Keinginan menikah dan berumah tangga, menjaga kehormatan dan membina rumah tangga yang tenang adalah sesuatu yang fitrawi bagi setiap manusia, lebih-lebih anak muda, namun persoalan yang satu ini, persoalan anggota di antara dua paha ini, tidak semudah membalik tangan, ia berkait dengan apa yang di atasnya, yaitu perut yang juga rumit.

Bila seorang pemuda belum mampu memenuhi syarat al-ba’ah, syarat perut, yang diletakkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menikah, maka persoalannya lebih muda, tetapi bila sebaliknya, apa yang dilakukan oleh yang bersangkutan sementara dia berada di puncak kepemudaannya, dorongannya kepada perkara yang satu ini begitu kuat, dan sebelumnya telah kita katakan bahwa tidak terpenuhinya dorongan ini bisa merugikan dan melahirkan ekses negatif.

Sebuah dilema, jika kita menghalang-halanginya memenuhi dorongan ini maka dia harus berjuang ekstra menahan diri dan ini sangat menyulitkannya, lebih-lebih di zaman dengan godaan syahwat yang sangat kuat dan ada di mana-mana serta bisa diakses dengan sangat mudah, jika diizinkan tanpa menikah dengan tanpa modal dan bekal maka akan memicu persoalan yang lebih rumit, dan celakanya untuk mendapatkan modal menikah, malah lebih sulit, pusing tujuh keliling. Semoga Allah memberi pertolongan.

Pertama: Berpuasa.

Puasa meringankan tekanan syahwat dan melemahkan dorongannya, tidak jarang selama berpuasa dorongan dan tekanan ini hilang, dengan itu tidak ada lagi persoalan karena persoalan terjadi pada saat seseorang ingin mendapatkan sesuatu lalu di hadapannya berdiri penghalang di mana dia tidak kuasa menghilangkannya, karena dorongan ke sana telah melemah, maka tidak terjadi pergolakan jiwa apapun pada dirinya, ini dari satu sisi, dari sisi lain puasa memiliki pengaruh besar kepada diri, orang yang berpuasa merasa bahwa dirinya beribadah kepada Allah dan mencari ridha penciptaNya, bahwa Allah mengatur untuknya apa yang mewujudkan keinginannya, kalaupun dia tidak menikah di dunia ini, dia tetap akan menikmati di akhirat apa yang lebih baik dan lebih kekal, selama seseorang yakin bahwa persoalannya akan teratasi cepat atau lambat maka hal itu tidak memicu penyakit kejiwaan, dengan itu puasa mengatasi persoalan dari sisi fisik dan kejiwaan sekaligus.

Kedua: Menahan dan menjaga diri

Yakni menahan dan menjaga diri dari perbuatan zina demi melindungi kemuliaan jiwa, menjauh dari keinginan-keinginan syahwat rendah dengan menyintai keluhuran. Menyadari sepenuhnya bahwa dirinya adalah manusia, makhluk yang dimuliakan oleh Allah di antara makhluk-makhluknya yang lain, kemuliaan diri sebagai manusia menyadarkannya bahwa tidak pantas dan tidak patut baginya berlari di belakang dorongan yang satu ini dengan memenuhinya melalui jalan haram, karena hal itu merupakan keburukan dan mencoreng kemuliaannya sebagai manusia.

Firman Allah Taala,artinya, “Dan orang-orang yang tidak mampu menikah hendaklah menjaga kesucian dirinya sehingga Allah memampukan mereka dengan karuniaNya.” (An-Nur: 33).

Karena itu Islam menjunjung tinggi perkara menahan dan menjaga diri, di mana Islam menyifati zina dengan fahisyah, perbuatan keji, firman Allah,artinya, “Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan seburuk-buruk jalan yang ditempuh.” (Al-Isra`: 32). Islam menyatakan bahwa zina merupakan perkara dan perbuatan buruk, Islam menjauhkan manusia darinya dan mendorong mereka agar menahan diri dari nafsu ini.

Ketiga: Memudahkan

Kepada para wali agar memudahkan urusan pernikahan anak-anak mereka, di antara bentuk memudahkan adalah menikahkan mereka dan membantu mereka jika mereka belum mampu sepenuhnya memikul tanggung jawab pernikahan.

Firman Allah,artinya, “Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak menikah dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan kurniaNya. Dan Allah Mahaluas (pemberianNya) lagi Maha mengetahui.” (An-Nur: 32).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika orang yang kamu ridhai agama dan akhlaknya melamar kepadamu maka nikahkanlah dia.” (Shahih at-Tirmidzi 3/305)

Sabda beliau,

ثَلاَثٌ حَقٌّ عَلىَ اللهِ عَوْنُهُمْ وَذَكَرَ مِنْهَا: النَّاكِحُ الذِي يُرِيْدُ العَفَافَ

“Ada tiga orang yang berhak mendapat pertolongan Allah: salah satunya adalah orang yang menikah untuk melindungi kehormatannya.” (HR. at-Tirmidzi no. 1659, ia berkata, “Hadits hasan.”)

Para fuqaha (ahli fiqih-ed) berkata, jika para wali tidak membantu anak-anak muda yang tidak berharta maka baitul mal yang membayar dan menikahkan mereka karena menikah adalah kebutuhan pribadi dan masyarakat, tidak patut dilalaikan, bahkan sebagian fuqaha membolehkan membantu para pemuda yang tidak mampu menikah dari harta zakat.

Masyarakat harus membantu orang-orang miskin baik dengan memberi atau membuka lapangan pekerjaan untuk mereka sehingga mereka tidak hidup tanpa menikah dan hal itu memicu mewabahnya zina dan otomatis penyakit, sebagaimana menikah adalah keharusan sosial, ia juga salah satu kewajiban masyarakat kepada anggota-anggotanya.

Keempat: Berusaha maksimal

Hendaknya seseorang mengeluarkan segala daya dan kemampuannya untuk mendapatkan rizki yang halal, dengannya dia bisa memikul nafkah pernikahan. Islam adalah agama bekerja dan berusaha, bukan agama kemalasan dan pengangguran, barangsiapa berusaha dengan sungguh-sungguh niscaya dia mendapatkan walaupun terlambat. Allah sendiri telah berjanji menjamin rizki hamba-hambaNya secara umum dan orang yang bertekad menikah demi mejaga dirinya secara khusus, man jadda wajada, siapa yang bersungguh-sungguh niscaya dia mendapatkan, seseorang mesti bekerja agar bisa memberi dan tidak menerima, karena Islam mengajarkan bahwa tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.

Keinginan seseorang kepada pernikahan dan perasaannya bahwa hubungan yang tidak syar’i adalah haram mendorongnya bersungguh-sungguh dan serius menyiapkan kehidupan mulia, di dalamnya dia bisa mendapatkan kenikmatan kehidupan rumah tangga yang mulia, dan Allah pemberi taufik.

Kelima: Mengalihkan

Mengalihkan dorongan kepada pernikahan kepada perkara lain yang bermanfaat, banyak perkara dalam hidup yang bisa ditekuni oleh para pemuda, olahraga misalnya, di samping bisa mengalihkan, ia juga bermanfaat dari sisi kesehatan dan membentuk kekuatan jasad yang kelak dibutuhkan, lebih dari itu siapa tahu dengan berolahraga seorang pemuda menemukan bakat terpendam dalam dirinya dalam bidang olahraga tertentu yang bermanfaat.

Mendalami ilmu khususnya ilmu-ilmu agama, ini adalah sisi yang paling baik untuk mengalihkan dorongan kepada pernikahan, karena seperti kita ketahui bahwa pada usia muda, seseorang memiliki ketajaman pikiran dan akal, jika ia diberikan kepada ilmu niscaya akan menghasilkan sesuatu yang baik dan bermanfaat, dan yang bersangkutan akan menjadi orang yang dibutuhkan oleh masyarakat karena ilmunya. Wallahu a’lam.