Ada dua golongan yang sesat dalam masalah ini:

Pertama; Golongan yang secara total menolak adanya takdir, bahkan termasuk ilmu Allah yang terdahulu dengan dugaan bahwa itu bertentangan dengan keadilan Ilahi, dan mereka pun berlebihan dalam menetapkan kehendak manusia, sehingga mengatakan, “Tidak ada takdir, dan urusan itu hanya terjadi tanpa takdir.” Ungkapan kelompok ini merupakan akibat dari kejahilan dan kelemahan terhadap Allah Subhaanahu Wata’ala, bahkan mereka pun mengatakan bahwa ada kejadian dalam kerajaan-Nya sesuatu yang tidak diketahui dan tidak dikehendaki-Nya. Maha Tinggi Allah setinggi-tinggi dari dugaan itu.

Firman Allah yang menunjukkan keumuman dan cakupan pengetahuan-Nya terhadap segala sesuatu,

رَبَّنَا إِنَّكَ تَعْلَمُ مَا نُخْفِي وَمَا نُعْلِنُ وَمَا يَخْفَى عَلَى اللَّهِ مِنْ شَيْءٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي السَّمَاءِ

“Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau mengetahui apa yang kami sembunyikan dan apa yang kami lahirkan; dan tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagi Allah, baik yang ada di bumi maupun yang ada di langit.” (Ibrahim: 38).

Dalam ayat lain disebutkan, “Allahlah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (Ath-Thalaq: 12).

Dalam ayat lain disebutkan, “Yang mengetahui yang ghaib, tidak ada yang tersembunyi daripada-Nya seberat dzarrah pun yang ada di langit dan yang ada di bumi dan tidak ada (pula) yang lebih kecil dari itu dan yang lebih besar, melainkan tersebut dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (Saba’: 3).

Kemudian tentang kemutlakan kehendak-Nya, Allah berfirman, “Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” (Al-Buruj: 16).

Maka tidak ada seorang manusia pun kecuali berhendak terhadap apa yang tidak bisa dia lakukan atau melakukan terhadap yang tidak dikehendaki, akan tetapi hanya Allahlah yang kuasa berbuat terhadap apa yang dikehendaki-Nya.

Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman, “Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.” (At-Takwir: 29).

Dalam ayat lain disebutkan, “Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Al-Insan: 30). Yakni, kehendak kalian mengikuti kehendak Allah Subhaanahu Wata’ala. Maka barangsiapa yang dikehendaki mendapatkan hidayah, niscaya dimudahkan jalannya dan faktor-faktor penyebabnya, dan barangsiapa yang dikehendaki kesesatannya maka akan dipalingkan dari petunjuk. Dan dalam hal ini terkandung hikmah yang sangat rinci dan hujjah yang sangat detail.

Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman, “Katakanlah: “Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan menunjuki orang-orang yang bertaubat kepada-Nya.” (Ar-Ra’d: 27).

Muslim meriwayatkan dalam kitab shahihnya, dari Yahya bin Ya’mar, ia berkata, “Yang pertama kali berkata tentang takdir di Bashrah adalah Ma’bad Al-Juhanny, lalu aku dan Humaid bin Abdurrahman Al-Humairi pergi haji atau umrah, kami katakan, bahwa seandainya kami bertemu dengan salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam maka kami akan bertanya kepadanya tentang apa yang dikatakan oleh mereka mengenai takdir. Di sana kami berjumpa dengan Abdullah bin Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu yang sedang memasuki majlis, lalu kami mengapitnya, salah seorang kami di sebelah kanannya dan seorang lagi di sebelah kirinya. Tampaknya temanku akan menyerahkan pembicaraan kepadaku, maka aku berkata, “Wahai Abu Abdirrahman, orang-orang sebelum kami telah membaca Al-Qur’an dan mempelajari ilmu.” Lalu disebutkan tentang keadaan mereka, “dan mereka menyatakan bahwa tidak ada takdir, dan urusan itu terjadi tanpa taqdir.” Ia berkata, “Jika engkau bertemu mereka, maka sampaikan kepada mereka bahwa aku berlepas diri dari mereka dan mereka pun berlepas diri dariku.” Dan yang disumpahkan oleh Abdullah bin Umar, “Seandainya salah seorang mereka memiliki emas sebesar gunung Uhud lalu diinfakkannya, Allah tidak akan menerima darinya sehingga ia beriman kepada takdir.”

Kedua; Golongan yang menyangkal secara total adanya kehendak manusia, sehingga menyamakan apa yang terjadi pada manusia itu dengan tanpa kehendaknya dengan apa yang dia lakukan atas pilihannya sendiri, golongan ini pun mengatakan bahwa manusia adalah seperti bulu yang melayang di udara yang bisa ditiup oleh angin ke mana saja.

Pendapat golongan ini pada ujungnya menyebabkan penisbatan kezhaliman terhadap Allah Subhaanahu Wata’ala, karena menyatakan bahwa Allah telah mengekang hamba-hamba-Nya yang tidak ada kekuasaan dan tidak ada pilihan. Maha Tinggi Allah setinggi-tingginya dari dugaan mereka.

Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman,

سَيَقُولُ الَّذِينَ أَشْرَكُوا لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا أَشْرَكْنَا وَلَا آبَاؤُنَا وَلَا حَرَّمْنَا مِنْ شَيْءٍ كَذَلِكَ كَذَّبَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ حَتَّى ذَاقُوا بَأْسَنَا قُلْ هَلْ عِنْدَكُمْ مِنْ عِلْمٍ فَتُخْرِجُوهُ لَنَا إِنْ تَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ أَنْتُمْ إِلَّا تَخْرُصُونَ

“Orang-orang yang mempersekutukan Allah, akan mengatakan, “Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apapun”. Demikian pulalah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanya berdusta.” (Al-An’am: 148).

Mereka mengatakan, “Sesungguhnya Allah mengetahui kami dalam kesyirikan, dan Dia berkuasa untuk merubah apa yang terjadi dengan menghalangi antara kami dengan kemusrikan dan mengilhamkan keimanan kepada kami, tapi Allah tidak melakukannya. Hal ini menunjukkan keridhaan-Nya terhadap kami yang berbuat demikian.” Ini adalah alasan yang lemah, karena Allah telah mengutus para rasul-Nya kepada mereka, menimpakan kemurkaan-Nya dan mengirimkan kepada mereka para utusan-Nya yang mulia, hal ini menunjukkan ketidak ridhaan-Nya terhadap kekufuran dan kesyirikan mereka.

Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman,

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ فَمِنْهُمْ مَنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُمْ مَنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلَالَةُ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ

“Dan berkatalah orang-orang musyrik, “Jika Allah menghendaki, niscaya kami tidak akan menyembah sesuatu apa pun selain Dia, baik kami maupun bapak-bapak kami, dan tidak pula kami mengharamkan sesuatu pun tanpa (izin)-Nya”. Demikianlah yang diperbuat orang-orang sebelum mereka; maka tidak ada kewajiban atas para rasul, selain dari menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (An-Nahl: 35).

Inti pernyataan mereka adalah, seandainya Allah Ta’ala tidak menyukai apa yang kami lakukan, tentulah Dia akan mengingkarinya terhadap kami dengan siksaan dan tidak akan membiarkan kami dalam perbuatan tersebut. Maka Allah menjelaskan bahwa Dia mengingkari mereka dengan mengutus para rasul yang memerintahkan untuk beribadah hanya kepada Allah saja dan mencegah peribadatan kepada selain-Nya.

Di jaman kita sekarang, telah banyak beredar pemahaman yang menyerupai ini dari kalangan orang-orang maksiat dan yang berlebih-lebihan, mereka berdalih dengan takdir yang ditetapkan pada mereka yang berupa kelengahan, berlebih-lebihan dan melakukan maksiat, yang mana hal ini menimbulkan hal-hal negatif, kekakuan dan penyimpangan. Hal ini menyebabkan mereka tidak bersungguh-sungguh terhadap amal dunia dan agama, sehingga dalam urusan dunia mereka meremehkan dan hanya menjadi pengekor umat lain, sementara dalam urusan agama mereka fasik dan meninggalkan jihad yang wajib dengan alasan taqdir yang telah membawa mereka demikian. Perlu diketahui bahwa takdir tidak boleh di jadikan hujjah dalam hal aib/maksiat akan tetapi akan bisa dijadikan penghibur ketika terjadinya musibah.