Allah telah membuat ketetapan (sunnah) yang selalu berlaku bagi makhluk-Nya, yang tidak akan berubah dan berganti. Kapan dan di mana pun manusia hidup, maka akan mendapati ketetapan Allah itu sebagai sesuatu yang berlaku. Ketetapan-ketetapan tersebut adalah:

1. Segala Sesuatu Tidak Akan Tetap dalam Satu Keadaan.

Merupakan sunnatullah, bahwasanya Dia selalu mengubah keadaan hamba-hamba-Nya. Dia membolak-balikkan mereka dari suatu kondisi ke kondisi yang lain. Hari-hari dan kehidupan secara terus menerus Dia putar dan pergilirkan, sebagaimana firman Allah Subhannahu wa Ta’ala ,
“Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); Dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang- orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada” (QS. Ali Imran: 140)

Terkadang manusia mengalami kesempitan dan kadang pula mendapat-kan keluasan, suatu saat ia kaya, namun setelah itu miskin. Hari ini mulia dan besoknya hina, kemarin pejabat dan kini menjadi rakyat. Oleh karena itu, maka tidak selayaknya seseorang merasa berputus asa dari rahmat Allah, ketika mendapatkan kesempitan hidup. Karena ketika kondisi sempit, maka urusan akan menjadi lapang, ketika tali melilit de-ngan kuat, maka ia telah mendekati pu-tus, ketika malam telah larut dan gulita, maka artinya fajar telah makin dekat.
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Alam Nasyrah: 5-6)

Merupakan hikmah dari Allah, bahwasanya Dia menciptakan sesuatu secara berpasangan, yaitu adanya dua hal yang selalu bertentangan. Yang demikian ini adalah masalah yang lumrah dalam kehidupan dan akan selalu ada di setiap tempat dan waktu. Namun yang jelas masing-masing keduanya memiliki batas yang telah ditetapkan, kesulitan dan kemudahan, kebahagiaan dan kesedihan, bencana dan kelapangan, sehat dan sakit, hidup dan mati, kaya dan miskin, pertolongan dan kehancuran merupakan sesuatu hal yang terus berlaku di dalam kehidupan.

Al-Qur’an telah memberikan pe-tunjuk dan bukti dari semua itu, berapa banyak kisah di dalamnya yang meng-gambarkan kehidupan sebuah umat, bangsa atau pun pribadi perorangan yang mereka dulunya dalam suatu keadaan tertentu, lalu Allah mengubah keadaan mereka dengan yang sebaliknya.

2. Musibah, Bencana dan Fitnah Akan Memilah Manusia

Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman, Artinya,
“Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mu’min).” (QS. Ali Imran : 179)

Juga firman-Nya yang lain, Artinya,
“Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira, bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, “Kami telah ber-iman”, sedang mereka tidak diuji lagi?” (QS. Al- Ankabut: 1-2)
Kalau saja tidak ada ujian dan coba-an, maka tidak akan diketahui mana orang yang benar keimanannya dan mana orang yang di dalam hatinya ada penyakit. Salah satu kisah yang mem-berikan pelajaran berharga kepada kita semua adalah yang terjadi pada masa Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam , ketika terjadi perang Ahzab, Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman,
“Dan (ingatlah) ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya berkata, “Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan kepada kami melainkan tipu daya”. Dan (ingatlah) ketika segolongan di antara mereka berkata, ”Hai penduduk Yatsrib (Madinah), tidak ada tempat bagimu, maka kembalilah kamu”. Dan sebahagian dari mereka minta izin kepada Nabi (untuk kembali pulang) dengan berkata, “Sesungguhnya rumah-rumah kami terbuka (tidak ada penjaga)”. Dan rumah-rumah itu sekali-kali tidak terbuka, mereka tidak lain hanyalah hendak lari.” (QS. Al-Ahzab:12-13)

Maka musibah dan cobaan yang Allah turunkan, akan menyingkap hakikat keimanan seseorang dan agar setiap jiwa dapat menilai diri masing-masing. Bisa saja setiap orang meng-klaim dirinya mukmin, namun sekedar pengakuan tanpa dapat memberikan bukti nyata tidaklah cukup. Dengan cobaan dan ujian masing-masing diri akan merenungi apa yang ada pada dirinya.

3. Allah Tidak Mengangkat Sesuatu Kecuali Akan Menurunkannya Juga.

Atau dengan kata lain ketika seseorang berada di puncak, maka tak ada lagi arah yang ia tuju, kecuali turun ke bawah. Ini merupakan sunnah rabbaniyah (ketetapan Allah) yang selalu berlaku di dalam kehidupan.
Disebutkan dalam sebuah riwayat dari Anas bin Malikz,, bahwasanya Rasulullah memiliki seekor unta yang dikenal dengan nama ‘Adlba’ dan larinya sangat cepat tak terkalahkan. Kemudian datang seorang Arab Badui dengan seekor unta muda mengajak beliau berpacu, dan ternyata Orang Badui tersebut menang. Maka para shahabat merasa berat dengan kekala-han ini, Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam lalu bersabda,
“Merupakan hak Allah, bahwasanya tidaklah Dia mengangkat sesuatu dari (urusan) dunia, kecuali Dia akan menurunkannya juga.” (HR. Abu Dawud dan an-Nasai)

Mungkin sepintas lalu kita me-nganggap biasa-biasa saja dengan kisah di atas, namun sungguh di dalamnya ada pelajaran yang amat besar. Di dalamnya ada pengajaran dari manusia paling mulia Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam tentang sunnatullah di alam raya ini. Tentunya bukanlah terbatas pada Unta Arab Badui yang mengalahkan unta Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam , namun lebih dari itu, bahwa segala yang tinggi di dunia ini pasti akan turun sete-lah mencapai puncaknya.

Manusia meskipun memiliki kekuatan dan kehebatan, namun suatu saat akan lemah juga, dan meskipun mempunyai kemuliaan, suatu ketika akan hilang dan lengser juga, yang demikian akan terus mengalir dalam kehidupan manusia. Kekuatan dan kemuliaan yang mutlak hanyalah milik Allah, tak akan berubah dan berganti, Dialah yang Maha Esa, Maha Perkasa, Maha Mulia dan Maha Memaksa, milik Allah seluruh ‘izzah (kemuliaan), Dialah Yang Maha Kuat dan Perkasa.

Jika kita menginginkan contoh yang lebih banyak lagi, kita dapat membuka buku-buku tarikh yang meyebutkan jatuh bangunnya negri-negri dan kerajaan-kerajaan di masa lalu, masa keemasan dan kemundurannya, sebagaimana pula contoh-contoh seperti itu juga ada di dalam al-Qur’an.

Hal ini merupakan sebuah hakikat kenyataan hidup, bahwa tidaklah Allah mengangkat sesuatu, melainkan juga akan menurunkannya dan bahwa segala yang ada di muka bumi pasti akan binasa. Maka segala apa saja yang telah berdiri dan tegak, resikonya adalah akan jatuh atau runtuh, sebagaimana apa saja yang telah hidup, maka suatu saat pasti mengalamai kematian.
“Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Rabbmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (QS. Ar-Rahman: 26-27)

4. Tidaklah Bencana Turun Kecuali Karena Dosa dan tidaklah Ia Diangkat Kecuali dengan Taubat.

Ketetapan ini telah diterangkan dengan gamblang oleh Allah di dalam kitab-Nya, demikian pula dengan Sunnah Nabi juga memberikan penjelasan dan keterangan tentangnya, namun amat banyak manusia yang tidak mau mengetahui, bahkan masih banyak umat Islam yang tidak percaya serta mengingkari sunnatullah ini.

Cobalah kita perhatikan firman Allah Subhannahu wa Ta’ala berikut, Artinya,
“Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan dan Allah sekali-kali tidak hendak meng-aniaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS. Al-Ankabut : 40)

Perhatikan bagaimana Allah telah menjadikan dosa sebagai sebab dari bencana dan siksa. Bahkan ia merupa-kan sebab terbesar yang menyebabkan Allah menurunkan murka dan siksaNya, sebagaimana yang telah terjadi pada kaum Nabi Nuh, ‘Aad, Tsamud, Qarun, Fir’aun, Haman dan selain mereka. Firman Allah Subhannahu wa Ta’ala ,
“Sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum(mu) dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunnah Allah.” (QS. Al-Ahzab: 62)
“Maka sekali-kali kamu tidak akan men-dapat penggantian bagi sunnah Allah, dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi sunnah Allah itu.” (QS. Faathir: 43)

Di antara dosa-dosa yang telah membuat orang-orang terdahulu dibinasa-kan adalah kufur kepada Allah, mendustakan para rasul dan menghalang-halangi dari jalan Allah, berencana membunuh dan memerangi rasul, melakukan kekeji-an (zina dan liwath/homo sex), terlena dengan penangguhan yang diberikan Allah serta merasa aman dari siksa-Nya dan masih banyak lagi dosa yang lain.

Maka merupakan sunatullah, bahwasannya Allah tidak akan membiarkan orang-orang melakukan dosa dan kekejian tanpa adanya balasan yang setim-pal. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman,
“Ataukah orang-orang yang mengerjakan kejahatan itu mengira bahwa mereka akan luput dari (azab) Kami ? Amatlah buruk apa yang mereka tetapkan itu.” (QS. Al-Ankabut: 4)

5.Hukum Istikhlaf (Pemberian Kekuasaan) Berkait dengan Sunnatullah

Kekuasaan adalah milik Allah dan berada di tangan Allah, Dia memberikan kepada yang dikehendaki dan mencabutnya dari siapa saja yang dike-hendaki. Namun dalam hal ini ada sunnatullah yang berkaitan dengan masalah pemberian kekuasaan oleh Allah (istikhlaf) di muka bumi ini.

Bahwasannya Allah Subhannahu wa Ta’ala menciptakan manusia agar menjadi pengelola (khalifah) di muka bumi, supaya dapat diketahui bagaimana amal perbuatan mereka. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman,
“Kemudian Kami jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) di muka bumi sesudah mereka, supaya Kami memperhatikan bagaimana kamu berbuat.” (QS. Yunus: 14)
Istikhlaf (hak pengelolaan) ini sifatnya umum, berlaku sama antara orang yang baik dengan yang buruk, yang mukmin dengan yang kafir dan ini adalah merupakan ujian bukan istikhlaf untuk kemuliaan dan kecintaan dari Allah. Sebab istikhlaf yang demikian hanya diberikan khusus kepada para Nabi dan orang-orang shaleh yang mengikuti petunjuk mereka.

Dan untuk memperoleh istikhlaf kemuliaan dan kecintaan Allah ada banyak syarat yang harus dipenuhi, kalau syarat-syarat tersebut terpenuhi, maka janji Allah juga akan terpenuhi, sebagaimana firman-Nya,
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan merubah (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada memper-sekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang yang fasik”. (QS. An-Nuur : 55)

Ketetapan Allah ini telah berlaku bagi umat-umat yang terdahulu dan akan berlaku juga bagi orang yang datang kemudian. Namun tentu harus dengan syarat-syarat; Iman yang benar, amal yang shalih, istiqamah di atas perintah Allah dan menegakkan ketetapan hukum-Nya.

Sumber: Kutaib, “Innaha as-Sunnan, Durus wa ‘Ibar fi Sunnanillahi wa Ayyamihi”. Muhammad bin Najm al-Dahlus.