ini. Ketahuilah bahwa aku telah memberikan perintah, nasehat dan melarang sesuatu, sesungguhnya itu semua seperti Al-Qur’an atau lebih.” (HR. Abu Dawud).

Beliau juga telah bersabda,

مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللهُ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللهَ.

“Barangsiapa taat kepadaku berarti ia telah taat kepada Allah, dan barangsiapa menentangku berarti ia telah menentang Allah.” (Muttafaq ‘Alaih).

Di antara dalil tentang keabsahan dalil dari As-Sunnah, ketidakmungkinan untuk mempraktekkan Al-Qur’an saja tanpa merujuk kepada As-Sunnah. Sesungguhnya di dalam Al-Qur’an terdapat banyak hal yang mengharuskan untuk merujuk kepada As-Sunnah dalam mengamalkannya. Misalnya firman Allah Subhaanahu Wata’ala,

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ

“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.” (Al-Baqarah: 43).

Bisa dipahami darinya tentang kewajiban shalat dan zakat. Akan tetapi di dalam Al-Qur’an, di mana kita bisa menemukan tata cara shalat, waktu-waktunya, bilangannya, orang-orang yang berkewajiban mendirikannya? Di mana di dalam Al-Qur’an kita bisa dapatkan pengertian zakat, harta yang wajib dizakati, batas nishabnya, hitungannya, syarat-syarat wajib zakat dan sebagai-nya? Tidak ada jalan lain untuk mengetahui hal tersebut selain merujuk kepada As-Sunnah.