Mereka adalah pihak mustahiq li zakah, pihak yang berhak menerima zakat, mereka tersebut dalam at-Taubah: 60, mereka adalah fakir, miskin, amil zakat, mu`allaf, riqab, gharim, ibnu sabil dan fi sabilillah.

Pertama dan Kedua: Fakir dan Miskin

Keduanya adalah orang yang tidak memiliki kadar kecukupan, meskipun kadar kecukupan itu sendiri masih diperdebatkan.

Hanafiyah dan Malikiyah berkata, fakir lebih baik keadaannya daripada miskin, karena Allah memerintahkan memberi makan orang miskin, “Maka memberi makan enam puluh orang miskin.” (Al-Mujadilah: 4) dan karena Allah berfirman, “Atau orang miskin yang sangat fakir.” (Al-Balad: 16).

Syafi’iyah dan Hanabilah berkata, miskin lebih baik keadaannya daripada fakir, karena menyebutnya pertama, “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir…” (At-Taubah: 60), dan firman Allah, “Adapun bahtera itu maka ia adalah milik orang-orang miskin yang bekerja di laut…” (Al-Kahfi: 79), mereka memiliki bahtera dan Allah menyebut mereka miskin.

Apapun, bila kata fakir disebut sendiri maka ia mencakup miskin, begitu pula bila kata miskin disebut sendiri maka ia mencakup fakir. Masalahnya, bila keduanya disebut secara bersamaan, maka masing-masing memiliki makna tersendiri sebagaimana yang telah disebutkan di atas.

Kadar yang Diberikan Kepada Fakir dan Miskin

Hanafiyah berkata, diberi kurang dari nishab, bila diberi nishab atau lebih, maka ia makruh. Malikiyah dan sebagian Hanabilah berkata, diberi kadar kecukupan selama setahun. Syafi’iyah dan sebagian Hanabilah berkata, diberi kadar kecukupan seterusnya.

Hanafiyah berkata, bila fakir atau miskin diberi nishab maka dia menjadi kaya. Malikiyah berkata, kewajiban zakat berulang setiap tahun, maka dia diberi kadar cukup selama setahun. Syafi’iyah berkata, tujuan zakat adalah mencukupi hajat fakir atau miskin, maka kadar yang diberikan adalah kadar yang mencukupi. Wallahu a’lam.

Kadar kecukupan

Zakat adalah hak fakir dan miskin, itu artinya orang yang kaya atau berkecukupan tidak mempunyai hak atas zakat, dalam hadits Ubaidullah bin Adi berkata, “Saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sedang membagikan zakat, datang dua orang dan keduanya meminta kepada beliau, beliau mengamati keduanya dari atas sampai bawah, beliau melihat keduanya orang yang kuat, maka beliau bersabda, ‘Bila kalian berkenan maka aku akan memberi kalian berdua, namun tidak ada bagian pada zakat untuk orang kaya dan kuat yang masih mampu berusaha.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan an-Nasa`i, dishahihkan oleh al-Albani dalam Irwa`ul Ghalil 3/108.

Fuqaha` berbeda pendapat tentang kadar kaya yang menghalangi seseorang untuk menerima zakat:

Pertama: Kadar kecukupan, ini adalah madzhab Malikiyah dan Syafi’iyah.
Kedua: Kadar nishab, ini adalah madzhab Hanafiyah.
Ketiga: siapa yang memiliki lima puluh dirham atau nilainya dari emas, ini adalah madzhab Hanabilah.

Dalil pendapat pertama, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Qabishah bin Mukhariq, “Sesungguhnya meminta-minta tidak halal kecuali bagi satu dari tiga orang… Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan salah seorang dari mereka, …Dan seorang laki-laki yang ditimpa kesulitan, sehingga tiga orang yang berakal dari kaumnya menyatakan, ‘Fulan telah ditimpa kesulitan.’ Maka dia halal untuk meminta sehingga dia mendapatkan kadar cukup dalam hidup.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membolehkan meminta sampai pada batas mendapatkan kadar kecukupan atau kebutuhan, artinya siapa yang telah mendapatkan kadar kecukupan maka dia tidak boleh meminta-minta.

Dalil pendapat kedua, hadits Ibnu Abbas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Muadz, “Katakan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan zakat atas mereka yang diambil dari orang-orang kaya dari kalangan mereka dan dikembalikan kepada orang-orang miskin dari mereka.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membagi manusia menjadi dua: orang-orang kaya dan orang-orang miskin, zakat diambil dari orang-orang pertama dan diberikan kepada orang-orang kedua, siapa yang zakat tidak diambil darinya maka zakat diberikan kepadanya, sehingga dia berhak diberi zakat.

Dalil pendapat ketiga, hadits Ibnu Mas’ud bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa meminta-minta padahal dia mempunyai kadar kecukupan maka permintaannya tersebut di hari Kiamat akan meninggalkan bekas luka atau bopeng di wajahnya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya, “Ya Rasulullah, apa batas kecukupan?” Beliau menjawab, “Lima puluh dirham atau emas yang senilai dengannya.” Diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud dan an-Nasa`i.

Pendapat pertama adalah pendapat yang rajih, kekayaan yang menghalangi seseorang untuk mengambil zakat adalah kadar kecukupan. Karena kebutuhan itu adalah kefakiran, sedangkan kecukupan itu adalah sebaliknya, barangsiapa memerlukan maka dia termasuk ke dalam keumuman dalil yang menetapkan dirinya fakir. Wallahu a’lam.