Allah telah menunjuki Ahlus Sunnah wal Jama’ah kepada perkataan yang baik sehingga mereka berada di tengah antara yang sangat kurang dan berlebihan.

Mereka menetapkan takdir dengan empat tingkatannya, yaitu: ilmu (pengetahuan Allah), pencatatan, kehendak Allah dan penciptaan. Mereka membedakan antara iradah kauniyah qadariyah, yakni kehendak Allah, dan iradah syar’iyah yang berupa taklif (beban tugas) yang di antara tuntutannya adalah kecintaan. Mereka mengatakan: Dalam kekuasaan Allah terkadang ada sesuatu yang terjadi yang tidak dikehendaki-Nya secara syari’at dan tidak diridhai-Nya, seperti kekufuran, kesyirikan dan dosa-dosa lainnya, akan tetapi dalam kekuasaan-Nya tidak ada kejadian yang di luar kehendak-Nya.

Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman,

وَالَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا صُمٌّ وَبُكْمٌ فِي الظُّلُمَاتِ مَنْ يَشَإِ اللَّهُ يُضْلِلْهُ وَمَنْ يَشَأْ يَجْعَلْهُ عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

“Barangsiapa yang dikehendaki Allah (kesesatannya), niscaya disesatkan-Nya. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah (untuk mendapat petunjuk), Niscaya Dia menjadikannya berada di atas jalan yang lurus.” (Al-An’am: 39).

Dalam ayat lain disebutkan,

“Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit.” (Al-An’am: 125).

Pemberian hidayah dan penyesatan hanya ada di tangan Allah, namun kehendak-Nya untuk menyesatkan tidak terjadi keridhaan dan kecintaan-Nya terhadap hal itu.

Dalam ayat lain disebutkan,
إِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ وَلَا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ [الزمر/7]
“Jika kamu kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu.” (Az-Zumar: 7).

Jadi, Allah tidak ridha terhadap kekufuran para hamba-Nya, walaupun dengan kehendak-Nya hal itu terjadi dalam lingkup ciptaan-Nya.

Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman,
فَإِنْ تَرْضَوْا عَنْهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يَرْضَى عَنِ الْقَوْمِ الْفَاسِقِينَ [التوبة/96]
“Tetapi jika sekiranya kamu ridha terhadap mereka, maka sesungguhnya Allah tidak ridha kepada oang-orang yang fasik itu.” (At-Taubah: 96). Allah tidak ridha terhadap orang-orang fasik, akan tetapi kefasikan yang mereka perbuat itu terjadi karena kehendak Allah Subhaanahu Wata’ala.

Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman,
يَسْتَخْفُونَ مِنَ النَّاسِ وَلَا يَسْتَخْفُونَ مِنَ اللَّهِ وَهُوَ مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُونَ مَا لَا يَرْضَى مِنَ الْقَوْلِ وَكَانَ اللَّهُ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطًا [النساء/108]
“mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak redlai. Dan adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan.
.”
(An-Nisa’: 108) Keputusan yang mereka tetapkan itu tidak diridhai Allah akan tetapi terjadi dengan kehendak Allah Subhaanahu Wata’ala walaupun Allah tidak menyukai dan tidak meridhainya.

Ahlus Sunnah pun menyatakan adanya kehendak manusia dan kemampuan hamba untuk memilih, akan tetapi bukan merupakan kekuasaan dan kemampuan yang mutlak, namun terliputi oleh kekuasaan Allah Subhaanahu Wata’ala dan berdasarkan kehendak-Nya, dan bahwa kriteria beban tugas dicerminkan dalam akal, kemampuan dan sampainya hujjah.

Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman,

وَتِلْكَ الْجَنَّةُ الَّتِي أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

“Dan itulah surga yang diwariskan kepada kamu disebabkan amal-amal yang dahulu kamu kerjakan.” (Az-Zukhruf: 72).

Dalam ayat lain disebutkan,

ذُوقُوا عَذَابَ الْخُلْدِ هَلْ تُجْزَوْنَ إِلَّا بِمَا كُنْتُمْ تَكْسِبُونَ

“Dan rasakanlah siksa yang kekal, disebabkan apa yang selalu kamu kerjakan.” (As-Sajdah: 14).

Kedua ayat ini dengan jelas menyatakan bahwa perbuatan dan usaha hamba dipikulkan kepadanya, dan bahwa seorang hamba mempunyai kemampuan terhadap amal perbuatannya, sehingga dengan kehendaknya ia bisa mendapat ganjaran pahala atau balasan siksa yang sesuai.

Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman,

وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.” (At-Takwir: 29).

Ayat ini menjelaskan bahwa kehendak hamba itu tidak bersifat mutlak, akan tetapi dalam bingkai kehendak Allah Subhaanahu Wata’ala, jadi itu merupakan bagian dari kekuasaan-Nya.

Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman,
وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ [الأنفال/24]
“Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya.” (Al-Anfal: 24).

Yakni, seorang hamba tidaklah beriman dan tidak pula kufur kecuali dengan seizin-Nya, karena itulah dalam do’a Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan,

اَللّهُمَّ مُصَرِّفَ الْقُلُوْبِ صَرِّفْ قُلُوْبَنَا إِلَى طاَعتِكَ.

“Ya Allah yang mencendrungkan hati, cendrungkanlah hati kami untuk taat kepada-Mu.”

Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman,
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا [البقرة/286]
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Al-Baqarah: 286).

Yakni bahwa Allah tidak membebani seorang hamba di luar batas kemampuannya. Ini merupakan kelembutan dan belas kasih serta kebaikan Allah terhadap makhluk-Nya. Maka orang gila yang tidak dapat mencerna beban tugas (taklif) dan orang jahil yang tidak mengetahui ilmu serta orang yang dipaksa sehingga tidak dapat memilih, tidaklah termasuk golongan yang diberlakukan tuntutan tugas (taklif).

Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman,
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا [الإسراء/15]
“Dan Kami tidak akan mengadzab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (Al-Isra’: 15).

Ayat ini menunjukkan keadilan Allah Subhaanahu Wata’ala, bahwa Allah tidak akan mengadzab seorang pun kecuali setelah ditegakkannya hujjah, yaitu dengan mengutus para rasul kepada kaumnya.

Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman,
وَأُوحِيَ إِلَيَّ هَذَا الْقُرْآَنُ لِأُنْذِرَكُمْ بِهِ وَمَنْ بَلَغَ أَئِنَّكُمْ [الأنعام/19]
“Dan Al-Qur’an ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Qur’an (kepadanya).” (Al-An’am: 19),

Jadi Al-Qur’an itu sebagai peringatan bagi setiap yang telah sampai kepadanya, sehingga barangsiapa yang Al-Qur’an sampai kepadanya seolah-olah ia telah bertemu dengan Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam.

Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman,
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ [النحل/78]
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (An-Nahl: 78). Allah telah menambahkan kepada para hamba-Nya perlengkapan untuk mengetahui khithab dan sarana agar hujjah bisa sampai kepadanya, yaitu pendengaran, penglihatan dan hati.

Kemudian Allah menjelaskan bahwa manusia akan dimintai pertanggungan jawabnya terhadap alat-alat perlengkapan tersebut, karena beban tugas itu ditujukan kepadanya berdasarkan fungsi yang ada padanya, maka Allah berfirman,

إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semua itu akan dimintai pertanggungan jawab.” (Al-Isra’: 36).

Allah pasti akan menanyai mereka pada hari mereka kembali kepada-Nya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثٍ: عَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَبْلُغُ وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَفِيْقَ.

“Pena diangkat dari tiga hal: Dari anak kecil sehingga ia baligh, dari orang tidur sehingga ia bangun, dan dari orang gila sehingga ia sadar.” (Diriwayatkan oleh Abu Daud, At-Tirmidzi dan Al-Hakim serta dishahihkannya).

Jadi, ketiga golongan manusia ini tidak termasuk golongan yang dibebani tugas karena tidak tersedianya pelengkap untuk menjalankan taklif pada mereka.