Dua permasalahan yang akan kita bahas pada edisi ini, kami kira amat penting untuk diangkat dan diketahui oleh kaum muslimin, karena sering terjadi dan merek alami.

Permasalahan pertama tentang gerakan di dalam shalat, dan permasalahan ke dua, tentang ‘sutrah’ yang terka-dang sering dilalaikan oleh banyak orang, baik karena sudah tahu atau belum tahu. Untuk lebih lengkapnya, silahkan anda lanjutkan pembahasan berikut ini.

I. Masalah Gerakan Dalam Shalat

Pengertian

Yang dimaksud di sini, bukan gerakan-gerakan yang sudah ada pada shalat dan memang diperintahkan, dari satu gerakan ke gerakan yang lain, seperti dari berdiri, lalu ruku’ kemudian sujud, menggerakkan jari (terlepas dari perbedaan pendapat tentangnya), dan seterusnya.

Tetapi, yang dimaksud adalah gerakan di luar itu, baik dilaku-kan karena ada keperluannya dan darurat atau pun tidak.

Hukumnya

Hukum asal gerakan di dalam shalat adalah makruh kecuali ada keperluan/hajat untuk itu atau karena kondisi darurat. Gerakan ini dapat dibagi menjadi 5 jenis, sebagai berikut:

1. Gerakan Yang Diwajibkan

Yaitu gerakan yang terkait dengan keabsahan shalat dan sangat berpenga-ruh sekali terhadapnya.
Contoh, bila seseorang merasakan ada najis pada ghutrah (sorban yang diikatkan di kepala), kopiah atau lainnya yang ada di kepalanya misalnya, maka ketika itu dia wajib bergerak untuk menghilangkan najis tersebut dengan mencopot ghutrah atau kopiahnya. Atau bila seseorang memberitahukan orang yang sedang shalat, bahwa dia salah menghadap kiblat, maka ketika itu dia wajib bergerak ke arah kiblat.

Dalil:

  • Ketika Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam didatangi oleh Malaikat Jibril saat beliau sedang shalat mengimami manusia, lalu diberitahu perihal adanya kotoran (najis) di kedua sandalnya, beliau langsung mencopot-nya saat masih dalam keadaan shalat tersebut, sembari melanjutkannya hingga selesai. (HR. Abu Dawud).

  • Pada suatu ketika, saat orang- orang sedang melaksanakan shalat shubuh di Masjid Quba’, tiba-tiba datang seorang utusan yang berteriak kepada mereka, “Sesungguhnya al-Qur’an telah diturunkan kepada Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam pada malam ini dan beliau diperintahkan agar menghadap ke arah kiblat (ka’bah). Oleh karena itu, menghadaplah kalian ke sana!”. Lalu dalam keadaan shalat tersebut, mereka beralih posisi dari arah sebelumnya untuk menghadap ke arah Ka’bah.” (Muttafaqun ‘alaih)

2. Gerakan Yang Diharamkan

Yaitu gerakan yang banyak dan berturut-turut tanpa ada keperluan untuk hal itu atau dalam kondisi darurat, sebab gerakan seperti ini akan membatalkan shalat. Sesuatu yang membatalkan shalat, tidak boleh dilakukan sebab, ini termasuk kategori ‘menjadikan ayat-ayat Allah sebagai bahan ejekan’.

3. Gerakan Yang Dianjurkan

Yaitu setiap gerakan yang dianjur-kan melakukannya di dalam shalat bahkan menjadi penyempurnanya.
Contohnya adalah gerakan seseorang menyamaratakan shaf, atau karena melihat ada celah pada shaf di depan-nya lantas dia melangkah ke depan untuk mengisinya. Demikian pula gerakan seseorang menarik orang yang disampingnya untuk menutupi celah pada shaf, karena ada salah seorang makmum yang batal wudlu’nya sehingga berku-rang dan luang.

Ketentuan pada jenis gerakan ini, bahwa dengan gerakan tersebut, ter-jadilah amalan yang dianjurkan di dalam shalat untuk tujuan menyempurnakannya.

Dalil:
Ketika Ibn ‘Abbas Radhiallaahu anha melakukan shalat bersama Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam dan dia berada di sebelah kiri beliau, maka beliau Shallallaahu alaihi wa Salam langsung menarik kepala anak sepupu-nya tersebut dari arah belakang dan menggesernya, sehingga berada di sebelah kanan beliau. (Muttafaqun ‘alaih)

4. Gerakan Yang Dibolehkan

Yaitu gerakan yang ringan karena ada keperluan atau gerakan yang banyak karena kondisi darurat.

Contoh Gerakan Yang Ringan Karena Ada Keperluan:
Tindakan Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam ketika shalat dalam keadaan menggendong Umamah, putri dari Zainab alias cucu beliau, yakni saat berdiri; beliau menggendongnya dan saat sujud, beliau meletakkannya lagi. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Contoh Gerakan Yang Banyak Karena Darurat:
Seperti yang dinyatakan oleh Allah dalam firman-Nya mengenai shalat Khauf:
“Peliharalah segala shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’. Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kau ketahui”.(QS.Al-Baqarah: 238- 239)
Dalam praktik shalat tersebut, seseorang sedang melakukan shalat sembari berjalan atau berkendaraan ketika dalam keadaan darurat .

5. Gerakan Yang Dimakruhkan

Yaitu gerakan selain yang disebutkan di atas alias gerakan yang sedikit tetapi tidak dibutuhkan dan tidak terkait dengan kesempurnaan shalat. Inilah hukum asal pada gerakan di dalam shalat yang dimaksud dalam pembahasan ini.

Contohnya adalah kebiasaan melihat ke arah jam tangan, membolak-balikkan kopiah, memegangi hidung terus padahal tidak gatal atau sedang pilek, mengelus-elus jenggot dan sebagainya.
Beberapa Permasalahan Terkait

6. Jumlah Gerakan yang Membatalkan Shalat

Tidak terdapat jumlah tertentu yang dapat dijadikan sebagai patokan, sehingga bila melewati jumlah tersebut, shalat menjadi batal. Yang jelas, patokannya adalah seberapa jauh gerakan itu mempengaruhi shalat; bila ia menafikan gerakan shalat, seperti bila sese-orang terlihat seakan bukan dalam kondisi shalat, maka ini membatalkannya.

Oleh karena itu, para ulama memberikan batasannya sesuai dengan standar adat atau tradisi yang berlaku. Mereka berkata, “Sesungguhnya, bila gerakan-gerakan tersebut banyak dan berturut-turut, maka ia membatalkan shalat”. Dalam hal ini, tanpa menyebutkan jumlah tertentu.

Sehingga batasan dengan tiga kali gerakan saja yang diberikan oleh sebagian ulama perlu diperkuat dengan dalil sehingga dapat dijadikan hujjah sebab siapa saja yang telah membatasi sesuatu dengan jumlah tertentu, tata cara tertentu, dia perlu memperkuatnya dengan dalil.

7. Menjawab Salam Ketika Sedang Shalat.

Orang yang sedang shalat tidak boleh menjawab salam dengan kata-kata. Andaikata dia melakukan hal itu, shalatnya menjadi batal, sebab menjawab dengan kata-kata termasuk kategori ‘Kalam an-Nas’ (pembicaraan manusia).

Dalam hal ini, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam pernah bersabda,
Sesungguhnya sesuatu yang berupa pembicaraan manusia tidak pantas dilakukan di dalam shalat. Yang pantas, hanyalah takbir, tasbih dan bacaan al-Qur’an”. (HR.Muslim)

Hadits diatas merupakan penggalan dari hadits yang panjang mengenai kisah seorang shahabat yang bernama Mu’awiyah bin al-Hakam yang ketika dia datang ke masjid, Nabi bersama para shahabatnya sedang shalat. Ketika itu, ada seorang yang bersin, lalu dia mengu-capkan, “alhamdulillah”. Lantas Mu’awi-yah menimpali “Yarhamukallah”. Namun orang-orang di sekitarnya seakan meme-lototinya. Dia kemudian bergumam, “Aduh, celaka!” Akhirnya orang-orang memukuli paha-paha mereka sebagai isyarat supaya diam. Lalu diamlah dia. Seusai shalat, Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam memanggilnya, lalu bersabda sebagaimana di atas.

Dalam hal ini, yang boleh dilakukan oleh orang yang diberi salam saat sedang shalat, adalah hanya menjawab dengan isyarat, seperti mengangkat tangannya sebagai tanda, bahwa ia menjawab salamnya.

Hadits tersebut merupakan dalil tidak dibolehkannya seseorang yang sedang shalat mengucapkan sesuatu apa pun baik terkait dengan adanya keperluan tertentu dalam shalat itu sendiri atau pun tidak.

II. Masalah Sutrah

Pengertian

Secara bahasa, kata ‘Sutrah’ berasal dari kata kerja ‘Satara Yasturu’ yang artinya menutup.
Dan yang dimaksud dengan ‘sutrah’ dalam pembahasan ini adalah batas kiblat seorang yang sedang shalat, sehingga mencegah berlalu-lalangnya orang lain di hadapannya dan menghalangi pandangannya dari melihat sesuatu yang berada di belakang sutrah tersebut.

Hukumnya

Sutrah di dalam shalat, hukumnya sunnah mu’akkadah bagi Imam. Sedangkan bagi makmum, tidak disunnahkan karena sudah terwakili oleh sutrah Imam.

Ukurannya

  • Seukuran Kayu Pelana Kuda
    Hal ini berdasarkan hadits Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam
    Dari ‘Aisyah, dia berkata, “Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam ditanyai perihal sutrah seorang yang sedang shalat, lalu beliau bersabda, “Seperti kayu pelana kuda”. (HR.Muslim)
    Ini adalah ukuran maksimal menurut para ulama.

  • Seukuran anak panah
    Hal ini berdasarkan hadits Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam,
    “Bila salah seorang di antara kalian shalat, maka hendaklah dia mengambil penutup (pembatas) meskipun dengan sebuah anak panah”. (HR. Ibn Khuzai-mah dan Ahmad)

  • Seukuran Satu Garis
    Hal ini berdasarkan hadits Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam :
    “Barangsiapa yang belum mendapatkan (sutrah ), maka hendaklah dia menggaris satu garisan”. (HR. Abu Dawud dengan sanad hasan).

    Mengenai hadits ini, al-Hafizh Ibn Hajar berkomentar di dalam kitab ‘Bulugh al-Maram, “Tidak benar klaim orang yang menganggap hadits ini ‘Muththarib’. Tidak terdapat ‘illat (penya-kit) pada hadits ini, sehingga harus ditolak”.
    Dan disebutkannya garis di dalam hadits tersebut, karena ketika itu lantai masjid masih berupa tanah pasir.
    Wallahu a’lam. (Abu Hafshah)

(Diringkas dan diedit dari Majmu’ Fatawa Wa Rasa’il Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimîn, Jld. XIII, Hal. 305-317)