Bila rumah tangga ibarat gerbong kereta api, maka suami adalah masinis, istri adalah asistennya dan anak-anak adalah penumpangnya. Tanggung jawab terbesar ada di pundak masinis, pun demikian bukan berarti asisten dan penumpang tidak memiliki peranan. Asisten mendukung dan membantu, dan suatu saat bila dibutuhkan dia mengambil alih peranan dan tugas masinis. Sedangkan penumpang duduk manis tidak berulah negatif yang bisa mengganggu masinis dan asistennya dalam menjalankan tugas mereka.

Rumah tangga yang tenang, tenteram dan langgeng kembali kepada masinis dan asistennya, suami dan istri, memang peranan keduanya berbeda, tidak sama, akan tetapi itu hanya sebatas pembagian tugas dan peletakan orang pada pos yang cocok baginya, keduanya saling melengkapi dan mengisi. Apa jadinya bila masinis dan asistennya eker-ekeran, bertikai, tidak akur, yang satu ingin ini dan yang lain ingin itu, penumpang bisa bisa ketar-ketir terhadap nasib mereka. Itulah rumah tangga, bila sepasang poros kendalinya bentrok melulu, anak-anak bisa kabur dari rumah mencari keselamatan sendiri. Wah apa jadinya bila demikian.

Bila kereta api memerlukan masinis sebagai penanggung jawab, maka rumah tangga juga memerlukan imam sebagai pemimpinnya yang bertanggung jawab penuh terhadap keselamatan istri dan anak-anaknya. Kepemimpinan memberikan wewenang dan menghadirkan tanggung jawab. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu menyeimbangkan wewenang dan tanggung jawab. Demikian halnya dengan suami sebagai imam keluarga, keseimbangan antara wewenang dan tanggung jawab mutlak diperlukan agar rumah tangga yang dipimpinnya berjalan mulus dan penumpangnya merasa aman dan tenang.

Sayangnya tidak jarang para suami dalam memimpin cenderung tidak bisa atau sebenarnya bisa namun tidak mau menyeimbangkan antara wewenang dan tanggung jawabnya. Ada suami yang melepaskan wewenangnya sekalipun dia masih bertanggung jawab dalam batas tertentu. Suami tipe ini selalu mengalah atau kalah oleh istri, apa pun kemauan istri selalu dia turuti, sekalipun dia harus memikul bebannya sampai punggungnya patah, berjalan memikul beban berat terengah-engah asalkan istrinya senang. Sama sekali tidak bertaji, karena ia sudah dipotong oleh istrinya, wewenangnya sebagai suami sang pemimpin dia campakkan. Dan biasanya hilangnya wewenang diikuti oleh lenyapnya tanggung jawab. Apapun alasannya, karena cinta yang mendalam atau sebagai ungkapan kasih sayang atau alasan apa pun, suami tidak patut melepaskan wewenangnya sebagai suami, karena rumah tangga tetap memerlukan wewenangnya demi kelancaran dan ketenangannya.

Ada suami yang hanya mikirin wewenangnya, akibatnya dia tampil sebagai pemimpin yang sewenang-wenang, dia selalu ingin istri dan anak-anaknya mengikuti setiap kemauannya, masa bodoh, tak peduli benar salahnya, pokoknya ucapan adalah ucapannya, pendapat adalah pendapatnya dan perintah adalah perintahnya. Haram mengungkapkan pendapat, lebih-lebih membantah atau tidak setuju. Menang sendiri, perintah A harus dilakukan A, perintah B juga demikian dan seterusnya. Suami tipe ini lebih memikirkan wewenangnya, takut kewibawaannya hilang, sehingga dia harus bertindak arogan, istrinya diperlakukan seperti pembantu, padahal pembantu saja tetap tidak boleh diperlakukan demikian, apalagi istri.

Salah kapra pemahaman terhadap hakikat kepemimpinan, ini barang kali membuat sebagian suami mau menang sendiri, memang kepemimpinan dalam rumah tangga ada di tangannya dan memang penetapannya tidak sembarangan, Allah yang menetapkannya, namun hal itu tidak berarti melegalkan sikap mau menang sendiri, inilah yang mesti dipahami oleh sebagian suami. Maka bila ada suami yang mau menang sendiri, membenarkan sikapnya dengan kepemimpinan yang dipegangnya maka dia telah melampaui batas, dia bukan pemimpin yang baik.

Potret sebagian suami yang demikian akhirnya melahirkan sebuah tuduhan dan stigma negatif terhadap Islam yang memberikan kepemimpinan dalam rumah tangga kepada laki-laki. Ada yang berkata, ayat diskriminatif. Maksudnya ayat 34 surat an-Nisa yang menyerahkan qiwamah kepada suami. Buktinya gara-garanya lahir berbagai kekerasan terhadap istri dan anak, begitu mereka berkilah. Akhirnya Islam harus menjadi sasaran dari tuduhan tidak baik akibat dari pemahaman buruk dan penerapan salah sebagian pengikutnya. Obyektiflah Anda yang menilai, bukan ayatnya yang diskriminatif, ayatnya obyektif, hanya saja penerapannya yang salah, jadi bukan ayatnya yang salah tetapi pihak yang menerapkannya. Lihatlah kepada masyarakat yang bukan muslimin, di negara-negara yang didominasi oleh agama selain Islam, ternyata kekerasan dan kesewenang-wenangan juga terjadi, lalu siapa yang salah? Agamanya atau orangnya? Kalau orangnya lalu mengapa yang dituduh kok Islam saja?

Benarkan, kekerasan terhadap wanita atau istri tidak hanya terjadi di kalangan orang-orang Islam, bila ada seorang muslim yang berlaku aniaya terhadap istrinya maka hal itu lebih kepada karakter pribadinya yang tidak lurus, sama sekali tidak bersangkutan dengan ayat di atas, sekalipun dia mencoba berpegang kepadanya, atau dia memahami ayat secara keliru sebagaimana yang sudah dijelaskan. Apa pun sebab dan alasannya, tetap bukan Islam yang mengajarkannya demikian. Bukan pada tempatnya memahami arti kepemimpinan dengan kesewenang-wenangan atau mau menang sendiri. Dari pada menang sendiri, lebih baik menang berdua dengan istri, seru kan?